Hari Minggu kemarin aku
mengikuti acara LILIEFORS di kampus STIS. Liliefors ini singkatan
dari Klinik Penulisan Desain Grafis Fotografi STIS. Singkatan yang
agak maksa, demi mendapatkan singkatan yang berbau statistik, hihihi.
Ini kali pertama aku mengikuti Liliefors. Sewaktu kuliah aku tidak
pernah mengikuti dengan alasan tidak punya uang untuk membayar tiket.
Setelah lulus, aku juga tidak mengikuti karena tempat kerjaku nun
jauh di sana.
![]() |
Bukti ikut Liliefors |
Sewaktu melihat posternya
di Facebook aku langsung tertarik. Yah, meskipun aku tidak tertarik
menjadi fotografer, desainer grafis, atau penulis profesional, tiga
hal tersebut lumayan menarik minatku. Apalagi hobiku yang suka
sok-sokan memotret pemandangan dan pekerjaanku yang menuntut
kreativitasku dalam membuat cover publikasi. Dan setelah melihat
narasumbernya, aku langsung heboh dan buru-buru mendaftar. Siapakah
narasumbernya? Untuk klinik desain grafis narasumbernya Faza Meonk,
komikus Si Juki – komik yang menurutku lumayan menarik (kecuali
komik yang tentang upil dan kawan-kawannya). Narasumber untuk klinik
penulisan adalah A Fuadi, penulis novel Negeri Lima Menara – novel
yang membuatku mulai kecanduan membeli novel. Dua makhluk itulah yang
membuatku makin semangat mengikuti acara tersebut.
Acara tersebut dibagi
menjadi tiga sesi. Sesi pertama ternyata klinik fotografi dengan
narasumber Arbain Rambey. Jangan tanya dia siapa, aku tidak kenal.
Caranya menyampaikan materi sangat santai, lucu, pokoknya cocok
dijadikan narasumber pertama. Meskipun kurang terstruktur
penyampaiannya, tapi poin-poin pentingnya tetap tersampaikan. Poin
pertama yang kucatat adalah tentang auto/manual. Beberapa orang
menganggap bahwa memotret dengan mode auto itu “cupu”, tidak
keren, dan sebagainya. Menurut Pak Arbain Rambey tidak ada salahnya
menggunakan auto, toh kamera dibeli mahal-mahal ya agar kameranya
yang “kerja”. Dan sebenarnya selain auto/manual, ada hal lain
yang menentukan hasil foto, yaitu posisi, komposisi (yang ini aku
agak lupa entah komposisi entah apa), dan momen. Mau menggunakan auto
ataupun manual, kalau posisi atau tempat kita mengambil foto tidak
tepat, hasil fotonya juga tidak akan bagus. Kita juga harus
menentukan objek apa saja yang mau ditampilkan dalam foto. Momen atau
waktu kita memencet tombol juga mempengaruhi hasil foto.
Poin kedua adalah tentang
Photoshop, atau aplikasi untuk mengedit foto. Ada kalanya foto yang
kita hasilkan memang perlu diedit, misalnya untuk keperluan iklan.
Foto dalam iklan biasanya lebay, misalnya rambut yang berkilau, tubuh
yang sangat ramping, pokoknya sulit menemukan manusia dengan kriteria
tersebut. Untuk memenuhi permintaan lebay tersebut, foto perlu
diedit. Jadi, tidak perlu anti dengan aplikasi semacam Photoshop dan
kawan-kawan.
Poin ketiga, menurut Pak
Arbain Rambey, foto yang permintaannya tinggi (alias foto yang paling
laku dijual) adalah foto pemandangan (landscape). Biasanya foto pemandangan ini digunakan dalam kalender. Jadi, kalau
jalan-jalan atau liburan, potret pemandangan yang ada, jangan cuma
selfie. Ini jleb sekali. Untungnya aku tidak suka selfie, jadi tidak
merasa tertohok. Selain foto pemandangan, foto matahari terbit dan
terbenam juga banyak peminatnya. Satu lagi. Menurut si bapak, waktu
yang tepat untuk memotret pemandangan biasanya pagi. Jadi, kalau
jalan-jalan, jangan malas bangun pagi. Kalau mau tidur, di rumah
saja. Hahaha, malah kalimat seperti itu yang kuingat-ingat.
