Gambar pinjam di sini |
Setelah
membacanya, aku tak menyesal sudah ‘melanggar’ prinsipku untuk tak membeli
novel bertema cinta. Ternyata novel ini memang tak melulu tentang cinta. Ada
banyak nasihat tentang kehidupan, tentang pekerjaan, tentang hidup bermasyarakat.
Ada banyak petuah bijak yang disampaikan Pak Tua, salah satu tokoh dalam novel
ini kepada Borno, sang tokoh utama.
Novel ini
dibuka dengan kisah Borno kecil yang bertanya tentang panjang Sungai Kapuas
karena dia ingin tahu apabila dia buang air di hulu Kapuas, butuh berapa hari ‘residu
padat’ itu sampai di depan rumahnya. Yah, begitulah anak-anak, kerap memikirkan
sesuatu yang jarang terpikirkan oleh orang dewasa. Dia bertanya mengenai
panjang sungai Kapuas kepada ayahnya, ibunya, Koh Acong, dan Cik Tulani.
Semuanya tidak memberi jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya ia bertanya pada
Pak Tua berapa panjang Kapuas dan butuh berapa lama untuk mencapai hulunya.
Menanggapi pertanyaan Borno, Pak Tua justru memberikan jawaban yang bagi
sebagian besar orang dianggap sebagai jawaban yang berbelit-belit. Katanya, waktu
yang diperlukan untuk mencapai hulu tergantung perahu yang digunakan, siapa
yang mengemudikan perahu, di musim apa pergi ke hulu. Pokoknya ribet. Tapi,
bila dipikir-pikir, yang dikatakan Pak Tua memang benar. Dalam merencanakan untuk meraih sesuatu, kita harus
memperhatikan banyak faktor. Kita harus mengukur ‘kekuatan’ diri, menentukan ‘alat’
yang akan digunakan, cara yang akan ditempuh, dan masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Kemudian
cerita dilanjutkan dengan kisah Borno yang berganti-ganti pekerjaan, mulai dari
pekerja di pabrik pengolahan karet, petugas pemeriksa karcis di pelabuhan,
hingga pertentangan hati ketika dia harus menjadi pengemudi sepit. Awalnya dia
tidak mau menjadi pengemudi sepit karena wasiat ayahnya yang melarang dia Borno
menjadi pengemudi sepit. Namun, setelah mendengar nasihat ibunya dan Pak Tua,
Borno pun memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit. Saat menjadi pengemudi
sepit inilah Borno bertemu dengan Mei, gadis Tionghoa yang menjatuhkan sebuah
amplop merah (yang di kemudian hari ‘disadari’ Borno bahwa itu hanya angpau,
meski sebenarnya bukan). Gadis Tionghoa itu yang membuat Borno bertingkah ‘dudul’
dengan ngotot untuk berada di antrian sepit nomor tiga belas dan membuat Borno
menunggu-nunggu kedatangannya pada pukul tujuh lewat lima belas. Pokoknya lucu.
Ada beberapa
nasihat yang bagus yang disampaikan tokoh Pak Tua dalam novel ini.
Yang
pertama: Orang yang paling tidak tahu untung adalah
yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya. Nasihat ini cocok
untuk orang-orang yang sering mengeluhkan makanan (terutama aku!) sedangkan dia
tahu di luar sana ada banyak orang yang bahkan tidak punya apapun untuk
dimakan. Masih untung bisa makan. Harusnya bersyukur. Bukan hanya tentang
makanan, tapi juga tentang segala yang didapatkan dan dimiliki.
Nasihat kedua
adalah nasihat tentang cinta: Cinta selalu saja
misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.
Nasihat ini membuatku sedikit santai memikirkan kisah cintaku yang selalu
berakhir buruk (meski sebenarnya aku yakin itu baik untukku). Yah, lebih baik
biarkan cinta menemukan jalannya sendiri.
Nasihat
ketiga masih tentang cinta: Cinta sejati selalu
menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya.
Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru
sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai
perangai NORAK lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh,
Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan.
Nasihat
keempat, lagi-lagi masih tentang cinta: Cinta adalah
perbuatan. Kau selalu bisa memberi tanpa sedikitpun rasa cinta. Tetapi kau
tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi. Well, kalimat ini
sudah sering kudengar, tapi jarang kupikirkan. Kalau selama ini aku ‘merasa’
mencintai seseorang dan banyak ‘memberi’ padanya dengan mengharapkan balasan,
jadi itu bukan cinta? Entah. Tak usah dipikirkan.
Nah, ada
lagi kalimat yang bukan nasihat tapi aku suka. Montir
yang baik selalu bisa menggunakan apa pun yang tersedia. Kalimat ini mengajarkan
untuk kreatif, menggunakan ‘alat’ dan cara apa saja, tidak bergantung pada satu
alat dan cara (tentunya selama alat dan caranya baik). Ini juga nasihat yang
makjleb bagi para programmer karena bisa diartikan sebagai berikut: programmer
yang baik selalu bisa menggunakan bahasa pemrograman apapun. Nah, lho! Hehehe,
pokoknya apapun alatnya, yang lebih penting adalah the man behind the gun, right?
Novel ini
ditutup dengan ending yang lumayan mengejutkan. Ketika diceritakan bahwa Mei
sakit, aku menduga bahwa cerita ini setipe dengan cerita-cerita chicklit atau
teenlit di mana sebenarnya tokoh utama wanita mengidap penyakit parah sehingga
dia tidak ingin menjalin hubungan dengan tokoh utama pria. Tuduhanku ini
diperkuat oleh sikap ayah Mei yang mengatakan bahwa mereka hanya akan saling
menyakiti. Ternyata tuduhanku salah. Kisah yang terjadi bukanlah demikian. Mei
sebenarnya adalah anak anak dari dokter yang mengoperasi ayah Borno. Lalu, apa
hubungannya? Baca saja sendiri. Pokoknya jangan khawatir akan membaca kisah
mendayu-dayu. Kisah Borno, bujang berhati paling
lurus di sepanjang tepian Kapuas ini, tidak se-mellow itu, tapi tetap
menarik.
Pertamax, mbak! Borno bisa diambil dari kata Borneo, atau anggepan ane salah! Yg pasti ane ngerti mbak mil lagi curcol ttg kisah cinta mbak sendiri!
BalasHapusBesok ane mau ngukur panjang kali bodri, ah! Atau panjang bengawan solo,a.a.a. Bhahaha
Eksaaak! Ini bukan curhat kisah cintaku tau :p Kalo ceritaku kan belum ketahuan ending-nya :p
Hapuswow.. endingnya diterusin lah =.=" haha..
BalasHapusmakanya mbak, syukuri terus karena sudah dapat makan dari yang maha kuasa :p, masak yang gak sesuai mood pean kok makanannya diumpankan ke aku >.<
Lha, dirimu kan pemakan segala, jadi bisa menampung makanan yang tidak layak bagiku :D
Hapusaw aw aw, tegaaaaaaa >.<
Hapussudahlah mbak jangan mengelak... karena cinta pada **sensor** kau pun menjadikanku sansak #eh
Memang sudah kodratmu jadi sansak, Nak :p
HapusBtw, yang disensor tu nama Lee Min Ho, ya? Ga usah disensor kaleee :p
akh, ini udah dibeli tapi belum sempet kubaca.
BalasHapusSeru, lho, novelnya... Baca gih :p
HapusBuku ini ingin kubeli jika kembali ke Indonesia nanti :)
BalasHapusBelum nyampe Thailand ya bukunya...
Hapusmbak, boleh tahu ending novel ini nggak? pensaran banget tapi gag punya duit buat beli bukunya hehe :D
BalasHapusbaca di fanpage Tere Liye aja, biar lengkap ceritanya.
Hapus