Jika suara mempunyai warna, warna
suaranya mirip seperti pelangi. Membuat kata-kata menjadi hidup.
– kata Beverly tentang Gadis Dongeng –
Beverly King – sebut saja Bev – dan Felix King harus meninggalkan Toronto untuk
tinggal bersama paman dan bibi mereka di Carlisle, Pulau Prince Edward. Alan
King, ayah mereka, harus pergi ke Rio de Janeiro dan tidak bisa membawa mereka
bersamanya. Bev dan Felix sangat antusias pergi ke tempat di mana ayah mereka
menghabiskan masa kecilnya. Setibanya di sana mereka merasa sudah mengenal
tempat itu karena seringnya ayah mereka menceritakan tempat itu. Pohon-pohon
willow, kebun keluarga King, sumur dengan atap China, hingga suara kodok di
malam hari, mereka merasa sudah mengenalnya bertahun-tahun silam lewat cerita
ayah mereka.
Di Carlisle mereka berdua tinggal bersama Paman Alec dan Bibi Janet serta
anak-anak mereka: Dan, Felicity, dan Cecily. Ada juga sepupu mereka yang lain
yaitu Sara Stanley yang tinggal bersama Bibi Olivia dan Paman Roger. Di sana
mereka juga bertemu dengan Peter, anak lelaki yang bekerja untuk Paman Roger.
Ada juga Sara Ray, teman Cecily. Tidak butuh waktu lama bagi Bev dan Felix
untuk akrab dengan mereka berenam. Banyak kejadian yang mereka alami, yang menyenangkan,
menyedihkan, juga menegangkan. Misalnya ketika mereka meminta sumbangan untuk
membangun perpustakaan sekolah, ketika mereka berlomba mencatat mimpi mereka,
ketika Peter sakit campak dan teman-temannya khawatir dia akan mati, ketika
mereka membeli gambar Tuhan, dan ketika mereka ketakutan mendengar kabar akan
datangnya hari kiamat.
Saat mereka berkumpul bersama, seringkali mereka mendengarkan cerita Sara
Stanley. Dia sangat pandai bercerita sehingga orang-orang memanggilnya Gadis
Dongeng. Saat dia bercerita, dia bisa membuat orang-orang seolah melihat apa
yang terjadi dalam cerita dan bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam
ceritanya. Ketika dia bercerita tentang Wanita Ular, orang-orang yang
mendengarkan ceritanya (termasuk orang-orang dewasa) sesaat “mempercayai” bahwa
dia adalah seekor ular. Caranya menyampaikan cerita juga menarik. Bahkan tabel
perkalian pun akan menarik bila dia yang membacakannya, begitu kata Mr.
Campbell.
Gadis Dongeng menceritakan banyak cerita. Ada cerita tentang kerudung
pengantin seorang putri yang sombong, hantu keluarga, tragedi peti biru,
jembatan pelangi, juga cerita tentang Bimasakti yang katanya adalah jembatan
cahaya yang dibangun dua malaikat yang saling jatuh cinta tapi dihukum dengan
dipisahkan di dua bintang yang berjauhan.
Itulah sekilas cerita di novel karya Lucy M Montgomery yang berjudul The
Story Girl. Sebelum membaca novel ini, aku lebih dulu membaca novel
kelanjutannya yaitu The Golden Road. Aku membeli The Golden Road iseng-iseng
saja. Ternyata, isinya menarik. Aku pun tergoda mencari novel pendahulunya: The
Story Girl atau Gadis Dongeng (dalam novel The Golden Road yang kubaca, The
Story Girl diterjemahkan menjadi Gadis Pendongeng). Beberapa kali mencari di toko
buku tak kunjung kutemukan. Dan ketika iseng ke Gramedia Matraman dan
ngubek-ngubek buku obralan, aku justru menemukan novel itu bersama novel Emily
Climb. Sepertinya kalau ingin menemukan sesuatu tidak boleh terlalu
menggebu-gebu. Iseng saja, nanti juga ketemu. Oke, ini ajaran sesat.
Sebagaimana The Golden Road, novel The Story Girl ini juga menarik. Novel
setebal 360 halaman ini ditulis dari sudut pandang anak-anak, yaitu Beverly.
Yah, lebih tepatnya Beverly dewasa yang sedang menceritakan kisah masa
kecilnya. Ceritanya menjadi menarik dengan karakter tokoh-tokohnya yang
beragam. Felicity yang cantik, pandai memasak, tapi bossy (dan sifat bossy ini
yang justru membuat anak-anak lain cenderung membantahnya). Dan-lah yang sering
kesal dengan sikap bossy Felicity dan sering bertengkar dengannya. Cecily yang
cantik (tapi tak secantik Felicity), lembut, dan pintar serta yang paling bisa
berpikir jernih di saat yang lain panik. Peter, si bocah pekerja upahan (begitu
Felicity sering menyebutnya) yang punya daya ingat yang hebat dan menyukai
Felicity. Felix yang gendut dan tidak suka bila disebut gendut. Gadis Dongeng
yang pandai bercerita, pemberani, dan banyak ide. Sara Ray yang luar biasa
cengeng dan takut pada ibunya. Bev? Ah, aku malah sulit membayangkan karakter
Bev.
Cerita yang diangkat dalam novel terbitan Bentang Pustaka ini sebenarnya
sederhana, tentang persaudaraan dan persahabatan. Bermain bersama, berbeda
pendapat, bertengkar, saling diam, lalu berbaikan. Juga cerita tentang
anak-anak yang kadang merasa orang dewasa tidak memahami mereka. Tapi,
cerita-cerita itu dikemas dengan menarik. Misalnya pertengkaran antara Dan dan
Felicity. Karena sudah tidak tahan dengan sikap bossy Felicity, Dan membantah
salah satu larangan Felicity: makan beri beracun. Sebegitu inginnya Dan
menunjukkan bahwa Felicity salah, bahwa beri itu sebenarnya tidak beracun. Gaya
bercerita penulisnya juga menurutku tidak membosankan.
Ada satu lagi bagian yang menarik dari novel ini yaitu cerita bahwa Kakek
(buyut) King menanam pohon untuk menandai pernikahannya dan setiap anaknya
lahir dia akan menanam satu pohon. Bayangkan kalau hal itu kita terapkan. Satu
bayi lahir berarti satu pohon ditanam. Pasti negara ini dipenuhi pohon. Ah,
sudahlah. Malah melantur.
Yang jelas, novel ini menarik. Tidak menyesal sudah membelinya.
dari resensinya sepertinya cukup menarik
BalasHapusyup. baca aja. bisa baca softcopy nya yg versi english di gutenberg kok.
HapusAku suka dgn caramu menuliskan resensi, Mil.. menarik!
BalasHapusNovelmu ini membuat aku jadi inget, aku juga suka bercerita ketika kecil.. dulu semasa SMP, pas pelajaran penjaskes yg hampir selalu jadi jam kosong, aku suka duduk direrumputan sambil bercerita ttg novel2 yg kubaca.. hampir semua temen2 cewek ngerubungi aku dan mendengar ceritaku dgn seksama.. Setiap minggu mereka selalu minta didongengin dan aku jg dgn senang hati melakukannya..:)
wah, ada bakat tuh jadi pendongeng, Rin.
Hapuskalo aku bagian nyuruh orang cerita buku yang mereka baca :D
iya Mil minimal buat ngedogengin anak sendiri nanti.. hihihi
BalasHapusudah mikir jauh rin, ngedongengin anak :p
Hapus