Rabu, 18 September 2013

Cerita Sebelum Tidur

Waktu kecil aku sering sekali didongengi. Aku tidak ingat tepatnya mulai kapan dan sampai kapan, yang jelas "waktu kecil". Biasanya sebelum tidur, entah tidur siang atau tidur malam, Abah mendongengiku. Dongengnya tidak jauh-jauh dari cerita fabel yang sudah kondang: kancil. Tapi, kancilnya bukan cuma kancil nyolong timun. Seringnya malah cerita kancil mengerjai harimau. Pernah suatu hari kancil menipu harimau dengan mengatakan bahwa batang-batang pohon bambu yang mereka lihat adalah seruling. Dia menyuruh harimau untuk menyelipkan lidahnya di antara dua batang bambu. Hasilnya tentu bukan suara merdu. Lidah si harimau malah terjepit. Pernah juga kancil menunjukkan benda berwarna hijau pada harimau dan mengatakan bahwa itu adalah sorban. Harimau pun memakainya. Padahal sebenarnya benda hijau itu bukan sorban melainkan tlepong (kotoran kerbau). Selain cerita-cerita itu masih ada cerita lain seperti Bawang Putih Bawang Merah. Tapi, aku tidak ingat. Yang melekat kuat di ingatanku cuma dua cerita itu. Dan satu lagi yang kuingat: tuli ana watu mendelis, uwis. Itu adalah kalimat yang sering diucapkan padaku kalau aku berkata, "Tuli? Tuli? (Terus? Terus?)" Kalau anak lain didongengi mungkin cepat tidur. Kalau aku? Jangan harap. Aku justru makin melek dan kalau cerita sudah selesai aku berkata, "Tuli? Tuli?" Abah yang -- mungkin -- sudah kehabisan cerita atau sudah capai bercerita pun menjawab, "Tuli ana watu mendelis." Aku pun bertanya lagi, "Tuli?" Abahku pun akan menjawab, "Uwis." Sudah. Tidak ada cerita lagi. Kalau sudah begitu, paling Abah "menyanyikan" sholawat agar aku tertidur.

Sabtu, 14 September 2013

Jatuh Itu Biasa



Bagi pengendara motor, yang namanya jatuh pasti sudah biasa. Apalagi bagi yang baru belajar mengendarai sepeda motor. Aku sendiri sudah beberapa kali mengalami accident, baik yang sangat ringan maupun yang agak parah. Semoga tidak akan pernah mengalami yang parah. Ngeri, bok!

Waktu baru awal-awal memiliki sepeda motor, aku beberapa kali menjatuhkan sepeda motorku. Kenapa aku menggunakan kata ‘menjatuhkan’? Karena yang jatuh memang hanya sepeda motorku sedangkan aku sendiri tetap berdiri, tidak ikut terjatuh. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin refleks aku langsung melepaskan pegangan pada stang motor sehingga ketika motor jatuh aku tidak ikut jatuh. Aku juga pernah menabrak pagar di kos. Untungnya cuma pagar kayu yang tidak kokoh. Coba kalau pagarnya besi atau tembok. Bisa hancur aku dan sepeda motorku.

Itu tadi yang ringan. Yang agak parah? Ada. Waktu itu aku baru beberapa kali ke kantor naik sepeda motor. Dan tentunya aku belum mahir keluar masuk tempat parkir yang ada di belakang kantor. Jalan masuk ke tempat parkir itu menurun, belok kanan, dan agak susah bagi yang belum terbiasa. Saat keluar dari tempat parkir, aku menarik gas kuat-kuat karena jalannya menanjak. Karena terlalu kuat menarik gas, aku jadi tidak bisa mengendalikan sepeda motorku, yang seharusnya belok kanan justru tetap lurus dan menabrak tanah yang posisinya lebih tinggi dari jalan kemudian terguling dari situ dengan suksesnya. Alhamdulillah aku memakai helm dan jaket jadi lecetnya tidak parah. Lecet dan biru-biru, sih. Tapi, tidak sampai patah tulang atau luka yang parah. Alhamdulillah. Yang parah malah sepeda motor Yamaha Mio yang kunamai Honey Bunny Black Sweetie.

Jumat, 13 September 2013

Menggelandang Ke Lembah Sabil

Tanggal 11 September kemarin aku 'jalan-jalan' ke Lembah Sabil. Lembah Sabil itu di mana? Lembah Sabil adalah kecamatan di Aceh Barat Daya yang paling ujung selatan (atau tenggara, ya?) yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Manggeng. Nah, hari itu aku menemani Meri ke sana. Tujuan utama adalah ke kantor camat untuk meminta tanda tangan camat untuk buku Kecamatan Lembah Sabil Dalam Angka sekaligus meminta foto camat. Tujuan sampingannya adalah hunting foto untuk sampul publikasi Kecamatan Dalam Angka. Tapi, tidak banyak foto yang kudapatkan. Dari lima kecamatan yang kulewati (Blangpidie, Setia, Tangan-Tangan, Manggeng, dan Lembah Sabil), tidak banyak yang menarik. Ujung-ujungnya aku hanya mengambil gambar sawah-sawah yang kami lewati. Tidak ada landmark yang khas.

Sebelum ke kantor camat, kami mampir sebentar di rumah Meri di Desa Suka Damai. Rumah Meri terletak di tepi sungai yang memisahkan Desa Lhok Puntoy (Kecamatan Manggeng) dan Desa Suka Damai (Kecamatan Lembah Sabil). Sungai ini jaraknya sekitar dua atau tiga kilometer dari jalan raya. Kalau dihitung jaraknya dari Blangpidie mungkin sekitar 21 sampai 23 kilometer. Nah, di sinilah aku melihat pemandangan menarik untuk difoto: sungai dan pintu air. Yah, tidak terlalu cocok untuk sampul publikasi, sih. Tapi, tetap menarik untuk difoto. Ini dia gambar-gambarnya:

Minggu, 08 September 2013

Menjaring Angin (10)



Adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang. Namun, Pawana masih sibuk di depan komputer – yang sekarang beralih fungsi jadi server.

“Udah selesai, Na?” tanya Matari.

“Bentar lagi. Ini lagi bikin tabel rekap hasil entry yang diminta Pak Agni. Kalian?”

“Belum. Baru selesai bikin SPJ, eh, tadi ada email suruh revisi SPJ-nya. Sakit jiwa itu orang kantor pusat!” rutuk Matari.

“Sasi?” tanya Pawana sambil tetap fokus pada komputer.

“Lagi sholat. Dia juga udah stress meriksa dokumen survei seabrek-abrek. Mending kita pulang aja, lah. Percuma lembur kalau pikiran udah kusut. Kerjaan malah makin berantakan,” keluh Matari.

“Selesai!!!” Pawana menyimpan tabel yang baru saja dia print lalu mematikan komputer.

“Buat ngilangin stress, gimana kalau kita makan di luar?” usul Pawana.

“Oke! Ngramen aja, yuk! Abis itu kita nonton,” jawab Matari girang.

***