Laman

Selasa, 31 Juli 2012

Gelas-Gelas Jiwa

Manusia ibarat gelas kosong.. Dituang kopi isinya menghitam, dituang air putih menjadi beninglah ia. Tetapi segelap apapun gelas kopi itu, ia akan kembali bening jika terus menerus dituang air putih, begitupun sebaliknya.

Kata Mbak Nurul Fadilah, sih, begitu. Manusia diibaratkan gelas kosong? Aku tidak sepenuhnya setuju. Kalau gelas dijadikan metafora untuk jiwa manusia, tentunya gelas itu berada dalam kondisi kosong hanya ketika dia baru dilahirkan. Setelah dia menjalani kehidupan di dunia, sedikit demi sedikit gelas itu akan terisi. Apa isinya? Bisa macam-macam. Bisa air bening (bukan air putih), bisa susu, bisa kopi, bisa kopi susu, bisa teh, bisa jamu, bisa sirup, macam-macam, lah. Ehm, kenapa malah jadi menyebutkan banyak minuman begini?

Pada awal pertumbuhan dan perkembangan manusia, yang paling berperan dalam mengisi ‘gelas’ jiwanya adalah orang lain alias lingkungan terdekat, misalnya orang tua. Bisa dibilang pada fase awal pertumbuhan dan perkembangannya, manusia cenderung pasif, manut, diisi apa saja tidak menolak. Ketika manusia sudah mulai bisa berpikir, sudah bisa menilai dan membedakan baik-buruk dan benar-salah, dia sudah bisa menentukan sendiri apa saja yang ‘boleh’ masuk ke dalam ‘gelas’ jiwanya. Sudah bisa menyaring, istilah kerennya. Seiring berjalannya waktu, zat yang masuk ke ‘gelas’ bisa berubah-ubah. Misalnya awalnya diisi air bening, lalu kemudian khilaf hingga terisi air got, lalu insyaf hingga terisi air bening yang mengandung kaporit. Lalu, mana yang lebih berpengaruh terhadap kebersihan ‘gelas’ ini? Ya, tergantung mana yang lebih banyak (banyak dalam hal ini dari segi kualitas dan kuantitas). Kalau air gotnya banyak dan terlalu butek tapi air kaporitnya cuma seuprit, ya, jelas dominan air got, lah, yaaa! Dan sebagai manusia biasa, harus kuakui sangat sulit untuk mencegah ‘gelas’ milikku terisi air got butek itu. Dan butuh tekad kuat juga untuk istiqomah mengisi ‘gelas’ itu dengan air bening, apalagi air kaporit. Serius!

Sabtu, 28 Juli 2012

Cerita Anak SMA: Pembantaian

Gambar pinjam di sini
Orang-orang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah. Tapi, bagiku tidak. Meskipun bukan masa paling indah, aku tetap saja punya kenangan tak terlupakan di masa SMA. Tokoh utama dalam kenangan itu adalah guru Matematika bernama Bu A (nama disamarkan demi keselamatan, halah!). Aku mulai mengenal ibu yang satu itu di kelas 2 SMA (sekarang, sih, namanya kelas XI). Keberadaan Bu A ini membuat masa SMA-ku sangat ‘indah’ (ingat, ya, ‘indah’, bukan indah). Setiap kali Bu A mengajar, kami serasa berolah raga, tapi yang berolah raga cuma jantung, alias dag dig dug dhuer! Mengikuti pelajarannya berarti harus berkonsentrasi penuh. Setiap selesai menjelaskan satu materi, Bu A langsung menuliskan beberapa soal di papan tulis lalu menunjuk beberapa murid SECARA ACAK untuk mengerjakannya. Ini dia yang membuat kami sport jantung. Dan Bu A ini termasuk adil. Maksud adil di sini adalah semua murid di kelas bisa dipastikan mendapat giliran untuk maju. Kalau hari ini selamat dari ‘penunjukan’, tetap harus bersiap untuk ditunjuk besok atau lusa. Pernah suatu kali aku sedang malas jadi merebahkan kepalaku di meja tapi tidak tidur. Dan tanpa kusadari si ibu sudah berdiri di samping mejaku sambil meletakkan kapur di mejaku. Itu artinya aku disuruh mengerjakan salah satu soal di papan tulis. Mungkin dikiranya aku tidur, jadi aku disuruh maju agar tidak mengantuk lagi. Untung saja aku bisa mengerjakannya.

