Jumat, 29 Juni 2012

9 Matahari: Membosankan tapi Tetap Mendidik


Gambar dari sini

Aku membeli novel 9 Matahari ini bulan September tahun lalu. Cuma karena melihat tulisan BEST SELLER dan melihat testimoni para pembaca di sampul belakangnya, aku langsung memutuskan membelinya. Selain itu, aku memang sedang keranjingan novel tentang perjuangan seseorang dalam kuliah. Ditambah lagi, di sampulnya ada tulisan Nominasi Khatulistiwa Award untuk Penulis Muda Berbakat Tahun 2009. Waktu melihatnya sekilas, kukira tulisan mendapatkan award, tapi ternyata baru nominasi, hehehe...

Setelah aku membaca beberapa halaman, ternyata aku tidak terlalu tertarik. Membosankan. Entah karena gaya bahasanya yang terlalu datar, entah karena ceritanya yang terlalu ‘panjang’. ‘Panjang’ di sini maksudku bukan dari segi tebalnya buku, banyaknya kata, ataupun banyaknya bab. ‘Panjang’ di sini maksudnya isi cerita. Entah kenapa aku merasa novel ini terlalu ‘ngalar-ngalar’ dan bertele-tele. Mungkin karena ceritanya seperti orang curhat. Alhasil, siklus yang terjadi adalah baca-bosan-tutup-baca-bosan-tutup. Begitulah. Beberapa kali aku mencoba membaca novel ini dan berhenti di tengah jalan. Hingga akhirnya aku kehabisan bacaaan dan tergoda untuk menamatkan novel ini. Dan... TAMAT!

Memangnya apa cerita novel ini? Novel karya Adenita ini menceritakan seorang anak muda bernama Tari, lengkapnya Matari Anas. Dia sangat ingin kuliah. Sayangnya dia tidak lulus UMPTN. Dua tahun kemudian, dia memutuskan untuk kuliah D1 di Politeknik IGB (Institut Ganesha Bandung, sepertinya bentuk fiksi dari Institut Teknologi Bandung). Keputusannya untuk kuliah sebenarnya keputusan yang sulit. Alasannya cuma satu: UANG. Tapi, Tari berhasil membujuk Hera, kakaknya, untuk membantunya mencari pinjaman agar dia bisa kuliah. Usai kuliah D1, Tari berusaha untuk kuliah lagi. Dia pun kemudian kuliah di Universitas Panaitan di Fakultas Komunikasi program ekstensi. Selama kuliah, banyak masalah yang dihadapi. Selain masalah keuangan dan kuliah, dia juga menghadapi masalah keluarga. Dia pun stress, malah sepertinya sudah bisa dikategorikan gila, deh. Tapi, dia mendapat dukungan dari Mami Hesti, ibu dari Sansan, sahabatnya. Untuk mengatasi keuangan, dia mendapat bantuan dari kawan kosnya. Tapi, kemudian dia menghadapi masalah keuangan lagi sehingga terpaksa cuti kuliah selama tiga semester. Selama cuti itu dia bekerja sebagai penyiar radio. Dan setelah dia kembali kuliah, dia justru baru tahu bahwa selama ini surat ijin cutinya tidak disetujui. Jadi, dia tidak dianggap cuti. Dia pun hampir di-DO. Kemudian dia dibantu oleh Tante Erna, ibunya Pandu, sahabatnya (juga).

Yah, lebih kurang begitulah ceritanya. Meski agak membosankan dan membingungkan, ada beberapa kalimat dalam novel ini yang menarik perhatianku.
When you’re wishing to be someone else, someone else in somewhere is wishing to be you. Ini kalimat yang diucapkan Sansan pada Tari. Benar juga, sih. Kadang kita ‘iri’ melihat keberuntungan orang lain dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya ada orang lain yang ‘iri’ pada keberuntungan kita.
Kalau kamu menginginkan kemakmuran satu tahun, tanamlah gandum. Kalau menginginkan kemakmuran sepuluh tahun, tanamlah pohon. Kalau menginginkan kemakmuran seratus tahun, kembangkanlah orang. Ini adalah pepatah Cina yan dikutip dalam novel ini. Pepatah ini mengajarkan pentingnya memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
Juga ada filosofi angka sembilan yang disampaikan Arga pada Tari.
Angka itu berada di atas rata-rata, tapi masih menyisakan satu ruang untuk terus mencapai kesempurnaan. Angka 9 masih akan terus mencari perbaikan diri untuk menjadi 10. Itu yang akan membuatnya terus bergerak, melakukan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Dari bentuknya, buat gue angka 9 lebih menawan. Kalau lu perhatiin, angka 8 itu membuat dua bulatan tertutup. Sementara angka 9, bagian atasnya membentuk sebuah lingkaran yang menurut gue itu adalah ruang pribadi bagi setiap orang. Seperti sebuah tempat untuk menyimpan keyakinan yang tidak akan terganggu. Sementara buntut di bawahnya adalah ruang terbuka, tempat orang itu bisa terus mengasah dirinya untuk menerima wawasan dan pengetahuan baru, serta akhirnya membuat dirinya terus-menerus termotivasi untuk bisa lebih baik lagi.

Well, dalam buku yang menurut kita amat membosankan pun tetap ada pelajaran yang bisa dipetik. Ada kegigihan yang patut ditiru.

2 komentar:

  1. wah setuju tuh... ternyata buku yang bertele tele bisa membawa peljaran yang sangat baik.... menarik sekali....

    biasanya orang lebih suka menanam gandum.//

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo saya sih lebih suka makan daripada nanam :D

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!