Kamis, 14 November 2013

Aku dan Perpustakaan

Siapa yang suka ke perpustakaan? Angkat tangannya! Jelas, aku adalah satu di antara sekian banyak orang yang TIDAK mengangkat tangan. Ya, aku tidak suka ke perpustakaan. Biarpun lumayan suka membaca, tapi perpustakaan tetap tidak menarik bagiku. Dan seumur hidup, aku jaraaang sekali ke tempat itu.

Sewaktu SD, aku tidak tahu di sekolah ada perpustakaan. Setelah naik kelas 6 (kalau tidak salah), aku mendengar kabar ada adik tingkat yang pintar dan rajin membaca buku perpustakaan. Emangnya ada perpustakaan di sekolah? Ternyata ada. Tapi, tempatnya kalau tidak salah di ruang guru. Heee? Di ruang guru? Itu adalah ruang angker. Bukan angker karena ada hantunya tapi angker karena ada guru-guru di situ. Padahal guru-guruku tidak galak -- setidaknya tidak galak padaku -- tapi tetap takut bertemu mereka di luar jam pelajaran. Jadi, aku tidak pernah ke perpustakaan.

Sewaktu SMP, aku ke perpustakaan beberapa kali. Dalam satu tahun ajaran, dua kali aku ke perpustakaan. Meminjam buku? Iya. Tepatnya meminjam buku paket di awal tahun ajaran dan mengembalikannya di akhir tahun pelajaran. Selain itu? Maaf-maaf saja. Tapi, teman sebangkuku sewaktu kelas satu SMP rajin ke perpustakaan. Dia sering meminjam buku tentang mitologi Yunani. Ada cerita tentang wanita yang memintal benang takdir, cerita asal-usul daun salam di kepala Apollo, cerita lahirnya Athena, pokoknya banyak. Dan kalau dia sudah meminjam buku, aku tinggal duduk di sampingnya dan ikut membaca.

Selasa, 05 November 2013

Menjaring Angin (13)

Wukir pun teringat ketika Sasi memberikan undangan pernikahan padanya dua minggu yang lalu. Sore itu, setelah jam kerja berakhir, ia bergegas ke kantor provinsi mengantarkan laptop Matari yang diperbaikinya. Ketika ia sedang mengobrol dengan Matari dan Pawana, Sasi pun datang membawa beberapa undangan.

“Akhirnya Sasi nyebar undangan juga. Mas Wukir kapan, nih?” goda Matari.

“Ntar siang aku sebar undangan,” jawab Wukir sungguh-sungguh – atau setidaknya kelihatan sungguh-sungguh.

“Serius?”

“Serius. Ntar siang aku sebar undangan. Undangannya Sasi,” kata Wukir yang langsung tergelak. Tapi ia tidak bisa lama tertawa karena Pawana langsung memukul lengannya dengan buku. Keras sekali. Ia baru saja membuka mulut hendak protes atas kesadisan Pawana ketika Matari tiba-tiba bertanya.

“Baruna? Ini bukan Baruna anak Analisis itu, kan?”

Sasi hanya tersenyum.

“Jadi Baruna yang itu? Serius? Nggak salah? Dia, kan, jauh lebih muda dari kita,” tanya Matari bertubi-tubi.

“Terus kenapa kalau lebih muda?” Sasi balik bertanya.

“Cowok seumuran dia pasti masih kekanak-kanakkan, belum dewasa!”

“Kedewasaan nggak selalu bisa dinilai dengan usia, kan? Ada orang yang bisa bersikap dewasa tanpa menunggu jadi tua. Baruna salah satunya. Asal kamu tahu aja, dia jauh lebih dewasa dari kamu,” Sasi yang biasanya tenang menghadapi Matari kini terlihat jengah.

“Eh, desainnya bagus. Siapa yang buat?” Wukir mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Nana yang buat. Minggu lalu aku minta dia buat desain, besoknya langsung dia kasih. Dan cocok. Aku sama Baruna suka gambar laut sama bulan purnamanya,” terang Sasi.

“Kok, cepet banget jadinya?” tanya Matari.

“Nggak tahu, tuh, Baruna. Kayanya kenal yang punya percetakan, jadi cepet,” jawab Sasi.

“Kamu udah desain undangan Sasi sama Baruna. Kapan kamu desain udangan nikahan kamu sama Pukat?” sindir Wukir.

***

Aaargh! Bodoh sekali. Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu? Kenapa aku menanyakan undangan pernikahannya dengan Pukat? Kalau dia mengajak Pukat menikah pada hari pengumuman beasiswa, berarti itu seminggu sebelum Sasi membagikan undangan. Dan itu berarti ... Sasi memintanya membuatkan undangan pernikahan tepat di hari dia ditolak? Ah, kalau saja Sasi tahu yang terjadi, dia takkan sampai hati melakukannya.