Hisako Oishi mendapat tugas untuk mengajar di sekolah cabang di sebuah
desa terpencil di Laut Seto. Jarak sekolah itu delapan kilometer dari rumahnya.
Setiap hari dia menempuh jarak itu dengan bersepeda. Kala itu, tahun 1928,
perempuan mengendarai sepeda bukanlah hal yang lumrah. Ditambah dengan pakaian
barat yang dia kenakan. Penduduk desa jadi kurang menyukainya karena
menganggapnya “terlalu modern”.
Oishi memiliki dua belas orang murid: tujuh murid perempuan dan lima
murid laki-laki. Mereka memiliki karekter beragam. Ada Kotsuru dan Nita yang
cerewet, Sanae yang pemalu, Takeichi yang cerdas, dan lainnya. Mereka memanggil
Oishi dengan sebutan Koishi. Mereka sangat menyukai guru mereka itu. Mereka –
yang biasanya datang terlambat karena harus berjalan kaki sejauh lima kilometer
ke sekolah – tidak pernah terlambat sejak diajar Oishi.
Hingga suatu hari, ketika Oishi mengajak murid-muridnya ke pantai, ia
terkena jebakan yang mereka buat. Kakinya terluka. Dia pun tidak bisa mengajar
dalam waktu yang lama. Murid-murid yang merindukannya pun memutuskan untuk
pergi ke rumahnya. Mereka berjalan kaki ke rumahnya, sejauh delapan kilometer!
Mereka sendiri awalnya tidak menyangka kalau jarak yang akan mereka tempuh
sejauh itu. Karena peristiwa itu, penduduk desa jadi tahu betapa anak-anak mereka
menyukainya. Mereka pun mulai menyukainya juga. Sayangnya, Kepala Sekolah
justru memutuskan untuk memindahkan Oishi ke sekolah utama.
Beberapa tahun kemudian, murid-murid itu naik ke kelas lima. Dan
sesuai aturan, murid kelas lima tidak bersekolah di sekolah cabang melainkan di
sekolah utama. Itu berarti mereka kembali diajar oleh Oishi. Sayangnya, dia
harus melihat salah satu muridnya berhenti bersekolah. Namanya Matsue. Karena
ibunya meninggal, dia harus tinggal di rumah untuk menjaga adik-adiknya selama
ayahnya bekerja.
Saat itu juga mulai terjadi perang. Semangat nasionalisme sedang
gencar dikobarkan. Dan orang-orang yang dianggap menyebarkan paham yang
bertentangan dengan nasionalisme dianggap “merah” atau komunis. Banyak di
antara mereka yang ditangkap. Oishi merasa sudah tidak sejalan dengan sistem
mengajar di sekolah dan akhirnya memutuskan berhenti bekerja sebagai guru.
Ditambah lagi beberapa muridnya berkeinginan menjadi tentara. Dia merasa
“gagal” mengajar mereka.
Bagaimana kehidupannya setelah berhenti mengajar? Bagaimana pula nasib
murid-muridnya?
Itu adalah ringkasan cerita di novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae
Tsuboi. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1952, dan diterbitkan di
Indonesia untuk pertama kali pada tahun 2013 oleh Gramedia Pustaka Utama.
Novel setebal 248 halaman ini memberikan sudut pandang yang berbeda
tentang perang, yaitu dari sudut pandang orang biasa. Ada satu dialog yang
menarik antara Oishi dan murid-muridnya ketika ada yang menyatakan ingin
menjadi tentara. Dialog itulah yang kemudian membuat Oishi dianggap sebagai
pengikut Merah.
“Ibu guru tidak menyukai tentara?”
“Tidak, aku lebih suka nelayan dan pedagang beras.”
“O ya? Kenapa?”
“Kau tahu, kau masih terlalu muda untuk mati.”
“Wah, pengecut sekali!”
“Ya, seperti itulah aku.”
Pengecut. Memang kelihatannya seperti itu. Tapi, manusiawi, kan? Guru
mana yang sampai hati melihat muridnya – yang sudah dianggapnya seperti anak
sendiri – pergi ke medan perang untuk mati muda?
Selain bercerita tentang perang, novel ini juga bercerita tentang
masalah yang dialami sebagian besar muridnya: kemiskinan. Karena kemiskinan
ini ada muridnya yang putus sekolah, ada pula yang sampai “dijual”.
Biarpun temanya sepertinya berat, tapi karena gaya bahasanya
sederhana, tidak terlalu pusing membaca novel ini. Alur maju membuat cerita di
novel ini mudah dipahami. Tapi deskripsi di awal cerita tentang sekolah cabang
dan sekolah utama cukup membingungkan. Setelah membaca bab-bab berikutnya aku
baru paham. Untunglah. Penggunaan kata master dan miss di novel ini juga menurutku agak ganjil. Apakah itu terjemahan dari kata "san"? Kenapa tidak diganti dengan kata Tuan, Nyonya, dan Nona saja?
Selain ceritanya yang bagus, desain sampulnya juga bagus. Cuma sayang,
glitter-nya itu, lho! Mengganggu. Tulisan di bawah nama penulis jadi sulit
terbaca. Padahal itu, kan, penting (setidaknya bagiku tulisan itu penting). Kalau
mau menggunakan glitter, mending cukup di tulisan judulnya saja, tidak usah di
seluruh background.
Oh, ya, for your information, judul asli novel ini adalah Nijushi no
Hitomi yang arti harfiahnya dua puluh empat mata. Tapi, di judul terjemahannya
jadi Dua Belas Pasang Mata. Mungkin alasannya karena dua belas pasang mata lebih
estetis dibanding dua puluh empat mata.
Overall, I like this book!
aku baca reviewnya aja deh disini
BalasHapussilakan :)
Hapuspara penggemar novel jepang pasti suka nih
BalasHapusOke. Masuk list. Harus siapin tisu gk nih bacanya, Mil? Aku baca Totto Chan sampe nangis, lho.. (-_-'')
BalasHapusSaya sih baca ini nangisnya cuma bentar. Pas bagian menjelang akhir. Gak ngabisin stok tisu kok.
Hapuskira2 laskar pelangi 'nyontek' ga ya??
BalasHapussusah ya nentuin LP nyontek atau nggak. saya bukan ahlinya tapi kalo dari segi plot nya beda. POV beda. setting LP juga khas. mungkin Andrea Hirata terinspirasi kali ya.
Hapus