Selain disuruh mengerjakan soal di papan tulis, kami juga mendapat PR. Setiap pertemuan hampir selalu disuruh mengerjakan soal di LKS lalu dikumpulkan seminggu kemudian. Jadi, dalam seminggu bisa jadi kami harus mengerjakan lima puluh soal. Mantap! Tapi, kami lebih cerdas dari si ibu. Bisa dibilang mengerjakan PR adalah fardhu kifayah, alias kalau satu orang sudah mengerjakan, yang lain tidak wajib mengerjakan. Jadi, biasanya ada dua murid di kelas sebelah yang rajin mengerjakan PR dan kami cukup memfotokopi hasilnya lalu menyalinnya di buku PR kami. Hihihi, nakal sekali... Dan si ibu ternyata sangat teliti. PR kami dinilai. Kalau ada tulisan yang penuh coret-coretan atau bekas correction pen (type-X maksudnya), nilainya akan dikurangi. Sewaktu ada kawanku yang korupsi jumlah soal pun ketahuan dan mendapat catatan di buku PR-nya. Hadeuh! Masalah pengurangan nilai karena coret-coretan dan type-X ini pun berlaku sewaktu ulangan. Kalau tidak salah pernah ada kawanku yang ulangannya salah semua. Mestinya nilainya nol. Tapi, karena banyak coretan atau type-X, nilainya pun jadi minus. Kata Bu A, “Jadi kamu utang nilai sama saya, ya!” Gubrak!

Jumat, 27 Juli 2012

Sepatu Dahlan, Novel yang Sederhana tapi Menyentuh

Namanya Dahlan, lengkapnya Muhammad Dahlan. Seorang anak lelaki yang tinggal di sebuah desa bernama Kebon Dalem, Magetan. Hari itu adalah hari pembagian ijazah di SR Bukur, sekolah tempat Dahlan bersekolah. Di ijazahnya ada dua nilai merah yaitu untuk nilai pelajaran Berhitung dan Bahasa Daerah, sedangkan pelajaran lainnya ada yang bernilai enam, tujuh, delapan, dan sembilan. Sayangnya, nilai dua nilai merah tetap saja membuat bapaknya memarahinya.

Kemudian ibunya pun bertanya ke mana dia hendak melanjutkan sekolah. Dahlan pun menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMP Magetan. Sayangnya, bapaknya menentang. Dia menyuruh Dahlan untuk sekolah di Tsanawiyah Takeran. Satu keputusan yang tak bisa ditawar, kecuali dengan satu cara. Dan Dahlan berencana menggunakan cara itu. Pagi hari, setelah bangun tidur, dia menjalankan rencananya. “Aku mimpi bertemu Kiai Mursjid,” katanya. Demi mendengar nama seseorang yang sangat dihormatinya, Bapak pun langsung duduk bersila memandang Dahlan. “Apa pesan Kiai Mursjid, Le?” tanyanya. Dahlan pun menjawab bahwa kiai itu berpesan agar dia tidak berhenti sekolah. “Lalu kamu jawab apa?” tanya Bapak lagi. Dahlan yang semula berencana ‘menyalahgunakan’ nama Kiai Mursjid untuk membuat Bapak mengijinkan dia sekolah di SMP Magetan justru merasa bersalah. Dia tidak tega membohongi bapaknya. Pada akhirnya dia justru mengatakan bahwa dia akan sekolah di Pesantren Takeran karena Kiai Mursjid berpesan bahwa kewajiban utama keluarga mereka adalah menjaga kelangsungan Pesantren Takeran.

Rabu, 25 Juli 2012

Ada Hantu!

Ini adalah cerita ketika aku sekolah TK. Percaya, kan, kalau aku pernah TK? Nah, sekolah TK-ku ini jauh dari rumah. Ada sekitar tiga kilometer, lah, dari tempat tinggalku. Pasti ada yang bertanya, "Emang di kampungmu nggak ada TK?" Ada, sih. Tapi, MAHAL. Hahaha! Asli. Ini alasan yang sesungguhnya.

