Kamis, 16 Agustus 2012

Negeri Para Bedebah: Novel Penuh Intrik

Gambar pinjam dari Goodreads
 “Ya, kaubayangkan, ketika suatu kota dipenuhi orang miskin, kejahatan yang terjadi hanya level rendah, perampokan, mabuk-mabukan, atau tawuran. Kaum proletar seperti ini mudah diatasi, tidak sistematis dan jelas tidak memiliki visi-misi, tinggal digertak, beres. Bayangkan ketika kota dipenuhi orang yang terlalu kaya, dan terus rakus menelan sumber daya di sekitarnya. Mereka sistematis, bisa membayar siapa saja untuk menjadi kepanjangan tangan, tidak takut dengan apapun. Sungguh tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain sistem itu sendiri yang merusak mereka."

Kalimat di atas adalah salah satu kalimat yang kusukai dari novel Negeri Para Bedebah. Novel karya Tere Liye ini lumayan tebal, 440 halaman (untuk ceritanya sendiri – minus keterangan buku, daftar isi, dan kawan-kawannya – tebalnya 425 halaman). Bagi yang tidak suka membaca novel tebal, bersabarlah untuk melahap halaman demi halaman. Setidaknya novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini tidak setebal novel Tere Liye yang sebelumnya: Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Jujur, sebenarnya aku tidak suka judulnya. Negeri Para Bedebah. Terlalu kasar dan gelap, sepertinya. Aku lebih suka judul cerita ini di blog penulisnya, yaitu Bangsat-Bangsat Berkelas (Well, ini soal selera, sih, yaaa..). Tapi, demi melihat banyak orang merekomendasikannya, aku jadi tertarik membaca novel yang baru saja terbit bulan Juli lalu ini.

Di novel ini, Tere Liye menulis cerita yang lumayan sesuai dengan pekerjaan aslinya: akuntan. Yah, tokoh utama novel ini memang bukan seorang akuntan melainkan konsultan ekonomi, eh, konsultan keuangan. Tapi, ya, sama-sama bau ekonomi, kan? Emm, ekonomi? Sepertinya membosankan. Eits! Jangan salah! Membaca novel ini justru sangat-sangat menyebalkan karena berat sekali untuk di-pause bahkan untuk sekadar mandi sore. Selalu menggodaku dengan pikiran, “Ah, tanggung. Lagi seru. Berhentinya bentar lagi.” Yeah, memang jalan ceritanya sangat seru.