Sabtu, 20 September 2014

Udik + Impulsif + Jakarta = ???

Belum sebulan aku tinggal di Jakarta, aku sudah menggelandang beberapa kali. Padahal, dulu, hampir lima tahun tinggal di Jakarta, aku jarang sekali bepergian. Belum tentu dalam sebulan ada agenda jalan-jalan. Dan sekarang, justru sebaliknya. Rasanya tidak betah tinggal di kos. Mungkin karena aku lama tinggal di luar Jawa yang minim tempat rekreasi. Ada, siiiih, tapi jauh. Kalau di Jakarta? Tinggal naik Transjakarta. Seperti orang yang sudah lama tidak makan. Begitu melihat makanan, rasanya semua ingin dimakan. Begitu juga aku. Rasanya ingin berkeliling ke semua tempat dan menikmati fasilitas yang tidak bisa kudapatkan di daerah.

Penggelandangan pertama adalah hari Senin, 8 September. Tujuannya: Gramedia. Awalnya aku tidak berniat ke sana. Niat semula adalah nonton di XXI Atrium sepulang kuliah. Tapi, berhubung aku tidak hafal bioskopnya di lantai berapa dan aku tidak punya teman yang bisa diajak nonton (plus jadi penunjuk jalan), aku pun memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan (di dalam Transjakarta), aku tergoda untuk ke Gramedia. Akhirnya setelah sampai di halte Tegalan aku pun turun, dan ngucluk ke Gramedia. Iya, aku impulsif. Padahal Gramedia adalah tempat hangout paling berbahaya bagiku. Kenapa? Karena kalau sudah ke Gramedia, aku harus siap-siap mengeluarkan uang banyak karena khilaf membeli buku. Daaan, memang akhirnya khilaf. Tapi, tidak menyesal, sih, karena ada novel lanjutan dari novel yang sudah pernah kubaca. Ada Bite-Sized Magic (The Bliss Trilogy) dan 21 (The Chronicles of Audy).



Penggelandangan kedua hari Rabu, 10 September. Tujuan: XXI Metropole. Awalnya tidak berniat menggelandang. Tapi, ketika ngobrol dengan Ndaru sewaktu makan sore di kampus, aku berubah pikiran. Kata Ndaru, "Pulangnya ntar aja, nemenin aku dulu." Maksudnya menemani Ndaru sebelum dia kuliah malam. Eeeh, kok, ya, yang terpikir di kepalaku langsung "kalau pulangnya habis Maghrib, sekalian aja ke Atrium, nonton". Aku pun langsung keceplosan menanyakan film yang tayang hari itu apa saja. Ndaru pun membuka website 21cineplex dan melihat daftar film di XXI Atrium. Ternyata tidak terlalu menarik. Ada satu, sih, yang agak menarik, yaitu Lucy. Yah, daripada bengong di kos, nonton Lucy pun tak apalah, begitu pikirku. Dan kemudian, entah kenapa aku terpikir untuk melihat daftar film di XXI Metropole, yang katanya dekat kampus. Katanyaaa. Begitu melihat ada film Guardian of The Galaxy, aku langsung tergoda untuk menonton. Apalagi jadwal tayangnya 18.30, masih bisa dikejar kalau aku buru-buru ke sana, dan pulangnya tidak terlalu malam. Masalahnya adalah aku tidak tahu Metropole itu di mana. Iya, aku tidak konsisten. Dua hari sebelumnya aku batal nonton karena tidak tahu tempat dan tidak ada teman. Tapi, hari itu, biarpun aku tidak tahu tempatnya, dan aku pergi nonton sendirian, aku tetap keukeuh pergi. Ndaru pun memberitahuku cara ke sana, yaitu dari kampus, melewati RSCM, teruuus ke arah Cikini. Aku pun nekat jalan kaki ke sana. Setelah beberapa kali bertanya, sampai juga di Metropole. Dan setelah bertanya lagi pada satpam di pintu masuk, aku pun sampai di XXI dan langsung memesan tiket. Ternyata yang menonton tidak terlalu banyak. Aku bisa mendapatkan posisi yang wenak. Dan filmnya? Hmmm.. Worth it, sih. Tidak menyesal jalan jauh demi menontonnya. Dan aku juga jadi tahu di mana RSCM dan Metropole. Pulangnya jalan lagi? Niat awalnya begitu. Tapi, karena sudah malam dan rasanya horror jalan jauh malam-malam, aku pun pulang naik bajaj.