Poin keempat adalah
tentang memotret manusia. Dalam memotret manusia, kita lebih
memerlukan pemahaman tentang manusia dibandingkan tentang teknik
fotografi. Misalnya, kalau orang yang kita potret posturnya kurang
proporsional, misalnya kakinya terlalu pendek atau kurang jenjang,
jangan memotret seluruh badan. Cukup kita potret dari pinggang ke
atas. Misalnya lagi, ada beberapa orang yang lengannya kelihatan
besar ketika menempel ke badan. Untuk memotret orang seperti ini,
gaya yang tepat adalah posisi tangan si “model” menjauhi badan,
jadi lengannya terlihat agak ramping.
Poin kelima yaitu tentang
tips membeli kamera. Pak Arbain Rambey menyarankan untuk membeli
kamera dengan merek terkenal dengan pertimbangan spare part dan after
sales service-nya lebih mudah didapatkan. Si bapak juga menyarankan
untuk membeli kamera dengan harga termahal yang rela kita keluarkan.
Katanya, untuk pemula memang disarankan menggunakan kamera yang bagus
(alias mahal). Kalau menggunakan kamera yang tidak bagus, ketika
gambar yang dihasilkan tidak bagus, tidak bisa diketahui itu karena
faktor kameranya yang kurang oke atau faktor kesalahan yang memotret.
Begonooo.. Kalau aku, sih, memang belum rela membeli kamera mahal,
hehehe.
Poin keenam adalah foto
bagus dan foto indah. Foto yang bagus adalah foto yang sesuai target
atau tujuan. Kalau tujuannya adalah menangkap keceriaan seseorang dan
fotonya bisa menggambarkan keceriaan, berarti fotonya bagus.
Sedangkan foto yang indah adalah foto yang enak dilihat. Dan foto
yang enak dilihat belum tentu bagus. Misalnya foto wedding yang
berupa siluet. Fotonya mungkin indah karena enak dilihat tapi tidak
bagus karena tidak sesuai target sebagai foto wedding. Mestinya foto
wedding itu jelas mempelai pria dan wanitanya. Kalau cuma siluet,
nggak ketahuan siapa yang nikah.
Sebenarnya masih banyak
catatan dari klinik fotografi ini. Tapi, tidak usah disebut semua,
lah. Males.
Sesi kedua adalah klinik
desain grafis. Tidak banyak tips desain grafis yang diberikan Faza
(sok akrab manggil Faza doang. nggak papa, kan seumuran. Eh, apa
tuaan gue yak?). Faza menjelaskan bahwa seharusnya seorang desainer
grafis mempertimbangkan dampak dari desain yang dia buat. Misalnya,
ketika dia membuat desain iklan rokok, akibatnya adalah akan semakin
banyak remaja yang tertarik untuk merokok. Desainer grafis perlu
menggunakan ilmunya untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik.
Selain itu desainer grafis juga harus punya wawasan, misalnya tentang
isu yang sedang jadi trending topic di media sosial. Aku tidak banyak
mencatat dari sesi ini karena Faza lebih banyak menceritakan
alasannya membuat komik Si Juki dan visi misi yang ingin dia capai
melalui komik tersebut dan manajemennya. Berhubung aku sudah tahu apa
saja yang dia sampaikan melalui komiknya, jadi tidak banyak yang
kucatat.
Setelah klinik desain
grafis selesai, banyak yang foto bersama Faza. Sebenarnya aku juga
ingin foto bareng, tapi malyuuu. Mau memotret dari jauh pun tidak
bisa karena aku tidak membawa kamera. Foto dengan ponsel pun hasilnya
pas-pasan. Hiks! Eh, tapi ada hikmahnya tidak membawa kamera. Aku
jadi tidak sibuk memotret dan jadi khusyuk mendengarkan penjelasan
para narasumber.
