Senin, 07 Maret 2022

Februari yang Penuh Drama

Bulan Februari kemarin benar-benar penuh drama. Pekan pertama kuhabiskan dengan menggalau memikirkan SKP dan pengajuan titik-titik (sensor). Sebenarnya sudah terlambat juga untuk mengajukan tetapi masih ada rasa galau memikirkan konsekuensi yang akan kualami. Seperti biasa, tidak ada motivasi untuk melakukan sesuatu tetapi tetap sibuk memikirkannya.

Ternyata kegilaan bulan Februari tidak cukup diisi kegalauan. Fisik pun terganggu. Aku merasa tidak enak badan dan ngantuk berat pada Jumat malam, 11 Februari. Besoknya sesuai prediksi aku meriang. Badan hangat tapi saat dicek dengan termometer masih normal. Hidung mampet, bersin-bersin, dan batuk kering. Lalu ada informasi rekan kantor yang satu lantai ada yang positif COVID-19 dan dia WFO di hari Rabu sebelumnya. Lho, aku kan WFO hari Rabu. Jangan-jangan? Aku pun berkonsultasi dengan mbakku tentang gejalaku dan perlu tidaknya aku tes. Mbakku menyarankan untuk tes antigen. Karena hari Sabtu Minggu aku malas keluar dan berasumsi klinik di dekat kos tutup, aku baru tes di hari Senin. Hasilnya positif. Kata petugas kliniknya garis di bagian T samar tetapi tetap dianggap positif. Kalau mau memastikan, bisa dilanjutkan dengan tes PCR. Karena malas, aku memutuskan tidak PCR. Aku pulang saja lah.

Sebelum pulang, aku mampir dulu beli makan lalu belanja di Alfamart. Aku membeli berbagai stok makanan, minuman, dan vitamin untuk bekal isoman. Saat akan membayar, kartu ATM-ku tidak dapat digunakan untuk membayar. Mbak kasirnya menyarankan untuk tarik tunai dulu di ATM di bank sebelah. Aku pun menuruti sarannya. Daaaaan... GAGAL. ATM-ku tidak dapat digunakan untuk mengambil uang. Gawat. Aku pun mengais-ngais sisa uang di dompet. Untungnya uangnya masih cukup untuk membayar belanjaanku tadi. Benar-benar ngepas sisa uangku. Akhirnya aku membayar belanjaanku dengan uang tunai lalu pulang.

Sampai kos aku melapor ke bosku. Bosku menyarankan untuk PCR agar lebih jelas dan bisa diobati. PCR? Kalau PCR di klinik tentu saja butuh uang. Padahal uang tunaiku tidak cukup untuk membayar biaya PCR. Akhirnya aku menanyakan ke CS bank lewat Twitter terkait kartu ATM yang bermasalah tersebut. CS bank menyarankan untuk melaporkan lewat internet banking. Ternyata kartu ATM statusnya tidak aktif. Jadi aku harus mengaktifkan kembali kartu ATM tersebut di mesin ATM. Aku pun mulai memikirkan beberapa alternatif solusi. Ke ATM, mengaktifkan kartu, lalu PCR di klinik. Alternatif lain, aku melakukan pembayaran dengan transfer menggunakan internet banking.

Aku juga memikirkan alternatif PCR di puskesmas yang semoga gratis. Aku pun menghubungi nomor WhatsApp puskesmas. Besok paginya aku dihubungi petugas puskesmas dan diberi informasi bahwa aku bisa tes PCR pukul sebelas. Lalu aku berpikir, kalau nanti ternyata PCR di puskesmas tidak gratis, berarti aku tetap butuh uang tunai. Akhirnya aku berangkat lebih awal untuk ke ATM bank cabang yang akan kulewati dalam perjalanan ke puskesmas. Dan ternyataaa, bangunan banknya sedang direnovasi. Entah ke mana pindahnya. Cari ATM ke mana lagi ini... Aku pun terus berjalan. Untungnya di dekat gang ke arah puskesmas ada Alfamart dan di dalamnya ada mesin ATM. Aku mengikuti petunjuk mengaktifkan kartu dan berhasil. Kartu sudah bisa digunakan untuk tarik tunai. Karena sudah numpang memakai mesin ATM, aku pun membeli air mineral dan minuman air kelapa di situ.

