Selasa, 08 Januari 2013

Selera Buku

Ketika temanku bertanya, “Buku 99 Cahaya di Langit Eropa bagus nggak?” aku menjawab, “Menurutku, sih, bagus. Nggak tahu, deh, kalau menurut kamu.” Yah, aku berusaha untuk tidak melewatkan kata “menurutku”. Kenapa? Karena ukuran bagus atau tidaknya sebuah buku – khususnya novel karena yang sering kubaca cuma novel – amat relatif. Novel merupakan salah satu bentuk karya seni. Dan penilaian terhadap karya seni sangat relatif – kalau tidak bisa dibilang subjektif. Misalkan ada seorang anak mengerjakan sebuah soal Matematika dengan benar. Kalau ada sepuluh orang yang menilai, besar kemungkinan kesepuluh orang tersebut memberi nilai yang sama terhadap anak tersebut. Sedangkan kalau anak tersebut diminta menggambar pemandangan lalu hasilnya dinilai oleh sepuluh orang, besar kemungkinan masing-masing dari kesepuluh orang tersebut memberi nilai yang berbeda. Begitu juga sebuah novel. Kalau sepuluh orang diminta memberi penilaian terhadap sebuah novel, misalnya satu bintang untuk nilai jelek sampai lima bintang untuk nilai sangat bagus, bisa jadi penilaiannya sangat bervariasi. Ada yang memberi satu bintang, ada yang memberi dua bintang, ada juga yang memberi lima bintang.

Itu tergantung selera. Masa? Iya! Masing-masing orang punya preferensi sendiri. Misalnya dari segi tema cerita, ada yang menggemari cerita romantis seperti Twilight (eh, Twilight romantis nggak, sih?), ada yang menggemari fiksi fantasi seperti Eragon dan Harry Potter, ada yang menggemari cerita detektif seperti Lima Sekawan, ada yang menggemari cerita horor seperti... seperti entah apa contohnya, dan ada juga yang menggemari cerita komedi seperti Lupus. Kalau orang yang menggemari cerita horor ditanya pendapatnya mengenai Twilight mungkin dia akan memberi nilai satu bintang sambil berkomentar, “Please, deh! Apa-apaan, masa vampire nggak ada serem-seremnya gitu!” Atau kalau orang yang suka cerita romantis diminta menilai cerita Sherlock Holmes (misalnya yang Study in Scarlett), mungkin dia akan berkomentar, “Beuh, ceritanya bikin puyeng. Nggak ada romantis-romantisnya pula.”

Dari semua buku di gambar ini, hanya sebagian yang sesuai seleraku

Selain tema cerita, preferensi terhadap gaya bahasa pun sangat berpengaruh terhadap penilaian pembaca. Biarpun temanya sesuai selera, kalau gaya penulisannya tidak sesuai selera, sama saja bohong. Misalnya novel The Lost Java. Bagiku ide ceritanya sangat menarik, nyaris membuatku berharap novel ini akan seperti Deception Point-nya Dan Brown. Sayangnya, gaya bahasanya tidak sesuai seleraku. Misalnya dalam kalimat berikut: Mereka duduk berdekatan dengan pintu yang di atasnya terdapat layar digital menyala warna merah bertuliskan kata petunjuk, EXIT. Mungkin bagi orang-orang yang menyukai gaya bahasa berpanjang-panjang akan menganggap kalimat tersebut keren. Tapi, pencinta gaya bahasa lugas, sederhana, dan nggak ngalar-ngalar sepertiku mungkin akan mengomentari kalimat tersebut, “Yaelaaah... Bilang aja mereka duduk dekat pintu keluar!” Selain itu, ada orang yang lebih menyukai cerita dengan sudut pandang orang pertama (akuan), ada juga yang menyukai cerita dengan sudut pandang orang ketiga (bukan selingkuhan, lho, ya!) atau kata guruku disebut diaan-serbatahu. Untuk kata ganti yang digunakan para tokohnya pun bisa jadi alasan untuk suka atau tidak suka. Ada yang tidak suka cerita yang tokohnya ber-gue-elo, ada yang tidak suka cerita yang tokohnya ber-aku-engkau. Yah, ini berkaitan dengan genre juga, sih. Kalau novel metropop (entah apa maksudnya metropop ini) tidak jarang yang tokohnya ber-gue-elo.

Dari buku-buku ini juga hanya sebagian yang sesuai seleraku

Nah, berhubung penilaian terhadap buku sangat relatif, kita tidak bisa begitu saja mempercayai review yang ditulis orang lain (termasuk review di blog ini) ataupun rekomendasi orang lain. Bisa saja dalam review-nya seseorang mengatakan bahwa buku X sangat menarik dan layak untuk dibaca. Pada kenyataannya? Belyum tentyuuu! Menurut orang lain mungkin bagus dan menarik. Tapi, menurut kita? Bisa jadi novel itu membosankan. Embel-embel best seller pun tidak bisa jadi patokan. Contohnya novel 9 Summers 10 Autumns dan Mimpi Sejuta Dollar. Biarpun best seller, tetap saja ceritanya tidak bisa membuatku terhanyut. Atau aku yang tidak peka sehingga tidak hanyut dalam ceritanya? Ah, tidak juga.

