Milo VS Athaya

Apa/siapa yang bisa membuat suasana hatimu yang semula mendung berubah jadi cerah ceria? Kalau pertanyaan itu diberikan pada Athaya, jawabannya adalah sepatu. Setelah memandangi puluhan pasang koleksi sepatunya, mood-nya akan membaik. Kalau pertanyaan itu diajukan padaku, jawabannya adalah Benedict Cumberbatch. Mungkin yang rajin membaca blog ini (adakah?) bosan mendengar nama Benedict Cumberbatch. Apa mau dikata. Blog ini adalah curahan pikiran dan hatiku. Dan saat ini yang ada di pikiranku dan hatiku Benedict. Problem?

Kalau Athaya pergi berbelanja sepatu untuk mengobati suasana hatinya buruk, aku cukup duduk di depan laptop dan membuka fanpage Benedict Cumberbatch di Google+ yang menyediakan banyak foto dan video yang bisa jadi eye candy bagi fans-nya. And I will smile again as if nothing bad happened before. Apa yang lebih menyenangkan dibanding seseorang yang selalu membuatmu tersenyum bila melihatnya? Halaaah! Jadi sok romantis begini.

Kalau uang Athaya banyak dihabiskan untuk membeli berbagai macam sepatu mulai dari stiletto, wedges, pump shoes, dan sebagainya, uangku habis untuk berinternet ria. Pertama kalinya dalam hidupku menghabiskan banyak kuota internet. Itu demi mengunduh Sherlock season 3 yang berukuran 300-500 MB dan untungnya jaringan sedang berbaik hati sehingga unduhan yang biasanya putus di tengah jalan pun mendadak lancar jaya. Aku juga banyak menghabiskan kuota untuk mengunduh video-video wawancara Benedict di Youtube. Sayang sekali DVD Sherlock belum beredar di sini jadi aku belum bisa membelinya. Hiks!

Kalau tingkah Athaya menunjukkan gejala shoe fetishism, tingkahku menunjukkan gejala Benaddiction. Benaddicted. Cumberbatched. Apapun namanya, pokoknya kecanduan Benedict dan tidak mau sembuh dari kecanduan itu. Aku memasang fotonya sebagai wallpaper laptop dan handphone. Tidak bosan menonton serial ataupun film yang dia bintangi. Tidak bosan menonton video wawancaranya. Tidak bosan stalking fanpage-nya, mencari info tentang dia (tanggal lahir, zodiak, shio, keluarga, filmografi) di Wikipedia, Tumblr, dan sebagainya. Dan sekarang ditambah mendengarkan radio show yang dibintanginya yaitu Cabin Pressure.

Novel GiHH, wallpaper Mamas Beben di Ayank Leno dan Sonyx

Mana yang lebih parah, aku atau Athaya? Sepertinya kasusku lebih parah. Kecintaan Athaya pada sepatu tidak sampai membuatnya ingin menikah dengan sepatu. Yaiyalaaah! Athaya masih normal kaleee! Masa menikah dengan sepatu? Mending menikah dengan Kelana atau Ibra. Kalau aku, sempat ingin menikah dengan Benedict. Seperti lirik lagu Project Pop yang sering kunyanyikan “apakah mungkin seorang biasa menjadi istri seorang superstar” (liriknya diganti sedikit). Hihihi, gila ya! Gejala parah ini sepertinya sudah layak dikategorikan celebriphilia, karena sampai mengharapkan romance dengan selebritis. Sampai suatu hari Mbak Octa mengingatkan bahwa kami beda keyakinan. “Kalian beda keyakinan. Kamunya yakin, dianya enggak. Nggak kenal malah, bukan nggak yakin,” lebih kurang begitu katanya. Tega. Hatiku hancur berkeping-keping karena kalimat itu. Hehehe, bohong, ding! Hatiku bukan keramik yang bisa pecah jadi kepingan-kepingan. Kalimat itu membuat kadar celebriphilia-ku berkurang.

Sampai di akhir cerita novel, Athaya masih belum sembuh dari gejala shoe fetishism. Aku? Sampai kapan akan Benaddicted? Tidak tahu.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Writing Contest “Me Versus The Geek Athaya” yang diselenggarakan oleh Stiletto Book