Uang sudah ada. Aku pun melanjutkan perjalanan ke puskesmas. Aku mengikuti petunjuk Google Map. Setelah berjalan beberapa meter Si Map menyuruhku belok kanan. Aku ragu jadi aku bertanya ke mbak-mbak yang kutemui. Katanya masih jauh, masih harus jalan lurus sampai bertemu belokan dan gapura. Aku mengikuti petunjuknya. Saat aku melihat gapura aku pun bertanya lagi. Ternyata bukan lewat situ. Masih harus mengikuti jalan besar. Lalu aku melihat gang kecil lagi. Akhirnya aku bertanya lagi dan benar masuk ke gang itu. Namun, masih berliku perjalanannya. Untungnya bisa sampai dengan selamat. Kalau sekarang aku disuruh ke sana lagi, entah bisa sampai atau tidak. Sampai di puskesmas aku disuruh menunggu. Saat di-swab, rasanyaaa suaakiiit. Alat swab-nya dimasukkan dalam sekali. Ya sepertinya memang begitu prosedurnya. Tapi tetap saja... Sakit, cuy! Aku sampai menangis sebentar di perjalanan pulang. Ngomong-ngomong, selesai PCR aku tidak diminta untuk membayar. Aku cuma disuruh langsung pulang. Berarti gratis, kan? Nggak lucu kalau ternyata aku berhutang ke puskesmas.

Sebelum keluar ke jalan raya, aku melihat toko obat. Aku pun mampir membeli vitamin, obat flu, dan minyak angin roll on yang bisa untuk inhaler juga. Kemudian aku melanjutkan perjalanan. Sekitar sepertiga perjalanan, aku mulai lemas jadi berhenti sebentar dan minum. Lalu aku melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian aku sudah lelah lagi. Aku memutuskan berhenti, duduk di bawah jembatan dan minum. Sayangnya itu tidak cukup menghilangkan lelah. Aku memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan. Alhamdulillaah akhirnya sampai kos dengan selamat. Beberapa meter sebelum sampai kos rasanya mau pingsan. Untungnya masih bisa bertahan. Sampai kos aku langsung duduk di lantai, selonjoran, lalu minum air kelapa yang kubeli di Alfamart tadi. Cukup lama aku selonjoran sampai punya cukup tenaga untuk naik tangga ke lantai dua. Risiko memiliki kamar di lantai atas. Sampai di kamar, aku langsung rebahan. Lelaaaah. Sampai saat ini aku masih penasaran kenapa aku bisa nyaris pingsan. Perjalanan bolak-balik kos-puskesmas sekitar dua kilometer. Biasanya aku baik-baik saja berjalan sejauh itu. Lelah? Iya. Namun, tidak pernah sampai nyaris pingsan. Apakah karena pengaruh masker dobel? Atau karena aku berjalan sambil membawa beban berat yaitu dua botol air mineral dan air kelapa (percayalah ini berat)? Atau memang karena kondisi yang sedang lemah? Entah.

Hari Rabu terlewati dengan aman. Cuma pilek, batuk, dan rasa mengantuk yang tak kunjung hilang meskipun sudah tidur lebih dari cukup. Jadi, aku masih santai saja. Hari Kamis mulai ada gejala lain yaitu sesak napas. Aku jadi panik. Kalau makin parah bagaimana? Kalau sampai harus opname bagaimana? Aku harus ke rumah sakit mana? Bagaimana caranya ke sana? Apa saja yang harus kubawa? Oh iya. Bajuku yang bersih dan nyaman untuk bisa dibawa opname tidak ada. Akhirnya aku membeli baju tidur lewat aplikasi online untuk jaga-jaga. Aku juga membeli pulse oximeter agar bisa mengecek saturasi. Kedua pesanan tersebut baru akan sampai keesokan harinya. Untuk mengatasi sesak napas sementara, aku melakukan proning mengikuti petunjuk yang dikirimkan rekanku.

Hari Kamis sore, saat Maghrib, listrik padam. Awalnya kukira memang mati listrik satu komplek. Saat aku melihat rumah depan dan rumah samping, lampu rumahnya menyala. Berarti cuma kosku yang mati? Aku pun turun dan mengecek meteran. Ternyata saklar meterannya mati. Kutekan saklarnya dan listrik kembali menyala. Saat kembali ke kamar, ada telepon dari dokter puskesmas menginformasikan bahwa hasil PCR-ku positif. Dia menyuruhku untuk mengirimkan pesan WA ke nomornya. Saat aku mengecek WA, ternyata ada pesan dari petugas puskesmas mengirimkan hasil PCR. Pikiranku semrawut. Dokter meneleponku lagi memintaku memesan gosend untuk mengambil obatku ke puskesmas. Dia memintaku mengirim pesan WA agar bisa mengirimkan alamat puskesmas. Aku belum pernah memesan gosend jadi masih gagap. Titik koordinat pun sepertinya melenceng. Akhirnya aku memilih titik alamat SD yang posisinya di depan puskesmas. Alhamdulillaah berhasil mendapatkan obat dari puskesmas yang isinya antivirus (favipiravir), CTM, dan vitamin. Obat antivirus tidak kuminum dulu karena dosis obat tiap hari minum dua kali dan obat kuterima malam hari. Cuma bisa minum obat satu kali. Masa iya aku langsung minum dua dosis.