Jadi, jangan terlalu percaya pada review orang lain, juga review di blog ini (tapi tetap boleh membaca review buku di blog ini, kok). Bisa jadi aku menilai novel Bidadari Bidadari Surga keren tapi orang lain menganggapnya biasa saja. Bisa jadi aku menilai novel 9 Matahari membosankan tapi orang lain menganggapnya menarik dan inspiratif. Bisa jadi. Yang lebih bisa dipercaya adalah rekomendasi dari seseorang yang kita jelas sudah tahu bahwa seleranya (tentang buku) sama dengan kita. Kalau seleranya sama, bisa jadi penilaian kita dengan dia pun sama. Kalau dia mengatakan suatu buku menarik, besar kemungkinan (tapi tidak mesti juga) bagi kita buku itu juga menarik. Berdasarkan pengalamanku, sih, begitu.

39 komentar:

  1. Iya bener juga sih, relatif, tergantung sudut pandang masing-masing. Klo aku lebih suka fiksi fantasi spt eragon dan harry potter, mgkin krn dari kecil suka hal-hal yg ajib heheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya kalo fiksi fantasi cuma dikit yang suka, palingan Harry Potter sama Peterpan.

      Hapus
  2. Bidadari Surga aku sudah baca, bagus. Cahaya di Langit Eropa malah belum pernah lihat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, 99 Cahaya di Langit Eropa bagus lho... *promosi*

      Hapus
  3. Kalo aku, kalo masih ragu, emang cari-cari resensi/review di blog orang. Minimal dapat gambarannya, lah :)
    Tapi kalo udah niat mo beli ya langsung beli. Paling ntar tinggal kecewa kalo nggak sesuai ekspektasi, hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo sekadar gambaran sih emang perlu liat review..

      Hapus
  4. baca novel tu kayak milih menu makan....

    BalasHapus
  5. Kelihatannya bagus ya... jadi tergoda nih untuk membeli buku lagi.. bulan depan ya catat dulu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. YEEE! APANYA YANG KELIHATAN BAGUS. Ini mah bukan review buku -_______-'

      Hapus
  6. Buku atau film emang udah sesuai selera orang sih yaa.. Jadi susah banget bisa dapet feel yang sama antara satu sama yang lain. Pada akhirnya emang harus coba sendiri.. :P

    BalasHapus
  7. Selera orang memang beda-beda ya.
    Kalau saya suka cerita koloyal, science fiction, thriller..... dan suka juga yang ringan.... asal jalan ceritanya enak aja diikuti...

    BalasHapus
    Balasan
    1. benul, kalo ceritanya enak diikuti, betah2 aja kita baca.

      Hapus
  8. bener relatif sih, sesuai selera masing2 ... :D

    BalasHapus
  9. benul, kembali lagi ke selera. sahabatku ga suka banget sama HarPot sedangkan aku sebaliknya, dia suka banget sama Tere Liye sedangkan aku... ya so so :D

    jd kl ada yang nanya, "bagus ga?" better diceritain sedikit, biar dia yg menilai mau baca atw ga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya suka HarPot sekaligus suka novelnya Tere Liye :D

      Hapus
  10. sy juga kalo di tanya ttg hal2 yg berkaitan sm selera selalu menggunakan kalimat awal "menurut saya..". Krn selera emang gak ada patokan bakunya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. benul, nggak ada patokannya, tergantung masing2 orang.

      Hapus
  11. setuju banget.. urusan selera tak elok kalo diperdebatkan..

    BalasHapus
  12. kalau aku membaca sesuai mood , mau bacaan novel ringan atau yg perlu mikir

    BalasHapus
  13. Dengan review buku setidaknya jadi pengantar terutama bagi yang belum membaca bukunya secara lansung ya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa juga. Tapi, kadang review ada yang subjektif gitu, jadi pembaca tersugesti untuk membaca buku yang dibahas.

      Hapus
  14. Tul banget semua berpulang pada selera. Tiap orang memiliki ketertarikan yang berbeda :)

    BalasHapus
  15. iya banget mbak, tapi kalau akunya udah lebih milih yang nulis siapa gitu, daripada nilai di cover... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga cenderung mempertimbangkan penulis kalau mau beli buku :D

      Hapus
  16. Memang beda orang beda pula seleranya ya

    BalasHapus
  17. setuju deh.. yang namanya selera memang tidak bisa diperdebatkan. buku yang biasanya aku suka, bagi orang lain dianggap boring. Tapi kalau ketemu orang yang sama seleranya, seneng juga rasanya..

    BalasHapus
  18. Iya sih, beda orang beda selera. Bagus di A belum tentu bagus di B :)
    Tapi kadang2 A dan B bisa sama2 suka atau sama2 tdk suka sama buku tertentu juga sih ya ...

    BalasHapus
  19. Mbak Millaka kalau menuruku bagus tidaknya seuah novel berindikaikan apakah aku betah menyelesaikannya dalam waktu singkat..Yah terbukti kan betapa relatifnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti buku yang benar-benar menarik dan nggak mbosenin ya..

      Hapus
  20. Setujuh, sesuai kesukaan masing-masing sih...
    Nek aku seneng metropop soale gampang bacanya :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku malah males baca metropop. Ceritanya cinta-cintaan gitu. Malesiii...

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!