Kamis, 03 Mei 2012

Mengenang Tiga Tahun Lalu

2 Mei 2009, malam
Aku benar-benar rempong membereskan barang-barang yang akan kubawa. Baju, sepatu murah baru yang dibeli di PGC, dan keperluan lainnya kutata dalam koper besar warna biru yang kubeli bersama Heni.

3 Mei 2009, pagi
Masih rempong. Dan ditambah galau. Kali pertama meninggalkan pulau Jawa, pergi jauh ke ujung Sumatera, kali pertama akan naik pesawat, semua campur aduk. Ditambah pikiran bahwa aku akan jarang pulang, paling banter setahun sekali. Padahal, selama ini aku biasa pulang sebulan sekali, paling lama tiga bulan aku tidak pulang ke rumah.

Barang-barang sudah dipak. Seperti lirik lagunya Shania Twain, “all my bags are packed, I’m ready to go”. Yeah, honestly I wasn’t ready to go. Tidak sempat sarapan. Atau mungkin lebih tepatnya, terlalu ‘stress’ untuk memikirkan sarapan. Akhirnya cuma minum susu kotak rasa stroberi (kalau tidak salah). Aku sudah memakai kostum kebanggaanku, jaket PKL. Jaket berwarna hijau lumut itu memang jaket kesayanganku. Bukan karena desainnya keren, melainkan karena sakunya banyak. Dua saku di bawah, satu di atas, dan satu lagi di bagian dalam. Jadi, aku tidak perlu bingung di mana harus menyimpan ponsel, dompetku, dan barang-barang lain yang kuperlukan.

Pakdhe-ku menelepon. Katanya sudah di depan gang masuk kosku. “Pakdhe udah di depan. Kamu keluar. Kaya raden aja mesti dipanggil,” begitu kira-kira ucapan Pakdhe-ku yang membuatku kapok ‘berurusan’ dengannya. Aku memang jarang bertemu dan ‘berurusan’ dengannya selama ini.

Ibu, Abah, dan adikku sudah ada dalam taksi. Barang-barangku pun segera dibawa turun. Pakdhe-ku pun segera membawa taksi meluncur menuju bandara. Waktu itu aku percaya saja pada teman-temanku bahwa aku harus check ini 2 jam sebelum terbang. Jadi, kami pergi sangat gasik (awal). Sampai di sana, baru aku yang datang. Aku pun menelepon kawan-kawanku yang lain. Ternyata sebagian besar masih dalam perjalanan.

Beberapa saat kemudian, muncullah kawan-kawanku. Intan, Bang Kahar, Repu, Mawarzi, Hendra, Desi, dan Ina. Aku lupa, Mas Aris berangkat bareng dengan kami atau gelombang berikutnya, hehehe... Terus ada Hendri juga tidak, yaaa???(ingatanku benar-benar payah). Repu dan Mawarzi diantar oleh Asyeh, kawan kos mereka. Padahal Asyeh itu teman SMA-ku, tapi dia lebih memilih mengantar teman kosnya daripada mengantarku. Yaeyyalaaaaah... Mereka, kan, lebih akrab. Eny dan Ndaru datang naik DAMRI. Katanya, sih, mau mengantarku. Tapi, nyatanya mereka malah sibuk mencari bule, hahaha! Oh, ya, awalnya aku salah terminal. Kalau tidak salah aku nyasar ke terminal pemberangkatan ke luar negeri. Untungnya kedudulan itu tidak berlangsung lama.

Tibalah waktu untuk check in. It’s time to say goodbye. Abahku yang selama ini tidak mellow, hari itu lumayan mellow, meskipun tidak sampai menangis. Cuma merangkul bahuku. Ibuku juga untungnya tidak menangis. Aku mencari-cari Eny dan Ndaru tapi mereka tidak muncul juga setelah pergi untuk berburu bule (meskipun kemudian mereka mengaku mencari sarapan, aku tetap menuduh mereka mencari bule). Jadi, aku tidak pamit pada mereka.

Aku sama sekali belum pernah naik pesawat, jadi cuma nunut kawan-kawanku saja yang sudah sering naik pesawat. Sewaktu check in pun cuma membuntuti kawan-kawanku, takut hilang, hahaha! Kami sudah hampir terlambat karena pesawat hampir take off. Kami pun bergegas.

Pesawat take off. Aku lupa saat itu menangis atau tidak. Sepertinya, sih, menangis. I’m leaving on the jetplane.. I don’t know when I’ll be back again.. Di atas pesawat kami ditawari makan siang. Pilihannya kalau tidak salah nasi goreng ayam dan kwetiaw goreng sapi. Kalau tidak salah, sih, begitu. Pokoknya antara nasi goreng dan kwetiaw. Aku pun memilih kwetiaw. Ternyata aneh. Kwetiaw gorengnya pucat, tidak berwarna kecoklatan seperti kwetiaw yang sering kubeli di dekat kosku di Jalan Haji Yahya, Kebon Nanas Utara (halah, lengkapnyaaa!). Aku pun tidak menghabiskannya. Perut mual karena mabuk udara ditambah rasanya yang ehm ehm, membuatku tidak doyan makan. Dan beberapa saat kemudian, aku tidak sanggup menahan mual. Untungnya aku tidak terlalu bodoh jadi bisa menemukan kantung muntah yang disediakan lalu muntah dengan suksesnya.

Kami transit di Medan. Eh, tunggu, aku lupa. Sebenarnya aku muntah itu dalam perjalanan Jakarta-Medan atau Medan-Banda Aceh? Heuheuheu, lagi-lagi ingatanku payah. Yang jelas, sewaktu transit di Medan, aku sudah lemas selemas-lemasnya. Stres bukan main ketika harus naik pesawat lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Yah, beginilah kalau orang kampung naik pesawat.

