Jumat, 25 Mei 2012

Episode Cita-Cita

“Kamu nanti kuliah mau ngambil jurusan apa?” tanya sang kakak pada adiknya.
Setelah berpikir sejenak sang adik hanya menjawab, “Nggak tahu.”
“Memangnya cita-citamu apa?” tanya sang kakak lagi.
Lagi lagi sang adik hanya menjawab, “Nggak tahu.”
Sang kakak pun kesal hingga kemudian berkata, “Orang hidup, kok, nggak punya cita-cita.”
Datar, tanpa tekanan, tapi kata-kata itu sudah menggoreskan luka yang bekasnya takkan hilang seumur hidup.

Benar apa yang di-sirat-kan oleh kakaknya adalah hal yang benar bahwa orang hidup seharusnya punya cita-cita. Tapi, sayangnya dia tidak tahu apa cita-citanya. Yang dia tahu selama ini hanyalah sekolah, mendapat rangking bagus, serta lulus dengan nilai memuaskan. Setelah itu? Sama sekali tak pernah ia pikirkan masak-masak.

Dia teringat masa kecilnya. Ketika kebanyakan anak kecil di-kudang oleh orang tuanya agar menjadi dokter, ayahnya justru ‘mencekokinya’ dengan cita-cita menjadi mubalighoh. Ayahnya ingin agar dia belajar ilmu agama lalu menjadi seorang penceramah. Anak kecil tentu saja masih sekadar menjawab ‘iya’ atas ‘arahan’ orangtuanya. Dia pun menyimpan cita-cita mulia menjadi mubalighoh. Setelah beranjak remaja, dia pun melupakan kudang-an ayahnya agar dia menjadi mubalighoh. Saat kelas enam SD dia justru sempat berkeinginan menjadi pemain band yang ahli memainkan berbagai alat musik: piano, gitar, drum, biola, dan sekaligus menjadi vokalisnya. Tapi, lagi-lagi keinginan itu cuma numpang lewat di kepalanya. Hal tersebut juga didukung jiwa premannya yang jauh lebih dominan dibandingkan jiwa religiusnya. Sebentar kemudian, sudah hilang cita-cita itu. Saat lulus SD, kakak tertuanya masuk kuliah di Fakultas Pertanian. Jiwa labilnya membuat dia bercita-cita untuk kuliah di fakultas yang sama dengan kakaknya kelak. Dan lagi-lagi, cita-cita itu numpang lewat. Seperti angin yang dengan mudah berhembus datang dan pergi. Dia menjalani hidup tanpa tahu kelak ingin menjadi apa, ingin kuliah di mana, ingin kerja sebagai apa. Dia hanya tahu sekolah dan bermain.

Hingga tiba masanya dia harus mendaftar SPMB. Dia tak tahu hendak memilih jurusan apa. Satu hal yang membuat kakaknya mengeluarkan komentar pedas. Dia justru mengandalkan hasil tes potensi akademik yang diadakan di sekolahnya. Dari tes itu disebutkan bahwa berdasarkan potensi akademiknya, jurusan yang cocok dengannya adalah Teknik Informatika, Teknik Kimia, dan Kedokteran Gigi. Dia pun memutuskan untuk tidak memilih jurusan Teknik Informatika dengan alasan kacamatanya sudah sangat tebal. Apa hubungannya? Begini, bila kuliah di Teknik Informatika, tentunya dia akan sering menghadapi komputer, dan itu tidak baik bagi kesehatan matanya dan bisa membuat miopi-nya semakin parah. Dia juga memutuskan untuk tidak memilih jurusan Kedokteran Gigi. Alasannya? Karena giginya gingsul dan tidak rapi. Dia tidak bisa membayangkan bila kelak menjadi dokter gigi lalu ada pasien yang berkomentar, “Ah, dokter giginya aja giginya nggak bagus.” Akhirnya dia pun memilih untuk mengambil jurusan Teknik Kimia meskipun ketika SMA dia tak terlalu memahami pelajaran Kimia.

