Minggu, 19 Februari 2012

Eliana, Kisah Anak Sulung Mamak

Aku sudah menceritakan tentang Burlian. Pukat juga sudah kuceritakan jauh sebelum aku menceritakan Burlian. Kali ini aku akan menceritakan tentang Eliana. Dibandingkan Pukat dan Burlian, aku lebih menyukai Eliana. Ingat, ya, LEBIH MENYUKAI. Itu artinya, aku menyukai ketiganya tapi kesukaan terhadap Eliana kadarnya lebih tinggi.

Kenapa aku lebih menyukai Eliana? Hmm, mungkin buku ketiga dari Serial Anak-anak Mamak ini yang paling berbau perempuan. Ya, iya, laaaaah... Eliana, kan, perempuan, sedangkan Burlian dan Pukat laki-laki.

Dalam buku ini, bisa dibilang semua bagiannya menarik. Tapi, yang paling membuatku terpesona dengan ceritanya adalah kisah ketika Eliana bertengkar dengan Anton, kawan lelakinya, mengenai masalah gender. Eliana paling tidak suka diremehkan karena dia perempuan. Maka, ketika ada kawan laki-lakinya yang berkata bahwa tidak ada perempuan yang bisa mengalahkan dia dan kawan-kawannya dalam berlari, Eliana pun menantangnya bertanding. Dengan konsekuensi bila Eliana kalah dia harus berteriak kencang-kencang di tengah lapangan, “Anak perempuan tidak bisa mengalahkan anak laki-laki. Anak perempuan itu cerewet, banyak bicara, dan tidak mau kalah.” Sedangkan bila Anton yang kalah, dia dan murid laki-laki lainnya di kelas enam harus datang ke sekolah dengan mengenakan rok esok harinya. Dan hasilnya... Eliana MENANG, yang artinya para murid laki-laki harus ke sekolah memakai rok esoknya. Dan puncak perseteruan Eliana dan Anton adalah ketika Anton menantang Eliana melakukan hal yang menurut Anton hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Sebelumnya, Eliana berkata bahwa perempuan bisa melakukan semua yang dilakukan laki-laki: menjadi petani, menjadi nelayan, memperbaiki genteng, menebang pohon. Lalu tantangan apa yang diberikan Anton pada Eliana?

ADZAN.


Yup. Dan Eliana menyanggupinya. Eliana mengumandangkan adzan Maghrib di masjid kampung. Perempuan mengumandangkan adzan, tentu saja membuat seisi kampung gempar. Hingga ia “diadili” para penduduk kampung. Nek Kiba, guru ngaji di kampung, menasihati Eliana bahwa dalam aturan agama perempuan tidak boleh mengumandangkan adzan selama ada laki-laki yang pantas melakukannya, begitu juga dalam menjadi imam sholat (maksudnya perempuan hanya bisa jadi imam sholat bagi perempuan, tidak bisa jadi imam sholat bagi laki-laki). Setelah Eliana menyadari kesalahannya dan meminta maaf, Nek Kiba pun membubarkan pertemuan tersebut. Tanpa menghukum Eliana. Ketika beberapa orang berkata bahwa Eliana harus dihukum, Nek Kiba pun menjawab, “Kalau pertemuan ini harus menghukum seseorang, maka yang harus dihukum adalah orang-orang yang tetap di ladang saat adzan berkumandang. Tetap asyik dengan pekerjaannya padahal waktu sholat telah lewat.”

Dan di rumah, “pengadilan” berlanjut. Eliana diomeli Mamak. Bapak pun menasihatinya panjang lebar. “Aku setuju soal kau tidak mau diremehkan. Tapi kau berlebihan, Eli. Hidup ini sudah kodratnya. Coba kau lihat dari sisi lain. Kau pasti akan takjub dengan kenapa harus seperti ini, kenapa harus seperti itu. Misalnya, walau laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, kau tahu Eli, ada pekerjaan hebat yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki paling perkasa, paling berkuasa sedunia. Menjadi seorang ibu. Kalian camkan itu. Hanya anak perempuan yang bisa hamil, melahirkan, menjadi seorang ibu. Tidak ada laki-laki yang bisa hamil, meski dia gagah, tinggi, besar, dan hebat. Nah, karena itulah anak laki-laki tidak boleh meremehkan anak perempuan. Dan sebaliknya pula. Kita saling mengisi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.”

Karena Eliana sudah berhasil melaksanakan tantangan Anton, yaitu adzan, maka Anton pun harus melaksanakan janjinya. Apa itu? Anton mengenakan rok, baju kurung, pemerah bibir, bedak, sanggul palsu, bolak-balik berjalan kaki mengelilingi kampung sambil berteriak, “ELIANA NOMOR SATU! ANAK PEREMPUAN MEMANG HEBAT! ANAK PEREMPUAN TIDAK BOLEH DIREMEHKAN! ELIANA NOMOR SATU!"