Obat favipiravir


Besoknya pesanan baju dan pulse oximeter sampai. Aku mencoba mengecek saturasi dan masih aman. Jadi, aku tidak terlalu panik saat sesak napasku kambuh. Sorenya, saat Maghrib listrik padam lagi. Aku langsung berteriak "Woy!" Aku curiga ada anak yang iseng memadamkan listrik karena mendengar suara derap kaki orang berlari menjauh. Mungkinkah bukan ulah iseng orang? Masalah teknis? Sepertinya tidak karena aku tidak memakai alat elektronik yang menggunakan daya besar. Aku pun turun untuk menyalakan listrik kembali. Pintu pagar tertutup. Apa si tersangka sempat membuka dan menutup pagar? Atau dia meraih saklar dengan tongkat atau benda lain? Aku pun melaporkan ke bapak kos terkait mati listrik ini.

Besoknya aku menghubungi WA klinik kantor untuk menanyakan boleh tidaknya mendaftar isolasi terpadu (isoter) di pusdiklat kalau ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Selain takut gejala sesak napas makin gawat, aku juga ngeri kalau mati listrik lagi. Kalau ternyata mati listriknya karena orang iseng, entah hal iseng apa lagi yang nantinya dia lakukan. Jadi, sepertinya lebih baik aku kabur dari kos untuk sementara. Sayangnya nomor tersebut tidak aktif. Sorenya, aku bertekad untuk menangkap si tersangka pemadam listrik. Menjelang Maghrib aku turun dan bersiap-siap menyalakan kamera ponsel untuk merekam orang-orang yang lewat di depan kos. Sampai iqamat listrik masih menyala. Sedikit kecewa karena gagal menangkap tersangka dan gagal mengetahui modus operandinya. Padahal sudah berencana spill videonya, hehehe. Namun, Alhamdulillaah juga karena listrik tidak padam lagi sejak hari itu. Entah karena maslah teknisnya sudah diatasi oleh bapak kos atau si tersangka sudah tidak iseng lagi.

Di hari Senin, dokter klinik kantor membalas pesanku yang menanyakan bisa tidaknya mendaftar isoter. Aku diminta mengisi form dan beberapa jam kemudian dihubungi petugas yang melakukan assessment. Petugas assessment menyatakan aku bisa isoter di pusdiklat dan bisa langsung datang sebelum pukul 6 sore. Sayangnya saat itu aku sudah berencana mencuci dan masih malas untuk berkemas-kemas jadi aku tidak pergi hari itu. Aku baru ke pusdiklat besok paginya. Di isoter kebutuhan makan minum terjamin. Berlebih malah. Di beberapa hari terakhir aku sampai tidak sanggup menghabiskan makanan dan snack yang disediakan.

Selesaikah dramanya? Belum, Sodara-sodarah! Sewaktu petugas puskesmas mengirimkan hasil PCR, dia memberitahukan bahwa aku harus isolasi selama 13 hari terhitung sejak swab PCR. Jadi, aku harus isolasi sampai tanggal 27 Februari. Saat aku menanyakan ke mbak petugas isoter, ternyata mereka menggunakan penghitungan yang berbeda. Masa isolasi dihitung 13 hari sejak masuk ke pusdiklat atau untuk yang sudah sempat isolasi mandiri di rumah masa isolasi dihitung dari hari dinyatakan positif. Jadi, aku harus isolasi sampai 2 Maret lalu keluar tanggal 3 Maret. Pada tanggal 3 Maret aku menghubungi mbak petugas isoter. Sepertinya mbaknya lupa kalau aku sudah pernah bilang bahwa aku sudah isolasi mandiri di kos sejak 18 Februari. Dia menghitung masa isolasiku sejak masuk ke pusdiklat jadi menurutnya aku masih harus isolasi sampai tanggal 5. Aku benar-benar senewen. Aku Untungnya setelah aku menjelaskan kembali, dia paham dan segera memproses kepulanganku. Alhamdulillaah bisa pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!