Selain mendaftar SPMB, dia juga mendaftar di Poltekkes di program studi Keperawatan. Apakah dia juga bercita-cita menjadi perawat? Sama sekali tidak. Melihat darah dan luka saja dia takut, bagaimana mau menjadi perawat? Dia mendaftar di sana atas saran kakaknya. Yang ada di kepalanya adalah: lumayan buat cadangan, daripada nggak kuliah.

Entah kenapa, tiba-tiba dia teringat kawannya yang sangat ingin mendaftar Statistik. Dan entah kenapa, dia yang awalnya sama sekali tak tertarik, mendadak ingin mencari informasi mengenai sekolah tersebut. Dia pun pergi ke BPS Brebes. Dan salah seorang mbak di sana (yang ternyata kakak dari kawan sekolahnya tadi) memberitahu bahwa sekolah – yang ternyata namanya STIS – itu GRATIS. Yang kuliah di sana pun mendapat uang saku tiap bulan (saat itu dia sangat tergiur pada kata uang saku yang ternyata nominalnya tak seberapa dibandingkan biaya hidup di Jakarta) dan langsung bekerja. Kata ‘langsung bekerja’ juga sangat menggodanya. Melihat kedua kakaknya yang begitu sulit mencari pekerjaan, dia pun tertarik dengan ‘jaminan’ langsung bekerja (dan ternyata dia tidak memperhatikan bahwa ada catatan bahwa setelah lulus akan langsung bekerja dan ditempatkan DI SELURUH INDONESIA). Dia pun memutuskan untuk mendaftar.

Dan godaan kata-kata ‘langsung bekerja’ itu yang membuatnya melepaskan Teknik Kimia dan Keperawatan meskipun sudah lolos tes dan sudah daftar ulang. Dia pun akhirnya kuliah di sekolah tinggi kedinasan yang menurutnya “masuknya susah, kuliahnya susah, mau lulus pun susah, sudah lulus pun ternyata makin susah”. Namun, segala ke’susah’an itu memberi hikmah baginya. Dia jadi mengerti akan resiko sebuah pilihan. Dia jadi mengerti bahwa dalam hidup ini selalu ada pilihan dan akan selalu ada resiko atas pilihan yang diambil. Dulu, dia mengira bahwa ke’susah’an yang akan dia hadapi bila kuliah di sana hanyalah cacing-cacing integral. Sayangnya masih ada ke’susah’an lain berwujud ujian komprehensif, skripsi, dan penempatan di luar Jawa. Dan dibalik ke’susah’an yang dia hadapi, dia mendapatkan kebahagiaan yang mungkin takkan ditemuinya bila dia memilih ‘jalan’ lain. Dia bertemu dengan sahabat-sahabat yang dicintainya. Tanpa semua ke’susah’an itu, dia takkan tahu betapa berharganya perhatian dan bantuan dari sahabat-sahabatnya. Dan di sinilah dia sekarang, di sebuah kabupaten yang ‘jauh-dari-mana-mana’ (mencontek istilah dalam Emily of New Moon). Bekerja di bidang yang dulu tak pernah dicita-citakannya.

Dia adalah aku. Gadis tanpa cita-cita yang pasti itu adalah aku. Pengalaman mengalami kegamangan dalam menentukan kuliah membuatku mengerti betapa pentingnya memiliki cita-cita. Orang yang memiliki cita-cita ibarat orang yang hendak bepergian dan tahu kota yang hendak dituju. Karena dia tahu tujuannya, akan lebih mudah baginya menentukan bis mana yang akan dinaikinya. Berbeda dengan orang yang tidak punya cita-cita. Ibarat hendak bepergian tapi tak tahu hendak ke mana. Kalau tidak tahu hendak ke mana, bagaimana mungkin bisa menentukan bis yang akan dinaiki? Ujung-ujungnya justru naik sembarang bis dan kemudian berhenti di sembarang tempat. Bukankah itu mengerikan?

Orang hidup harus punya cita-cita. Memang seharusnya aku sudah memiliki cita-cita yang jelas sejak dulu. Namun, cita-citaku justru muncul setelah kuliah. Sudah terlambatkah? Semoga belum terlambat. Menjadi programmer, menguasai Statistik Matematika, menjadi dosen Matematika Diskrit, belajar Multivariate dan Metode Numerik secara mendalam, mungkinkah? Sepertinya terlalu muluk mengingat kemampuanku yang pas-pasan. Programmer? Visual Basic 6 saja aku sudah lupa. Menguasai Multivariate? Perbedaan penggunaan Analisis Komponen Utama dan Analisis Faktor saja aku belum paham. Memperdalam Matematika Diskrit? Teori Graf saja belum sepenuhnya kukuasai.