Well, bagian inilah yang membuatku terpesona pada Eliana. Bagian lain yang seru dalam novel ini adalah kisah pertemuan pertama antara Bapak dan Mamak. Berawal dari kesalahpahaman dalam kereta api, berlanjut menjadi kisah panjang yang diceritakan hingga tiga bagian dalam novel ini. Lucu, konyol, nggak ada romantis-romantisnya, tapi seru!

Dan seperti kedua novel pendahulunya, Burlian dan Pukat, dalam novel ini pun ada cerita mengenai kasih sayang Mamak kepada anak-anaknya. Eliana,si anak sulung, selalu saja kena getah dari kenakalan adik-adiknya. Amelia dan Burlian yang bertengkar, tapi Eliana yang dimarahi. Pukat yang terlambat bangun, tapi Eliana yang dimarahi. Rambut Amelia yang terlilit di sisir (karena keisengannya sendiri) hingga harus dipotong, Eliana pula yang dimarahi. Masalah semakin parah ketika Eli (nama panggilan Eliana) lalai menjaga Burlian hingga Burlian menginjak pecahan kaca sampai kakinya terluka. Eli melihat Mamak menatapnya datar, tanpa bicara, tanpa memarahinya. Eli pun menganggap Mamak membencinya, lalu kabur ke rumah Wak Yati. Bagian ini menggambarkan betapa kadang seorang anak salah paham atas sikap orang tuanya, dan berpikir bahwa orang tuanya membencinya dan melupakan bahwa sebenarnya orang tuanya sangat menyayanginya.

Aku menganggap sikap Eliana adalah hal yang wajar. Bila melihat sikap Mamak, rasanya manusiawi bila Eliana merasa bahwa Mamak membencinya. Dan perasaan dibenci oleh orang tua sendiri adalah hal yang sangat menyakitkan. Aku juga seorang anak, tentunya aku tahu rasanya bila memikirkan aku dibenci orang tuaku. Perasaan dicintai adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak, membuatnya merasa berharga. Maka, selain mencintai anaknya setulus hati, sudah semestinya orang tua membuat anak mengerti betapa mereka menyayanginya. Dan dalam kisa Eliana ini, ada Wak Yati yang memberitahu Eliana apa yang dilakukan Mamak setiap tengah malam selama Eliana minggat dari rumah. Setiap malam Mamak datang ke rumah Wak Yati untuk memastikan Eliana sudah tidur nyenyak, menyelimutinya, mencium keningnya. Seandainya Wak Yati tidak menyuruh Eliana untuk tetap terjaga dan berpura-pura tidur, tentu Eli tidak tahu apa yang dilakukan Mamak pada beberapa malam terakhir. Mungkin dia tidak akan pernah tahu betapa Mamak menyayanginya. Semoga bila kelak aku menjadi ibu, aku bisa menyayangi anakku dan bisa membuatnya mengerti betapa aku menyayanginya. Lho, kok jadi membahas diriku?

Dalam novel ini juga diceritakan tentang Eliana dan kawan-kawannya yang menentang para penambang pasir yang merusak kelestarian alam mereka. Jujur, menurutku Tere Liye sangat pandai menanamkan “doktrin” menjaga kelestarian lingkungan tanpa kesan menggurui.

Dari semua sisi “keren” dari novel ini, ada satu hal yang sangat mengganjal di hatiku. Dalam novel Burlian dan Pukat, Eliana dipanggil dengan sebutan “ayuk”, sebuah sebutan bagi perempuan yang lebih tua, bila di Jawa hampir sama dengan “mbak”. Tapi, dalam novel Eliana ini, Burlian dan Pukat memanggil Eliana dengan sebutan “kakak”, padahal di Sumatera Selatan biasanya sebutan “kakak” hanya untuk laki-laki. Apakah penggantian sebutan “ayuk” menjadi “kakak” agar lebih terasa “nasional” dan tidak terlalu berbau Palembang? Entah. Namun, mestinya tidak perlu diganti menjadi “kakak”. Toh, bisa dicantumkan dalam footnote bahwa “ayuk” adalah panggilan untuk kakak perempuan di daerah Sumatera Selatan. But, overall, novel ini dan rombongannya dalam Serial Anak-anak Mamak karya Tere Liye cocok jadi bacaan yang mendidik. Cocok, lah, untuk bacaan anakku kalau sudah seumuran Eliana. Emang sudah punya anak? Ckckck.

4 komentar:

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!