Jumat, 25 Desember 2015

Tentang Gue, Lo, dan Abang

Sewaktu kuliah D4, aku menghabiskan waktu hampir lima tahun di Jakarta. Dan selama itu pula, aku tidak menggunakan kata gue-lo saat mengobrol. Maklum, sebagian besar temanku adalah orang daerah dari berbagai pelosok Indonesia yang juga tidak terbiasa ber-gue-lo. Hanya sedikit teman yang orang Jakarta. Jadilah selama itu aku tetap ber-aku-kamu saat mengobrol dengan teman-temanku. Bahkan, saat mengobrol dengan teman dari Brebes Tegal aku tetap ngapak meskipun lawan bicaraku orang yang terbiasa berbahasa Indonesia.

Saat kuliah lagi di Jakarta, aku mendapatkan banyak teman yang menggunakan gue-lo saat berbicara denganku. Sebagian besar temanku memang sudah lama tinggal di Jakarta, jadi terbiasa menggunakan kata ganti itu. Awalnya aku tetap mengunakan kata aku-kamu. Kata Qaqa Octa, ketika lawan bicara menggunakan gue-lo, ikut saja menggunakan kata ganti itu, lawan bicara pasti senang. Lebih kurang begitu katanya. Tapi, aku masih tidak nyaman menggunakannya. Hal itu bertahan selama satu tahun. Sampai suatu ketika aku mengobrol dengan salah seorang acquaintance (masih belum bisa dianggap teman, hehehe) dan dia ber-gue-lo denganku. Dan aku ikut-ikutan ber-gue-lo. Aku tidak yakin alasanku waktu itu kenapa ikut-ikutan. Dan sejak saat itu, aku jadi sering memanggil diriku "gue". Lama-lama nyaman juga. Namun, kadang merasa "sok gaul" saat mengatakannya. Padahal, aku kan anak kampung yang lugu.. Oke, itu cuma pencitraan. Aku tidak lugu tapi bukan anak gaul juga.

Itu tadi tentang kebiasaanku yang berubah. Selain kebiasaan yang cepat berubah (berubah dalam tempo satu tahun kuanggap cepat), ada satu kebiasaan yang belum berubah sejak tinggal di Jakarta lagi. Kebiasaan itu adalah memanggil "abang". Di Blangpidie dulu, hampir semua laki-laki yang kukenal dan berumur tak terlalu jauh di atasku kupanggil abang. Saking bosannya memanggil orang "abang" aku sampai keukeuh memanggil salah satu temanku yang berasal dari Jawa dengan panggilan "mas" meskipun dia lebih suka dipanggil "abang". Itu sebabnya aku menyebut Benedict Cumberbatch dengan sebutan "Mamas Beben", bukan "Bang Beben". Setelah kembali ke Jawa, aku malah sudah terlalu terbiasa memanggil orang "abang". Bahkan, tukang nasi goreng langgananku pun kadang kupanggil "bang" padahal dia orang Brebes. Tamahiro, Ogurin, Musamu, semua juga kupanggil abang. Mungkin lidahku sudah terbiasa menyebut kata "abang" karena lima tahun lebih tinggal di Aceh dan selama itu pula memanggil orang dengan sebutan "abang".

Anehnya, aku tetap biasa memanggil lawan bicara perempuan dengan sebutan "mbak". Padahal, di Blangpidie aku biasa memanggil perempuan yang lebih tua dengan sebutan "kakak". Mungkin karena banyak temanku yang orang Jawa di Aceh yang sering kupanggil "mbak", jadi aku sama-sama nyaman menggunakan kata "kakak" ataupun "mbak". Mungkin begitu.

Oiya, kalau ada yang mengira tulisan ini akan bercerita tentang cinta segitiga, maapkeun yah. Ini bukan tentang itu.

8 komentar:

  1. Yah... Tamaki Hiroshi, Oguri Shun kalau untukku 'om' =)) Aku biasanya kalau manggil Hiroshi oji =)) *kapan manggilnya*

    BalasHapus
    Balasan
    1. ih, mereka kan masih mudaaa, masa dipanggil om -_-

      Hapus
  2. Lidah kayak keseleo kalau jadi elo gue, ya.
    Nek aku yaaa tetep nyong kowe. . . :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. nyong kowe kan cuma bisa dinggo nggo sesama ngapak..

      Hapus
  3. aku pakai lo gue buat temen2 sekolah aja itu juga udah lama gakdipake :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah gak enak pake lo gue ya, udah jadi pak bu?

      Hapus
  4. Hahahaha mbak mil i feel you
    saya pake elo gue kalo teman saya juga gitu sih :))) kadang temen yng ngikutin pake kammohhhh akoohh *eh jadi alay

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo alay biasanya aku malah pake akyuh sama kamyuh :D

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!