Meskipun menyadari kemampuanku yang pas-pasan, tetap saja aku berharap bisa mewujudkan salah satu mimpi mulukku itu. Tak apa bermimpi muluk, asal berusaha menggapainya. Bukankah sejak kecil kita diajari untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit?


*Ngaturaken Sugeng Tanggap Warsa kagem Noorma Fitriani M Zain. Mugi-mugi tansah pinaringan berkah saking Allah SWT*

 Tulisan ini diikutsertakan dalam
GiveAway Cah Kesesi AyuTea 
yang diselenggarakan oleh
Noorma Fitriana M. Zain


50 komentar:

  1. aku setuju denganmu Mil, memang cita-cita yang jelas harusnya sudah kita miliki sejak dini. Kalo aku sih lebih suka mengukur 'dini' itu di akhir SMP atau awal SMA, agar kita tau arah jurusan yang akan kita ambil, juga dalam mendalami pelajaran2 yang mendukung ke arah itu.

    Tapi bukan hanya kamu lho yang suka labil, tak memilki cita-cita yang jelas. Aku salah satunya. Cita-cita sih banyak, karena sering berubah-ubah. haha. Dan karena ga jelas yang mana satu, jadilah aku seorang chemical engineer, tapi malah lebih sering ngasih counseling ke teman-teman dan beberapa client, padahal ga belajar psikolog. Haha.

    Dan chemical engineer kok kerjanya di bidang kemanusiaan... hm... but life is interesting.

    Mimpimu ga salah lho, justru dengan mimpi itulah kita akan termotivasi untuk menggapainya.. tapi tentu, planning yang logic sangat diperlukan untuk mengatur sedemikian rupa agar sang impian dapat diraih.

    Tiada kata terlambat lho, kaji ulang dengan SMART (Specific, Measurable, Realistic and time bound).

    Sukses untuk kontesnya yaaa... semoga menang. Chayoo!! hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngasih counseling? Bisa, dong, sekali-kali saya konsultasi sama Kakak :p

      Saya, sih, mikirnya sejak dini itu sejak kecil, kalau bisa SD sudah memiliki 'bayangan' beberapa alternatif pekerjaan yang menarik minat. Sesuatu yang sesuai dengan minat, kan, lebih semangat mengejarnya.

      Hapus
  2. waduh.. cita-cita yang keren ya, apalagi banyak banget seperti ingin jadi multi scientis...
    ^.

    dulu pas kecil cita-citaku cuma ingin buat robot seperti gundam @.@

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, aku sebenarnya nggak yakin juga sama cita-citaku itu.

      Kenapa dirimu gak cita-cita jadi power rangers aja?

      Hapus
    2. hadeh.. power ranger mah.. bisa apa :))

      dulu aku pernah berdoa, 4 atau 5 doa kalau gak salah, semuanya terkabul lo >.<, diantaranya sekolah dengan kurikulum baru, kbk tahun 2004, dan kuliah yang berhubungan dengan robot :).
      tapi ternyata ilmunya gajes juga -__-" malah gak nyembung buatku.

      yang penting sekarang sudah memetik hasil mbak :)),
      meski sedikit melenceng dari cita2, toh jalan yang ditentukan Allah lebih baik @.@ #eh

      Hapus
    3. Kalimat terakhirmu bijaksana banget..

      Hapus
  3. cita-vita masa kecil emang selalu berubah yak, dan memang atas dorongan orang tua yang kepingin anaknya ini itu..

    GINSULL?? sama gw gw dong <---- pede...

    apapun cita-cita itu jadi motivasi untuk menempuhnya,,,

    sukse GAnya..

    BalasHapus
  4. udah saatnya dirimu buat ajang GA juga Mil...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hadeeeuh... Maleees... Bingung ngrencanain konsep sama penjuriannya. Susah tahu menentukan pemenang...

