Aku pernah menulis kalau lidahku lebih cocok dengan makanan kampung. Dulu aku memang tidak suka makanan-makanan yang tidak biasa kumakan seperti makanan luar negeri. Selain harganya mahal, rasanya juga terlalu aneh. Namun, sekarang sepertinya sudah tidak begitu lagi. Sejak pindah ke Jakarta, entah sudah berapa kali aku memesan makanan Korea, Jepang, dan sebagainya lewat go-food. Sampai-sampai beberapa rekan kantor hafal dengan kebiasaanku yang sedikit-sedikit pesan go-food.
Kalau diingat-ingat, sebagian makanan luar negeri atau non-Indonesia yang sekarang sering kumakan itu dulunya terasa aneh di lidahku. Makanan luar negeri yang pertama kali kucoba kalau tidak salah kebab. Waktu pertama kali memakannya rasanya aneh. Apalagi dulu aku tidak suka mayones. Sekarang? Hobi makan kebab. Sewaktu pertama kali makan tom yum juga sama. Awalnya terasa aneh di lidah. Setelah beberapa kali mencoba, ketagihan. Selama di Abdya, aku sering sekali ngidam tom yum. Pengalaman pertama makan pizza juga begitu. Entah terlalu asin atau bagaimana. Yang jelas waktu itu menurutku masih enak martabak dekat Pante Pirak di Banda Aceh. Lama-lama, bisa juga menikmati pizza. Namun, butuh waktu agak lama sih untuk menyesuaikan lidahku dengan rasa pizza. Masakan Jepang? No no no. Dulu sekitar tahun 2009 aku mencoba Hokben untuk pertama kali karena ada makanan gratis dari pelatihan. Kalau tidak salah saat itu ada teriyaki. Atau yakiniku? Semacam itulah. Rasanya? Aneh. Bau bawang bombaynya kuat sekali. Waktu pertama kali makan ramen juga begitu. Tidak suka rasa dan baunya yang tajam. Sekarang? Enak-enak saja. Makanan Korea? Pertama kali makan tteokbokki rasanya hambar. Masih mending cilok. Sekarang? Hobi makan tteokbokki karena suka sausnya. Yang masih belum membuat ketagihan ramyun-nya. Masih enak indomi atau mi sedap, hehehe.
Ternyata untuk soal makanan pun hukum "tresna jalaran saka kulina" bisa berlaku. Suka karena terbiasa. Untuk sebagian saja, sih. Sebagian yang lain masih sekadar "bisa (makan) karena biasa". Indera manusia memang mudah terbiasa, sih. Seharusnya cara "membiasakan" lidahku dengan kembali mencoba memakan makanan yang awalnya tidak cocok di lidahku bisa kulakukan juga pada bawang goreng. Selama ini aku tidak suka bila di makananku ada bawang goreng. Kalau sudah memesan ke penjual agar tidak memberi bawang goreng di makananku tapi si penjual tetap memberi bawang goreng, aku bisa sebal luar biasa. Mestinya bisa ya mencoba bawang goreng beberapa kali untuk menyudahi permusuhanku dengan bawang goreng. Tapi, kok, males, ya.. Aku belum ingin berdamai dengan bawang goreng.
Ah, sudahlah.
belajar menyukai sesuatu. aku juga heran kalo lihat temen yang gak suka bawang kayak nasi goreng atau makanan yang diberi bawang pasti doi gak suka. tapi pas aku bawain makanan dan aku gak bilang kalau didalamnya ada bawangnya tapi ternyata bisa makan juga.
BalasHapuskalo bawang yang udah halus kecampur sama bumbu sih bisa. kalo bawang irisan sama bawang goreng, pasti kelihatan lah. paling disingkirin sama temennya.
Hapusdari dulu samapai sekarang lidah gue paling gk cocok ama terong.
BalasHapusaku malah nggak pernah nyoba terong. nggak menarik.
HapusDulu aku kelamaan tinggal di Jogja, trus balik ke Jakarta, diajakin makan Sushi Tei. Kelas 6 SD, kalau ngga awal SMP. Dulu kayak ngerasa aneh gitu, tapi bukan ngga doyan, kayak syok, ada ya rasa kayak gini. Sekarang biasa aja perasaan rasanya.
BalasHapusNatto pernah makan ngga Mbak?
Bawang goreng enak tauuu, Mbak. Aku yang ngga bisa berdamai sama pedes sih. Dikit aja aku udah komplain, hahaha.
Aku belum pernah makan sushi. Natto juga belum pernah. Belum nemu di sini.
HapusAku kalo pedes sih masih bisa makan. Tapi habis itu tenggorokan sakit plus perut mules.