![]() |
Gambar pinjam dari Goodreads |
Kalimat di
atas adalah salah satu kalimat yang kusukai dari novel Negeri Para Bedebah. Novel
karya Tere Liye ini lumayan tebal, 440 halaman (untuk ceritanya sendiri – minus
keterangan buku, daftar isi, dan kawan-kawannya – tebalnya 425 halaman). Bagi
yang tidak suka membaca novel tebal, bersabarlah untuk melahap halaman demi
halaman. Setidaknya novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini tidak setebal
novel Tere Liye yang sebelumnya: Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Jujur, sebenarnya
aku tidak suka judulnya. Negeri Para Bedebah. Terlalu kasar dan gelap,
sepertinya. Aku lebih suka judul cerita ini di blog penulisnya, yaitu
Bangsat-Bangsat Berkelas (Well, ini soal selera, sih, yaaa..). Tapi, demi melihat
banyak orang merekomendasikannya, aku jadi tertarik membaca novel yang baru
saja terbit bulan Juli lalu ini.
Di novel
ini, Tere Liye menulis cerita yang lumayan sesuai dengan pekerjaan aslinya:
akuntan. Yah, tokoh utama novel ini memang bukan seorang akuntan melainkan
konsultan ekonomi, eh, konsultan keuangan. Tapi, ya, sama-sama bau ekonomi,
kan? Emm, ekonomi? Sepertinya membosankan. Eits! Jangan salah! Membaca novel
ini justru sangat-sangat menyebalkan karena berat sekali untuk di-pause bahkan
untuk sekadar mandi sore. Selalu menggodaku dengan pikiran, “Ah, tanggung. Lagi
seru. Berhentinya bentar lagi.” Yeah, memang jalan ceritanya sangat seru.