      Hapus
  5. Wow cita2nya banyak sekali Mbak hehe.,.aku juga sejak kecil malah gak punya cita2 mau jadi apa ntar, terkesan mengikuti alur hehe, tapi tak adalah salahnya jika semua itu di coba, didunia ini kan gak ada yang gak mungkin,,

    sukses ngontesnya Mbak semoga menang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata banyak juga yang cita-citanya ga jelas kaya daku :p

      Hapus
  6. Cita2? Waktu SD, gue pengen jadi insiyur pertanian gara2 melulu sawah terhampar di kampung gue. SMP, gue pengen jadi mubaligh karna gue skolah di SMP ISLAM. SMA, gue pengen jdi pemain band, gara2 gue ikut ekskul drambend. Kuliah, gue gak mikir mau jadi apa? Skarang, gue pengen jdi kayak bapak gue, tp bingung siapa cewek yg mau nelorin anak2 gue kelak? Ckckck...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ish, melu-melu aku :p

      Kawin ma ayam gih, yang bisa bertelor :p

      Hapus
  7. wah cita cita hidup memang harus ada... banyak sekali ya cita citanya... karena dengan cita cita kita lebih punya semangat hidup... so tetaplah bermimpi dan jalani hari ini dengan baik.

    BalasHapus
  8. jadi sewaktu kecil diarahkan jadi mubaligh yah?

    tapi Milla kan perempuan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mubalighoh, Rio. Itu bentuk kata perempuan. Kalo mubaligh emang laki-laki.

      Hapus
  9. emng sih waktu kecil kalau di tanya tentang cita2 ya jawabnya asal ceplos saja mana yg lebih hebat statusnya,, tapi beriringnya makin dewasa,,baru deh mikir itupun terkadang bidang pekerjaan byk yg gk sesuai cita2,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, banyak yang kerjaannya nggak sesuai cita-cita...

      Hapus
  10. hidup adalah realita dan mimpi adalah cikal bakal realita...
    semngat dan tunjukkan kalo km bisa mewujudkannya...
    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, mimpi adalah awal dari kenyataan (kalo diwujudkan).

      Hapus
  11. ada kesamaan antara aku dan mbak milla: sama2 labil dalam pemilihan jurusan kuliah; sama2 labil dalam bercita2.
    (=,,=)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata ada yang labil juga kaya aku :D :D :D

      Hapus
  12. intinya mah, selama ada tujuan (cita-cita), jalan pun bakalan mengikuti ya.. :D

    BalasHapus
  13. klo aku dulu punya cita2 ke sekolah ke jawa , dan sekarng lagi menjalani

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya mah gak perlu bercita-cita udah sekolah di Jawa (tapi pelosok Jawa :D)

      Hapus
  14. ikutan give away yeah mbak .. semoga ini awal langkah dari cita2 seorang blogger

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, ikutan giveaway demi mempertahankan predikat "banci giveaway" :p

      Hapus
  15. Millati, saya pun merasakan seperti yang dirimu rasakan. Kuliah saya memilih jurusan elektro hanya karena saya suka sekali matematika dan tidak suka menghafal. Jujur, sy tak tahu ingin jadi apa. Seiring berjalannya waktu, saya tertarik sama psikologi tp terlambat krn sy sudah hampir lulus. Untungnya setelah lulus, hanya dalam jangka 2 tahun kemudian sy menikah

    Menurut saya ini kegagalan sistem pendidikan kita yg terlalu membebani dengan begitu banyak mata pelajaran yang sebenarnya tdk penting shg menjelang SMA banyak yang bingung, mau ke mana. Bukan hanya Millati, bukan hanya saya.

    Seorang teman yg pernah sekolah di Jerman berkata bhw di sana itu sejak dini (kalo nda salah masih SD), anak2 mulai semacam pengkhususan studi, tdk semua mereka harus pelajari, hanya yg disenangi saja. Jadi saat SMA, mereka sudah mantap dengan pilihan merek hendak ke mana.

    Sekarang, insya Allah kalo ikhlas kita bisa menjalaninya ... tak ada pilihan lagi ..
    Semoga suksees Ganya yah ...