Lanjut ke sesi ketiga
oleh A Fuadi (Ahmad Fuadi, bukan Anwar Fuadi). Begitu melihat
penampakannya yang gondrong-gondrong tanggung mendadak aku jadi ingin
fangirling. Padahal, sebelumnya aku sama sekali tidak nge-fans pada A
Fuadi. Aku hanya suka novelnya. Dan setelah mendengar suaranya,
langsung beneran fangirling. Ternyata dia tipe orang yang suara dan
intonasinya enak didengar. Biacaranya luwes (apa sih istilah
tepatnya?) Entah memang bawaan, atau hasil didikan pesantren yang
biasanya memang melatih santrinya untuk terbiasa pidato.
Bang Fuadi (ecieee, sok
panggil abang, sok akrab) menjelaskan alasan untuk menulis yang dia
dapat dari gurunya di pesantren. Katanya menulislah agar panjang
umur, karena tulisan atau buku itu tidak akan tua dan mati. Dan oleh
karena itu, tulislah yang baik-baik. Bang Fuadi pun mengingatkan
salah satu contoh 'abadi'-nya tulisan adalah status Facebook orang
yang sudah meninggal. Duh, jadi ingat pisuhan-pisuhan-ku di Facebook, Twitter,
dan blog.
Menurut Bang Fuadi, dalam
menulis kita perlu menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama
adalah WHY. Mengapa kita menulis? Apa alasan kita menulis? Alasan
yang kuat dalam menulis bisa jadi motivasi. Kalau masih malas-malasan
dalam menulis, bisa jadi faktor WHY-nya kurang kuat. Pertanyaan kedua
adalah WHAT. Apa yang mau ditulis. Bang Fuadi menyarankan untuk
menuliskan hal-hal yang kita sukai atau yang menarik bagi kita.
Pertanyaan ketiga adalah WHEN. Kapan mau mulai menulis? Kalau jawaban
bang Fuadi, sih, menulisnya mulai dari sekarang. Setelah itu aku agak
lupa apa masih ada pertanyaan lagi atau tidak. Tapi, sepertinya ada
pertanyaan selanjutnya yaitu HOW. Bagaimana membuat tulisan tersebut?
Setelah itu ada beberapa
tips untuk menulis dari Bang Fuadi. Pertama, tidak usah minder dengan
tulisan yang kita buat karena orang yang menulis sudah selangkah
lebih maju dibandingkan orang yang hanya membaca. Kedua, sebelum
menulis kita harus riset dulu tentang apa yang hendak kita tulis.
Untuk kasus novel Bang Fuadi, karena ceritanya berdasarkan pengalaman
pribadi, risetnya dengan membaca diary yang dia tulis semasa sekolah,
surat-suratnya untuk amaknya. Bang Fuadi juga melakukan riset dengan
membaca novel-novel yang bertema asrama. Penulis juga perlu membaca
kamus untuk memperkaya kosa kata yang digunakan dalam cerita. Perlu
juga membaca buku-buku tentang menulis, misalnya buku tentang
bagaimana membuat deskripsi. Ketiga, sebelum menulis, Bang Fuadi
biasanya membuat mind mapping cerita yang akan dibuat. Kemudian, dari
mind mapping tersebut dibuat kerangka tulisan. Bang Fuadi juga
membuat biografi karakter-karakternya. Ini untuk memudahkan
penggambaran karakter dan memudahkan dalam membuat dialog yang khas
masing-masing karakter. Tips keempat adalah jangan terlalu sering
mengedit tulisan. Misalnya, baru menulis beberapa kalimat sudah
diedit. Usahakan menulis sampai selesai, baru diedit.
Catatan lain dari ulasan
Bang Fuadi adalah tentang antagonis dan konflik. Antagonis itu bukan
berarti orang yang jahat. Antagonis adalah karakter yang berbeda ide
atau cita-cita dengan tokoh utama atau protagonis. Contohnya dalam
Negeri Lima Menara tokoh antagonisnya adalah Randai, yang sama sekali
tidak jahat. Dia justru sahabat Alif (si tokoh utama), yang memang
sering bersaing dengan Alif. Tokoh Alif yang terpaksa masuk pesantren
juga menurut Bang Fuadi bisa dikategorikan antagonis. Nah, lo.