3 Mei 2009, siang
Pesawat mendarat di Banda Aceh. Clingak-clinguk mencari orang dari BPS provinsi yang menjemput. Cukup lama kami menunggu. Baru saja kami mendiskusikan untuk pergi sendiri ke kantor provinsi (tanpa menunggu jemputan) ternyata sang penjemput sudah datang. Kami pun segera naik mobil. Sebelum ke kantor, kami dibawa dulu ke acara Maulid Nabi dan diberi makan. Diberi makaaaaan??? Lo kate ayaaaaam, dikasih makan? Dan aku masih belum mendapatkan selera makanku. Awalnya aku berniat tidak ikut makan. Tapi, berhubung tidak ingin dianggap tidak sopan, akhirnya aku makan dengan kondisi perut yang masih tidak beres.

Setelah selesai, kami diajak ke kantor. Di kantor kami langsung dikumpulkan di ruang rapat. Sedikit dimarahi karena sesuatu hal, lalu diumumkan daerah penempatan kami. Aku yang semula dijanjikan akan ditempatkan di Aceh Jaya dan berdua dengan Hendra ternyata malah ditempatkan di Aceh Barat Daya, sendirian pula. Aku pun disuruh duduk di sebelah bosku. Setelah selesai mengumumkan penempatan, kami disuruh mengukur, eh, mungkin lebih tepatnya diukur untuk membuat seragam. Naaah, saat diukur ini aku langsung berpikir, “Mampus, aku lupa muka bosku tadi!” Satu kelemahanku yang fatal: tidak bisa mengingat wajah seseorang dalam tempo singkat. Akibatnya bisa fatal, karena aku tidak bisa mencari bos yang akan membawaku ke kabupaten penempatanku.

Sewaktu sholat Ashar, aku pun masih memikirkan bagaimana nasibku yang lupa wajah bosku. Namanya pun aku tidak tahu. Ketika yang lain sudah diajak oleh bosnya masing-masing, aku mulai galau. Bosku yang mana, yaaaaa? Kemudian aku ditanya seorang bapak, kalau tidak salah ingat itu Pak Taufik, di mana penempatanku. Saat kujawab Aceh Barat Daya, Pak Taufik langsung menunjukkan seseorang yang ternyata bosku. Jujur, saat itu mataku rasanya benar-benar buram, mungkin efek mabuk tadi, jadi masih belum bisa merekam wajah bos dalam memori otakku.

Aku pun kemudian mengikuti si bapak (saat itu aku belum tahu namanya) ke rumahnya (sebenarnya itu rumah orang yang entah siapa tapi kuanggap itu rumah bosku). Istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe. Asli, aku sama sekali tidak tahu di mana itu Lhokseumawe dan berapa jarak dari Banda Aceh ke sana. Pokoknya judulnya cuma nunut. Dan ternyata efek mabuk masih tersisa sehingga aku mabuk untuk kedua kalinya di hari itu dan untuk pertama kalinya di mobil dinas (dan sampai hari ini sudah dua kali aku ‘memuntahi’ mobil tersebut, hehehe). Sampai Lhokseumawe sudah tengah malam. Ternyata Lhokseumawe itu tempat tinggal bos sebelum pindah ke Aceh Barat Daya. Dua hari kemudian, 5 Mei 2009, aku baru diajak ke Aceh Barat Daya. Dan dimulailah petualangan penuh tawa dan air mata.

20 komentar:

  1. melow... hiks hiks, @.@

    jijik.. weeee***k :<( ada yang suka mabok disini O.o

    mengharukan juga perjuangan ente y mbak haha :D
    #sedikit takut bila terjadi padaku nanti -_-"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wew, ga selalu mabok, kok. Kalo perjalanan darat ga sering mabok kecuali lagi kurang sehat :p

      Hapus
  2. hehe..
    untuk kali ini kayaknya mbak benar2 ga menikmati perjalanan kayak yang mbak bilang di judul blog ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya waktu itu saya sudah terlalu 'sakit' untuk menikmati perjalanan. Lha, wong muntah masa dinikmati :p

      Hapus
  3. hehe...
    ada kemiripan kita mbak, tapi saya susah mengingat nama...

    pengalaman yang tidak menyenangkan tapi menjadi kenangan yg tak terlupakan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya, sih, susah mengingat wajah sekaligus nama :D :D :D

      Sebenarnya kenangan itu bukan tak terlupakan, toh, ada saja bagian yang terlupakan (misal muntahnya di mana :D).

      Hapus
  4. semoga kenangan itu menjadi sebuah pembelajaran hidup kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pembelajaran agar kali lain makan dulu sebelum naik pesawat :p

      Hapus
  5. sulit untuk melupakan suatu kenangan yg berkaitan dgn jln hidup...........

    BalasHapus
  6. hihihi, ini kok ingetannya payah banget, wew, lupa muntah dimana, sampe lupa boss nya yg mana, aduuuhh, mba mba, ahahaha "piss ah" :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi, masih untung, lah, saya inget penempatan di mana. Kalo gak inget, bakalan gak ketemu juga sama bos.

      Hapus
  7. Ga da foto2 selama perjalanan nya ya mbak ?
    pengenn liatt ... heheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum punya hape yang ada kameranya waktu itu. Masih jadi kaum dhu'afa.

      Hapus
  8. Eh, Millati. Aku malah gak inget tiga tahun lalu itu aku gimana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillaaah, ada yang lebih 'lupa' dari aku :D :D :D

      Nurin ingetnya Fadlan doang, yak?

      Hapus
  9. bawa kantong plastik kalau mau berpergian :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang kalo pergi jauh emang sering 'sangu' kantong plastik :p

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!