Sabtu, 30 Juni 2012

Wisata Budaya, dari Dies Natalis sampai Perantauanku

Sewaktu kuliah dulu, setiap ulang tahun kampus (Dies Natalis) selalu ada acara semacam pentas seni. Ada banyak stand dari tiap himada (himpunan mahasiswa daerah). Berhubung mahasiswa di kampus kami berasal dari berbagai penjuru Indonesia, stand-nya pun mewakili berbagai daerah tersebut. Desain bangunannya kadang mirip rumah adat atau yang mencerminkan daerah asal para mahasiswa. Di stand tersebut, dijual makanan khas masing-masing daerah. Di stand mahasiswa asal Jawa Barat ada cimol, moci, dan jajanan lainnya. Di stand mahasiswa asal Riau ada mie sagu. Di stand Kalimantan ada soto Banjar. Di stand Palembang ada pempek. Pokoknya, keliling stand sudah berasa keliling Indonesia. Ditambah lagi, biasanya ada mahasiswa yang didandani menggunakan busana daerahnya. Jadi, momen Dies Natalis ini benar-benar seperti Taman Mini Indonesia Indah yang lebih mini, hehehe... Sayangnya dulu sewaktu kuliah aku tidak punya banyak uang, jadi tidak bisa wisata kuliner sepuasnya. Cuma bisa membeli cimol dan mie sagu. Untungnya ada teman yang baik yang mau berbagi jajanan yang dia beli.

Selain wisata kuliner, yang ditunggu-tunggu adalah penampilan masing-masing himada dalam pentas. Biasanya, sih, yang ditampilkan tarian. Pernah juga ada yang menampilkan parodi cerita daerah. Kalau tidak salah parodi cerita Banyuwangi, yang mestinya sad ending tapi malah jadi happy ending. Dari sekian banyak tarian, ada tarian dari dua daerah yang paling menarik, yaitu tarian persembahan mahasiswa asal Maluku dan Papua serta mahasiswa asal Aceh. Mahasiswa asal Papua dan Maluku mempersembahkan tari apa, ya? Aku lupa namanya. Yang jelas tarian asal Maluku itu seperti permainan anak Pramuka. Kira-kira seperti gambar di bawah ini. Hanya saja, penarinya ada empat orang jadi lebih heboh, ditambah musik yang rancak.

gambar pinjam dari gopego.com
Tarian favorit kedua adalah Tari Saman dari Aceh. Ini adalah tarian yang membuat penontonnya menghela napas ketika ritme tarian sudah semakin cepat. Setelah gerakan berhenti sebentar, penonton akan bernapas lega lalu bertepuk tangan riuh. Mungkin karena aku lebih sering melihat tarian Jawa yang lembut dan pelan, jadi aku terpesona melihat Tari Saman yang ritmenya cepat ini.

Dulu kukira tarian Aceh cuma Tari Saman dan Seudati saja. Ternyataaa... Banyak! Setelah penempatan di Aceh aku jadi tahu tarian-tarian lainnya. Beruntung sekali pada beberapa kali pembukaan Ratekda yang kuikuti ada penampilan tari daerah, salah satunya Tarian Ranup Lam Puan. Biasanya tarian ini digunakan untuk menyambut tamu. Tarian ini mematahkan persepsiku yang mengira tarian orang Aceh itu ritmenya cepat semua, hahaha... Maklum, terlalu sering menonton Tari Saman yang cepatnya bujubuneng! Dan dalam pesta pernikahan di sini, biasanya ada penampilan Rapa'i Geleng. Rapa'i ini semacam rebana, begitu setahuku. Beberapa gerakan dalam Rapa'i Geleng mirip dengan Tari Saman. Hanya bedanya dalam Tari Saman musiknya menggunakan anggota badan (tangan) dan dalam rapa'i musiknya menggunakan rapa'i. Jadi, rapa'i ini nama alat musik atau nama tarian? Sepertinya dua-duanya, hehehe... Sekarang malah ada yang memadukan gerakan Tari Saman dengan Rapa'i Geleng dan hasilnya adalah tarian bernama Rapa'i Saman. Satu hal yang membuatku salut pada para penari Rapa'i Geleng adalah: leher mereka tidak pegal dan mereka tidak pusing. Kalau aku latihan Rapa'i Geleng, mungkin sudah menghabiskan banyak koyo untuk ditempel di leher.