Konflik tidak harus perang dan sejenisnya. Konflik adalah
ketidaksesuaian antra kenyataan dengan harapan si tokoh utama.
Oh, ya, ada satu lagi pesan Bang Fuadi: usahakan dalam seumur hidup setidaknya membuat satu buku. Kalau tidak bisa membuat buku, paling tidak membuat paper. Dan pas setelah aku nyeletuk "Udah bikin buku. Skripsi," -- tapi tentunya tidak kedengaran oleh Bang Fuadi -- dia menambahkan, "Skripsi nggak dihitung." Haish!
Oh, ya, ada satu lagi pesan Bang Fuadi: usahakan dalam seumur hidup setidaknya membuat satu buku. Kalau tidak bisa membuat buku, paling tidak membuat paper. Dan pas setelah aku nyeletuk "Udah bikin buku. Skripsi," -- tapi tentunya tidak kedengaran oleh Bang Fuadi -- dia menambahkan, "Skripsi nggak dihitung." Haish!
Apa lagi, yah? Oh, iya.
Aku berangkat dalam keadaan kelaparan karena tidak sempat sarapan.
Siangnya setelah makan siang mendadak sakit kepala. Tapi, herannya
aku tetap semangat mengikuti acara sampai selesai. Dan sorenya, baru
sakit kepalanya makin menjadi. Ditambah mual-mual. Sepertinya efek
melewatkan sarapan. Tepar. Tidak bisa belajar padahal hari Senin ada
UTS. Pesan moral kejadian ini: jangan melewatkan sarapan. Inilah inti dari
tulisan panjang ini. Jangan melewatkan sarapan!
Desain Grafis banyak kami butuhkan loh. Jika ada informasi kami membuka lowongan tenaga kerja sebagai DESAIN GRAFIS insya Allah akan kami kabarkan
BalasHapusOh, banyak ya yang butuh desain grafis..
HapusBerarti, sinetron-sinetron itu lebih cenderung menerjemahkan 'antagonis' dalam sosok/penokohan yang serba jahat, licik, culas dan semua sifat negatif lainnya
BalasHapusSebagian besar sih gitu.. Antagonisnya jahat.
HapusArbain Rambey itu terkenal di dunia fotografi, makanya yang nggak akrab dengan dunia itu nggak akan kenal. Tapi tiap dunia kan emang punya selebnya masing-masing :)
BalasHapusMakasih share-nya, Mil ;)
Hehehe, emang bener. Tiap dunia punya seleb masing-masing.
HapusAku masih banyak selfienya pas dolan2 wisata. :D
BalasHapusBtw, materinya padat banget, Mbak. Banyak pengetahuan baru buatku.
Hihi, gapapa, kata Bang Fuadi hobi selfie perlu dikembangkan. Jadi, kalo mau nulis pengalaman pribadi, bisa riset liat foto2 selfie.
Hapuswihhh STIS kian keren aja, ngadain acara begini
BalasHapusiya. coba jaman kita dulu ada acara begini, narasumbernya sekeren ini. kan seru.
HapusPosisi pengambilan angle dalam fotografi, kata mas ketua kelompokku dulu (waktu ikut basic training fotografi) sangat menentukan bagus tidaknya hasil foto kita. Orang lain (penikmat foto) tidak akan perduli tentang bagaimana cara kita mengambil foto, yang mereka pedulikan cuma hasil fotonya bagus atau tidak. Bahkan, kalopun sewaktu fotografernya jadi coid setelah mengambil sebuah shot -misal, ambil foto sambil terjun dari jembatan, itu sudah merupakan resiko yg harus ditanggung, agar hasil fotonya kelihatan spektakuler. Dijelasin kek gitu aku jadi ngeriii. >_<
BalasHapusMenunggu momen... Ah, entah kenapa aku susah bingit buat disuruh mapan di suatu tempat, membidik dengan sebelah mata, melalui kamera. Sambil menunggu momen yang pas untuk memencet tombolnya. Mata eike keburu pegel. XD
Hehe, kalo gitu, fotografer itu ada mirip-mirip kayak sniper ya mbak.
