Kamis, 31 Desember 2020

Roller Coaster Emosi di Masa Pandemi

Sudah hampir setahun, pandemi masih belum selesai juga. Banyak yang berubah gara-gara pandemi COVID-19. Ritme kerja berubah, cara komunikasi berubah, frekuensi pulang kampung pun berubah. Satu lagi: emosi. Selama pandemi ini emosiku benar-benar seperti roller coaster. Biasanya emosiku juga naik turun, sih. Namun, di masa pandemi ini naik turunnya emosiku lebih parah.
 
Di awal pandemi aku masih berpikir positif. Aku yakin kalau aku mengikuti anjuran untuk tetap di rumah dan anjuran menjaga kebersihan, pandemi akan segera berakhir. Aku, yang biasanya pulang kampung minimal sebulan sekali, memutuskan tidak pulang selama beberapa bulan di awal pandemi. Aku berharap dengan tidak pulang kampung wabah bisa segera berakhir sebelum Idul Fitri. Setelah semuanya selesai, aku bisa pulang lebaran. Namun, ternyata harapan tinggal harapan. Pandemi makin parah. Isu larangan mudik pun mulai terdengar. Galau. Lalu hal menyebalkan lain pun muncul. Gang menuju kos ditutup. Awalnya hanya ditutup pukul 9 pagi sampai 6 sore kalau tidak  salah. Abang gofood pun jadi sulit mengantarkan pesanan makanan ke kosku. Kemudian situasi makin parah. Gang ditutup 24 jam. Gang lain dibuka tapi hanya untuk warga. Ojek online tidak boleh masuk. Akibatnya aku harus jalan ke gang tersebut untuk mengambil makanan pesananku, yang artinya aku harus keluar rumah. Padahal aku memesan gofood agar tidak perlu keluar rumah. Sebelum penutupan jalan itu aku berusaha hanya keluar rumah tiga hari sekali untuk membeli stok air minum dan makanan. Pernah aku berhasil tidak keluar rumah selama empat hari. Gara-gara semua akses ditutup, aku jadi tidak bisa mengikuti anjuran untuk tetap di rumah. Disuruh tetap di rumah tapi usahaku untuk tetap di rumah malah dihambat. Kok nggak masak aja? Untuk memasak, aku butuh bahan makanan. Untuk menyimpan bahan makanan berhari-hari, aku butuh kulkas. Sayangnya kulkas di kos sangat tidak bisa diandalkan. Di awal pandemi aku pernah menyimpan ayam beku yang ternyata jadi penuh belatung setelah disimpan di kulkas selama dua hari. Jadi, pilihanku cuma makanan instan dan gofood kalau mau konsisten tidak keluar rumah.
 
Situasi menyebalkan akibatnya ditutupnya semua akses ke kos membuat kemarahanku memuncak. Dilarang keluar rumah tapi kemudahan untuk tetap di rumah (a.k.a gofood) dipersulit. Ditambah ada berita larangan untuk mudik bagi PNS tapi kemudian kementerian melepaskan beberapa bus orang yang pulang kampung ke Jawa Timur. Membuat hasrat misuh tak terbendung. Aku sampai meng-unblock aku Twitter Jokowi demi bisa mengomel di sana. Perasaanku sudah campur aduk. Marah, sedih, kecewa. Siapa yang tidak kecewa? Aku sudah patuh tidak pulang kampung sejak Februari, tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, tapi malah pemerintah tidak kunjung mengatasi pandemi. Sampai-sampai aku tidak bisa pulang kampung saat lebaran. Anjuran untuk tidak mudik juga ramai digaungkan di Facebook oleh rekan-rekan seinstansi. Dan itu menyebalkan. Aku tahu kalau aku tidak boleh mudik. I KNOW. Tidak perlu diingatkan terus-menerus. Just let me grief! Ada lagi rekan seangkatan yang sok menasihati seolah dia tahu rasanya tidak bisa mudik si hari raya. Namun, dari bahasanya sepertinya dia sudah lupa sedihnya lebaran di rantau. "Aku juga pernah..." Ya kalo lo udah pernah ngerasain, mestinya lo tau betenya diceramahin saat lagi sedih-sedihnya nggak bisa mudik. Aku pun memutuskan meng-unfriend makhluk itu dan meng-unfollow makhluk-makhluk lain yang sibuk menceramahi soal mudik. Sangkin kuatnya dan banyaknya emosi yang tak terbendung, aku sampai kehilangan semangat bekerja.
 
Gagal mudik ini benar-benar ironis. Dulu sewaktu di Aceh, aku rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang lama untuk mudik. Dulu rela naik mobil mendaki gunung lewati lembah ke Medan, dilanjutkan naik pesawat ke Jakarta, lanjut naik kereta ke kampung. Setelah pindah ke Jawa dan perjalanan mudik cukup ditempuh lima jam, tinggal duduk manis di kereta, aku malah tidak bisa mudik. Ngenes.
 
Akhirnya aku pun tidak lagi membatasi keluar rumah. Setiap hari keluar rumah. Ya kan mesti beli makan. Kadang ke pasar. Gofood juga ribet toh. Harus keluar rumah, jalan ke gerbang kompleks dan kadang melewati kerumunan. Akhirnya ya cuek bebek. Yang penting pakai masker dan rajin cuci tangan.
 
Di tengah kegalauan, ada pelipur lara. Arashi mengunggah video konser Untitled di Youtube. Selang seminggu kemudian mereka mengunggah video konser Arafes 2012. Lumayan mewarnai hari-hariku.
 
Gara-gara pandemi, Arashi juga memutuskan untuk mengadakan Waku-Waku Gakkou Online dan Arafes yang bisa diikuti fans internasional. Aku juga bisa melihat pameran seni Freestyle secara daring (online). Hikmah di balik pandemi. Acara yang tadinya mustahil bisa kuikuti karena diadakan di Jepang, jadi bisa kuikuti karena diselenggarakan secara daring.
 
Apa kabar mudik lebaran? Tetaaap. Tetap gagal mudik. Lebaran di kos sendirian. Tidak sedih lagi. Malah mati rasa. Untungnya masih bisa mudik saat Idul Adha meskipun ketar-ketir membawa virus ke kampung.
 
Begitulah ceritaku di masa pandemi. Penuh kemarahan, kekecewaan, tapi masih ada juga hal yang membawa kebahagiaan.

6 komentar:

  1. Alhamdulillah ditempatku yang luar jabodetabek wfh mulai maret sampai awal Juni. Jadi bisa lebaran di kampung halaman walaupun tetap ga bisa kemana-mana walaupun untuk sholat ied...

    BalasHapus
  2. Sepertinya terulang lagi tahun ini ya....

    BalasHapus
  3. Terulang lagi tahun ini gagal mudik... Padahal jakarta kampung halaman ortu dekat....

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!