Gambar pinjam dari tradisiku.blogspot.com
Gambar pinjam dari jktmike.livejournal.com

Aku masih melihat tarian-tarian tersebut dibawakan dalam beberapa acara. Itu merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak mengabaikan budaya sendiri. Hanya saja mungkin frekuensinya perlu ditambah. Bukan cuma setahun sekali seperti di Dies Natalis kampusku. Bukan cuma dalam acara pernikahan saja. Menampilkan tarian daerah dalam pembukaan event besar sebenarnya ide bagus. Bisa menunjukkan bahwa itu kebudayaan milik kita secara de facto. Kalau faktanya kita sering menampilkan tarian-tarian tersebut, orang akan tahu itu MILIK KITA. Seperti bahasa daerah yang identik dengan penuturnya, tarian juga identik dengan 'pelakunya'. Semakin sering kita menampilkan tarian tersebut, semakin identik tarian itu dengan bangsa kita. Jadi, bangsa lain tidak akan nekat mengakui tarian kita sebagai miliknya. Di samping itu, media juga perlu mengambil peran. Daripada setiap hari menampilkan lagu-lagu boyband, kenapa stasiun televisi tidak menampilkan lagu dan tarian daerah pada satu acara khusus? Seperti yang dilakukan salah satu radio di Jakarta yang menyelipkan lagu daerah di sela-sela acaranya dan menjelaskan asal lagu tersebut. Ini cukup efektif untuk mengenalkan budaya pada generasi muda. Ini akan lebih efektif lagi bila stasiun televisi nasional yang mengaplikasikannya karena jangkauannya lebih luas.

Selain menunjukkan bahwa kesenian itu milik kita secara de facto, kita juga perlu menguatkan kepemilikan atas kesenian itu secara de jure. Caranya? Ya, mendaftarkan kesenian yang kita miliki ke UNICEF. Eh, kok, UNICEF? ILO, ya? Bukan? Terus? FAO atau WHO? Oh, iya, UNESCO. Sebenarnya sudah ada beberapa tarian yang didaftarkan ke UNESCO, salah satunya Tari Saman. Tapi, masih banyak yang belum terdaftar. Sepertinya masing-masing daerah atau provinsi perlu mendata dan mendaftarkan keseniannya ke UNESCO. Oh, ya, bukan cuma tarian daerah dan lagu daerah saja yang perlu didaftarkan. Kalau perlu, daftar makanan khas daerah juga didaftarkan. Orang Tegal pasti tidak rela, kan, kalau tiba-tiba negara tetangga mengakui Soto Tegal sebagai makanan khas negara itu? Tapi, nek ngono, UNESCO mesti langsung mumet mergo kakehan sing ndaftar, hehehe... (Tapi, kalau begitu, UNESCO pasti langsung pusing karena terlalu banyak yang mendaftar).

Artikel ini diikutsertakan dalam Jambore On the Blog 2012 Edisi Khusus bertajuk Lestarikan Budaya Indonesia

30 komentar:

  1. Yup, negeri ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Yang sudah seharusnya kita lestarikan dan kembangkan dengan serius ya Mil...
    Sepakat denganmu, bahwa semakin sering kita menampilkan tarian daerah/ menyanyikan lagu daerah, secara tidak langsung kita memperlihatkan kepada khalayak/dunia, bahwa tarian/budaya itu adalah milik kita, sehingga negara lain pun akan segan untuk meng=claim nya sebagai miliknya....

    sukses untuk kontesnya ya jeng! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup. kalau kita sendiri tidak menampilkannya, masyarakat internasional pun sepertinya tidak akan percaya kalau itu milik kita.