Tentang sotosop, mbak Milo udah pernah lihat adegan editing model foto dengan sotosop belum? Citra cantik, citra macho. citra wah, dan citra2 yang ditampilkan oleh media itu, kalo kita lihat hasil sebelum dan sesudah editing sotosop, bisa bikin mlongo. Dan karena masyarakat hanya tahu hasil jadi setelah editing, lalu mereka mematok citra palsu tersebut sebagai gambaran citra paling ideal, jadilah kadang mereka depresi bingit waktu mendapati diri mereka terlampau jauh dari citra ideal versi media tadi. Pengen nyambungin ke masalah kapitalisme, tapi nanti pasti bakal jadi panjang komennya. :v
Tentang memotret manusia, ini balik lagi ke wejangan mas Jati (si ketua kelompok), jangan memotong objek foto ngepasi sendi si objek. Karena nanti si objek jadi kelihatan spt orang yg -maaf- menyandang disabilitas fisik.
Betewe, sebutin semua tips fotografinya donk, qaqa!
Oia, Faza meonk itu keknya lebih muda dariku deh mbak, brarti lebih muda dari mbak Milo, just keknya lho ini... :v
Eh, itu kirain penulisnya Pak Anwar Fuadi beneran. Soalnya aku belum pernah baca novelnya. Cuma sering lihat cover bukunya, pun secara sekilas. Gondrong2 tanggung? Ada stubble-nya juga gak mbak. *Buru-buru googling* Gak brewokan ternyata. Halah. XD
Tentang wejangan Oom Fuadi, deuh... untung jarang misuh2 di fesbuk. Misuh di blog juga jarang, ini kalo kata 'asem' dan 'sial' ga diitung pisuhan. Postingan di blog pernah pake kata dafuq juga sih, tapi kog rasanya gak beneran misuh2 itu. :v
Tips menulisnya... entah kenapa kug keknya aku gak minat jadi penulis novel. Menulis deskripsi sebuah benda agar pembaca dapat mempunyai gambaran yang sama dengan benda yang kumaksud saja, sudah bikin hamsyong. Panjang lebar tinggi, huwaaaa... Salut deh sama penulis2 yang bisa menulis secara mendetil. Di benakku mereka itu: cermat, sabar dan telaten sekali keknya.
Dan terakhir, kenapa hanya dengan melewatkan sarapan bisa jadi pusing? Mbak Milo penderita gastritis kah?
Meski ga jadi komen ttg kapitalisme, komen ini udah kepanjangan juga ya ternyata, haha. XD
Enha kebiasaan deh, komennya panjang, ampe bisa dibikin postingan. Bikin post aja gih :p
HapusIh, horror wejangan seniormu. Untung aku bukan fotografer, jadi motret pun semampunya aja, gak perlu spektakuler :D
Kalo nunggu momen, pake tripod dong ciiin.. *padahal aku juga ga punya tripod*
Ogitu, jangan ngepasi sendi pas motong? Kan bener, mending dibikin posting sendiri ini mah kalo ada tips2 begono.
Males ah nyebutin tips nya lagi. Males buka catetan :D
Enha umurnya berapa sih? Kalo dia lebih muda dari Enha, berarti jauh lebih muda dari aku dong? Wooo... Manggilnya Dek Faza dong ya..
Aku dooong, hobi ngomel di pesbuk.. Tapi, misuh yang kasar jarang sih.
Aku juga males nulis novel. Nulis cerbung di blog aja males ngelanjutin :D Aku termasuk yang gak suka baca deskripsi benda, setting, dll, jadi kalo nulis juga jarang bikin deskripsi gitu.
Ga tau ya gastritis apa gak..
Hayo, sana nulis tentang kapitalisme, citra, dan iklan. Eh kayanya udah pernah ya?
eh...eh...komenku yang kemaren kemana? kok hilang??
BalasHapuskomen yang mana? kayanya nggak ada deh..
Hapus