    BalasHapus
  16. kurang lebih kita sama mbak, dhe dulu pun masuk kuliah karena embel-embel GRATIS dan katanya ikatan dinas.. hahahhaa, tapi ternyata.. hmm, konsekuensi dari sebuah pilihan bukan?? tinggal mencari celah hikmah saat ini, percaya bahwa ada hal baik yang sedang Tuhan selipkan pada pilihan yang sudah dhe ambil.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, pasti ada hikmahnya meskipun mungkin telat memahaminya.

      Hapus
  17. Pantesan pinter boso ngapak, sekolahe nang mbrebes tho ndah hahahaha...

    Aja kelalen ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah, nembe ngarti aku wong Brebes? Ckckck :p

      Hapus
    2. Iya, tek kira asli wong aceh hahahha....

      Hapus
  18. beruntungnye bisa kuliah *senyum*

    hayoo..semangat mba menggapai cita2nya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat beruntung kalo dibandingin mereka yang pengen kuliah tapi gak bisa... Mestinya bersyukur, yah...

      Hapus
  19. Memiliki cita-cita sejak dini, ketika masih SD-SMP cita-cita saya selalu berubah-ubah. Bahkan ambil jurusan kuliah pun yg ngasih saran kakak dgn asumsi peluang kerjanya lebih preferable bisa masuk ke smua bidang. Dan pada kenyataannya saya memang berusaha menyesuaikan dengan apa yg sdh di pilih...then I love with chemical engineering. soal biadang lainnya ttp pny eluang kok utk di improve. Setidaknya saya memang suka menulis dr kecil dan menurut saya gak masalah meski saya tdk mengambil bidang khusus dlm ilmu yg ada kaitannya dengan tulis menulis. Dgn backgriund eksak pun bisa di bawa ke dunia sastra..

    so, nothing to late to achieve our dreams..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata Kakak berperan kuat dalam memberi saran jurusan kuliah, ya...

      Hapus
  20. Cita-cita ku dari dulu..dari kecil dari sak-upil....cuma jadi polwan...polwan...polwan dan tak ada selain polwan. Jaman dulu belum ada trend polwan cantik seperti sekarang, belum ada tren polisi ganteng seperti sekarang...AKu melihat sosok polwan itu hebat dan menarik. Dan mungkin karena aku dibesarkan dalam lingkungan kepolisian. Bapak saya PNS polri, saya sering main ke Polres, ketemu polisi2. Dan kadang banyak polisi atau polwan yang main ke rumah saya. Saya juga sering ikut ibu saya arisan Bhayangkari..mungkin itu yang membuat saya pengin jadi polwan. Hmmm...sayangnya saya gag rajin olahraga dan mungkin kurang gizi juga, jadinya gag tinggi...Untunglah cita-cita saya sebagai polwan langsung saya gantiin dengan cita-cita lain yang lebih masuk akal buatku...meski sampai saat ini saya masih sering menginginkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok, aku baru tahu kalo bapakmu polisi, yak? *teman macam apa aku inih?*

      Kalo daftar Kepolisian (bukan buat jadi polisi) emang diukur tinggi badan juga?

      Hapus
  21. bapakku bukan polisi, tapi sipilnya....di bawah polri masih banyak kesatuan lain, diantaranya POLAIRUD = Polisi Air dan Udara sepertinya syarat tinggi badan tidak ada....tapi kalo mau jadi polwan kan tetep liat tinggi badan

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah, kalau nggak bisa jadi polwan, jadi yang sipilnya aja. jurusan statistik diterima nggak, ya, di kepolisian?

      Hapus
  22. Baca ini, sepintas aku bayangain mbak itu neirdy lho... Hehehe... Samaan kita rupanya... :P

    Jangan marah yah... Cuman becanda... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ish, ketipu dia. Aku nggak nerd, kok, Nuel. Belum cukup keren untuk dibilang nerd, meskipun sebenernya pengen kelihatan nerd :D

      Hapus
    2. Eh, neirdy sama nerd tuh sama apa beda, yak?

      Hapus
  23. Waw cool... pemain band @_@

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengen doang, Na. Main alat musik mah enggak bisa ampe sekarang.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!