Penggelandangan ketiga hari Senin, 17 September. Tujuan: Mall Ambassador. Well, ini bukan penggelandangan tanpa arti. Ini penggelandangan dengan misi mulia: mencari jemuran dan rak. Maklum, jemuran di kos penuh persaingan dan penuh perjuangan karena harus naik ke lantai tiga, jadi lebih nyaman kalau punya tiang jemuran (apa, sih, namanya?) sendiri di depan kamar. Aku ke Ambassador naik mikrolet 44. Karena aku tidak tahu lokasi mall-nya, aku pun bertanya pada sopirnya. Saat sudah sampai, dia pun memberitahuku. Turun dari mikrolet, aku masih tidak tahu di mana mall-nya. Maklum, banyak gedung bertingkat. Mana aku tahu yang mana Ambassador. Aku pun bertanya ke bapak-bapak yang berdiri di trotoar. Eh, ternyata bapaknya genit. Huh! Ternyata aku harus menyeberang jalan raya untuk ke mall-nya. Keliling-keliling seperti anak hilang, naik turun eskalator, menyeberang jembatan, aku masih belum menemukan tempat yang kutuju: Carefour. Setelah beberapa kali bertanya, ketemu juga Carefour itu, entah dia lokasinya di Ambassador atau ITC Kuningan. Setelah mendapatkan rak dan jemuran, aku pun bingung bagaimana pulangnya. Aku harus membawa belanjaan yang berat. Untungnya aku bisa membawa trolly sampai ke pintu keluar. Tapi, aku juga tidak tahu jalan keluar dari mall itu. Aku harus beberapa kali bertanya. Terakhir, aku bertanya pada mas-mas yang sedang membawa sederetan trolly. Saat kutanyakan pintu keluar untuk mencari taksi, dia berkata, "Pintu keluarnya di atas. Nanti diantar, Bunda". Setelah meminggirkan trolly yang dibawanya, dia langsung menarik trolly-ku dan membawanya naik eskalator. Antara senang dan bete. Senang karena dibantu. Bete karena dipanggil Bunda. Ah, umur memang tak pernah bohong. Sudah 28, wajar dianggap emak-emak. Hiks!

Akhirnya kami sampai di pintu keluar dan mendapatkan taksi. Berhubung macet, si sopir taksi berinisiatif menggunakan jalan pintas lewat jalan dekat lintasan kereta api. Karena aku tidak tahu daerah situ, aku menurut saja. Ternyata, dia menggunakan jalan pintas dari Stasiun Tebet tembus ke Stasiun Cawang, yang justru makin jauh dari kosku. Dan si sopir ini ternyata tidak paham sewaktu kubilang, "Otista, pak, kas negara." Dia tidak tahu kas negara. Dia juga tidak tahu halte Transjakarta Bidaracina. Dan sepertinya dia juga mengira aku tidak tahu daerah situ. Untungnya, setelah sampai di perempatan Cawang, aku sudah kenal daerahnya. Setelah kusebut kas negara, halte Bidaracina, dia tak paham juga, aku pun ingat SPBU dekat kampus STIS. Dan dia baru paham setelah kusebut pom bensin tersebut. Berhubung kosku di sebelah timur jalan raya, berarti harus putar balik, dan makin banyaklah argo taksinya. Aku sempat curiga kalau si sopir ini sengaja membawaku berputar-putar agar ongkos taksinya pun banyak. Tapi, sudahlah. Yang penting, sampai kos dengan selamat.

Penggelandangan keempat hari Rabu, 17 September. Tujuan: PGC. Pulang kuliah, langsung naik Transjakarta tujuan PGC. Sampai sana ... shopping! Selama ini masalahku kalau belanja pakaian ada dua: harga dan ukuran. Beginilah kalau badan ukuran ekstra. Dan di PGC aku menemukan kemeja yang lumayan besar (yah, tidak longgar, sih, tapi tidak ketat juga di badanku) dan harganya masih normal: Rp 65.000. Kalau jaman kuliah dulu yang sering kuincar adalah kemeja seharga Rp 35.000. Sepertinya sekarang sudah susah menemukan kemeja dengan harga di bawah Rp 50.000. Setelah selesai belanja macam-macam dan makan, aku pun pulang. Sampai di halte Transjakarta, ternyata tidak bisa membeli karcis dan harus menggunakan kartu untuk naik Transjakarta. Di beberapa halte sudah diwajibkan menggunakan kartu tersebut, salah satunya halte PGC. Karena malas naik mikrolet, aku pun memutuskan tetap naik Transjakarta dan membeli kartu seharga Rp 40.000, yang isinya Rp 20.000 (bisa untuk lima kali perjalanan).