      Hapus
  2. Ulasan yg kumplit nih... semoga sukses di kontesnya Pakdhe ya..
    Dan pengenalan akan seni tradisional daerah termasuk tari adalah sangat penting, bukan?

    BalasHapus
  3. kayanya bakalan panjangya kalauditulis nama2 tarian diindonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pastinya. Dari satu daerah aja udah banyak, apalagi kalo semua daerah di Indonesia didaftar tariannya.

      Hapus
  4. I love Saman.
    Sewaktu masih di Aceh, saya belum menarikan tari Saman, apalgi mempelajari geraknya. Nah, ketika di Thailand, orang Indonesia diminta menampilkan tarian khas Indonesia. tau gak, mereka minta tarian apa? Mereka minta orang Indonesia menampilkan Saman. Maka belajarlah saya dan teman-teman Indonesia lainnya gerakan saman. Luar biasa. Gerakannya plus sambutannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di Aceh, kan, memang biasanya yang menarikan Tari Saman itu laki-laki. Perempuan jarang, kan, tampil dengan tarian itu?

      Pasti waktu itu sambutannya sampai standing applause!

      Hapus
  5. indonesia memang kaya akan tarian tradisional, maka dari itu kita harus ikut serta menjaga tarian-tarian tersebut. jangan sampai diklaim lagi sama tetangga sebelah.

    BalasHapus
  6. Semoga budaya kita tetap lestari dan dilestarikan.
    Semoga artikel ini jadi salah satu pemenang kontes

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiiin, semoga tetap lestari. Biar anak cucu sampai buyut kita masih mengenal budaya kita.

      Hapus
  7. Selamat ikut lomba Millati, smoga posting ini bisa jadi kontribusi bagi pelestarian budaya bangsa...
    :)

    BalasHapus
  8. Salah satu cara melestarikan budaya.....
    Artikel bagus komplit infonya,
    Saya berharap sukses di kontes ini

    BalasHapus
  9. Kampusnya keren Millati, ada acara budaya di Dies Natalis-nya. Biasanya kan kalo dies natalis, cuma seremonial saja acaranya. DUlu kuliah di mana sih?

    Oya, sukses ya kontesnya. Eh, "gambar kontes"-nya mana? Koq gak terlihat dari komputerku? Belum dipasangkah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu kuliah di STIS. Dulu di tempat kami Dies Natalis-nya emang ada acara kaya gitu. Acaranya panjang dan banyak, dan pentas itu biasanya di acara puncak.

      Kemarin tanya Pakdhe katanya nggak harus. Soalnya Pakdhe nggak bilang diminta pasang gambarnya. Saya juga bingung.

      Hapus
  10. kekayaan bangsa tidak hanya sumber daya alam, kan tetapi juga budayanya, hmmm.... benar sekali, Mbak, semoga sukses ya ngontesnya....

    BalasHapus
  11. salam hangat dan sukses selalu..

    ini yang kita tunggu2... bukan terlena gara2 korea korea gak jelas begitu..

    BalasHapus
  12. negeri ini terlalu kaya akan semua hal,tp sayang yang mau melestarikan atau bahkan memperkenalkan ke mata dunia.Jadi wajar saja, kalau ada yang memanfaatkan hal tsb demi mendapatkan uang #sedih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh? Kok, saya bingung, yah, baca komen ini. Ada kata-kata yang lupa diketik kah?

      Hapus
  13. kalau di daftarin semua bisa kebelinger tuh yang nulis... kita aja tidak semuanya inget nih.... heheheheehe

    BalasHapus
  14. acara seperti ini harusnya sering dilaksanakan, biar gak tenggelam dengan tarian boy/girl band dari negeri gingseng

    BalasHapus
  15. lebih penting mematenkan tari atau melestarikan tari?

    kalau tarian dipatenkan tapi sudah ga ada yg bisa menari tarian tersebut bagaimana? :D

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!