Penggelandangan kelima hari Jumat, 19 September. Tujuan: Grand Indonesia. Shopping? Tentu tidak! Tujuanku ke sana cuma satu: nonton Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno di BlitzMegaplex. Mestinya aku berangkat lebih awal agar tidak pulang kemalaman. Tapiii, aku baru berangkat pukul tiga sore lewat sekian. Eh, apa hampir setengah empat, ya? Aku tidak yakin. Yang jelas, Transjakarta yang kutunggu (tujuan Harmoni) baru datang pukul empat lewat. Padahal aku mau menonton film yang jadwalnya 16.30. satu hil yang mustahal. Sampai di Harmoni, aku transit dan naik Transjakarta tujuan Blok M. Mestinya aku turun di halte Bundaran HI. Tapi, ternyata sedang ada proyek MRT jadi tidak berhenti di halter Bundaran HI (haltenya pun sepertinya sudah lenyap). Akhirnya aku turun di halte Tosari. Beberapa kali bertanya, akhirnya sampai di Grand Indonesia. Katanya Blitz ada di West Mall. Aku pun ke sana. dan katanya Blitz ada di lantai 8. Aku sok-sok-an naik eskalator. Tapiii, kok baru empat lantai sudah tidak ada eskalator lagi? Beuh! Aku pun turun lagi ke lantai dasar. Muter-muter sampai melihat lift. Lift-nya cuma sampai level 5, setahuku begitu. Keluar dari lift, aku mencari lift lain yang naik sampai ke Blitz. Ternyata lift-nya penuh. Satpam yang jaga di depan lift pun menyarankan untuk naik eskalator yang langsung ke lantai 8. Dan, sampailah aku di Blitz. Sampai di sana sudah jam lima lewat. Terpaksa menonton di jadwal berikutnya yaitu 19.15. Sambil menunggu, aku duduk manis di sofa. Sekumpulan cewek di sebelahku sibuk selfie. Aku? Jelas tidak selfie. Menuh-menuhin memory ponselku saja. Iya kalau hasil selfie-nya cantik. Kalau jelek? Gah! Selain banyak yang selfie, ada juga yang membeli softdrink di mesin penjual. Ada yang bolak-balik memasukkan uang tapi selalu keluar lagi, dan akhirnya berhasil setelah menggunakan uang dengan nominal yang lebih besar. Padahal, mesin itu tidak menyediakan uang kembalian. Jadi, sepertinya dia harus membayar Rp 20.000 demi sebotol Coca Cola. Ckckck.

Pukul tujuh, para penonton sudah bisa masuk ke bioskop. Penontonnya lumayan banyak. Untung aku masih bisa mendapatkan posisi wenak. Yah, biarpun ternyata aku diapit dua pasangan. Dan filmnya? Campur aduk. Antara excited dengan koreografi dan scoring-nya dan gemes-bete-penasaran dengan ending-nya yang menggantung. Tetap penasaran meskipun manga dan anime-nya sudah lama beredar. Dan satu lagi, antara ingin jejeritan norak plus fangirling dan malu-malu-jaim. Yang jelas WORTH IT. Jadi jatuh cinta dengan Takeru Sato. Setelah film selesai pun aku masih senyum-senyum sendiri. Dan pulangnya ... lebih ribet dibandingkan waktu berangkat. Dari halte Tosari naik Transjakarta ke Harmoni. Dan sampai Harmoni ternyata sudah tidak ada bus yang langsung ke PGC. Katanya bus terakhir pukul sepuluh malam sedangkan aku sampai Harmoni baru pukul sepuluh lewat seperempat. Hiks. Akhirnya terpaksa naik bus tujuan Pulogadung dan transit di halte Senen. Dari Senen naik jurusan Kampung Melayu. Sebenarnya dari Kampung Melayu bisa jalan kaki meskipun lumayan jauh. Tapi, karena horror jalan malam-malam, aku memilih naik bus jurusan Kampung Rambutan dan turun di halte Bidaracina.


Semua penggelandangan itu membuatku ngeri sendiri mengingat sifat impulsif dan ngotot-ku. Ujug-ujug memutuskan pergi nonton atau pergi jalan-jalan ke PGC. Ngotot, kalau mau nonton, ya, harus nonton, bagaimanapun caranya, apapun risikonya. Scary, huh? Kadang impulsif itu menyenangkan. Banyak pengalaman tak terduga dari sesuatu yang tidak terencana. Tapiii ... impulsif itu juga berbahaya. Kalau tiap hari impulsif ke toko buku, khilaf melulu, bisa bangkrut. Dan ngotot juga bahaya. Kadang kita harus tahu kapan harus berhenti. Enough is enough. Bagaimana kalau aku sampai Grand Indonesia lebih malam dan karena ngotot aku memutuskan menonton yang midnight? Bisa-bisa aku tidak bisa pulang ke Otista.

7 komentar:

  1. aku belum nonton guardians of the galaxy

    BalasHapus
  2. Jadi kangen otista :'(
    Btw, ternyata ada yg lebih kuper dr aku selama 5 tahun kul di jkt doloo #kabuur#

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kuper banget -_- Aku aja baru ke Monas setelah mau penempatan. Monas mbak, Monas!

      Hapus
  3. mbak mill sekarang di jakarta?dapat beasiswa ya mbak?

    BalasHapus
  4. Kalau jemuran kos dimana-mana emang rebutan ya. Siang sedikit sudah penuh.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!