TK tempatku bersekolah ini dekat dengan rumah simbahku. Jadi, tiap pagi aku diantar oleh Abahku ke rumah simbahku lalu kemudian pergi ke sekolah (entah sendiri entah diantar, aku lupa) lalu siangnya pulang dari kantor Abah menjemputku, naik sepeda. Biasanya dalam perjalanan -- berangkat ataupun pulang -- kami bernyanyi ataupun bersholawat. Lagu yang masih kuingat yang liriknya "bila kuingat lelah ayah bunda, bunda piara, piara akan daku, sehingga aku besarlah". Dulu aku tahunya bukan "besarlah" melainkan "bersalah". Biasa, lah, anak-anak.

Senin, 23 Juli 2012

Ngulik Lirik Lagu "Geu Namja -- OST Secret Garden" (Part 3)

Setelah sekian lama, akhirnya aku melanjutkan ngulik lirik lagu Geu Namja. Sebelumnya sudah pernah kubahas dalam dua bagian, di sini dan di sini. Kalau ada yang punya terjemahan yang lebih tepat, silakan sampaikan di kolom komentar.

친한 친구에게도 못하는 얘기가 많은
chinhan chin-guegedo mothaneun yaegiga maneun
친하다 (chinhada) = akrab (kata sifat)
친하다 (chinhada) +(neun) = 친한 (chinhan) = (yang) akrab (penjelasan untuk kata benda selanjutnya)
친구 (chingu) = kawan, teman
친한 친구 (chinhan chingu) = teman akrab
에게 (-ege) = partikel yang lebih kurang artinya ‘kepada’
친한 친구 (chinhan chingu) + 에게 (-ege) = 친한 친구에게 (chinhan chinguege) = kepada teman akrab
(do) = partikel yang artinya juga
Nah, untuk arti frasa 못하는 (mothaneun) sendiri aku masih ragu. Yang disebutkan dalam buku dan website pelajaran Bahasa Korea adalah bentuk 못하다 (ji mothada) yang menyatakan ketidakmampuan (can’t). Sedangkan dalam lirik lagu ini tidak ada (ji)-nya.
*tambahan*
Ternyata itu adalah bentuk singkatnya. Jadi, kalau bentuk lengkapnya seperti berikut:
Verb + 못하다 (ji mothada)
Sedangkan bentuk singkatnya seperti berikut:
(mot) + Verb
하다 (hada) = melakukan
(mot) + 하다 (hada)못하다 (mothada) = tidak bisa melakukan -> disingkat saja jadi tidak bisa, hehehe
못하다 (mothada) + (neun) = 못하는 (mothaneun) = yang tidak bisa
*ditambah pada 25 Desember 2012*
친한 친구에게도 못하는(chinhan chinguegedo mothaneun) = yang kepada teman dekat pun tidak bisa (diceritakan)
얘기(yaegi) = cerita
(Ga) = partikel penanda subyek untuk kata yang berakhiran vokal. Sedangkan untuk kata berakhiran konsonan, misalnya kata 사람 (saram), menggunakan (i) -> 사람이 (sarami).
Dalam kalimat di atas ada frasa ‘yaegi ga’ (얘기가). ‘Yaegi’ diikuti ‘ga’. Jadi, subyek dalam kalimat tersebut adalah ‘yaegi’ (cerita).
많다 (mantha) = banyak (kata kerja) << Pegimane ceritanye ada kata kerja banyak? Aye juga bingung!
많은 (maneun) = banyak (kata sifat)
Jadi, 친한 친구에게도 못하는 얘기가 많은 (chinhan chinguegedo mothaneun yaegiga maneun) artinya lebih kurang “banyak cerita yang kepada teman dekat pun tidak bisa diceritakan”.


Sabtu, 21 Juli 2012

Belajar Dari Gufi


Gufi akan berulang tahun.  Dia sedang sibuk mempersiapkan pesta ulang tahunnya. Salah satu persiapan yang dia lakukan adalah: meniup balon. Lalu, ketika Gufi, Karel, dan Klarabela sedang berbincang-bincang mengenai ulang tahun, Karel menceritakan kebiasaan yang selalu dia lakukan setiap ulang tahun: membuat daftar pencapaian terhebat. Gufi pun terinspirasi untuk membuat daftar pencapaian seperti Karel. Mendengar hal itu, Klarabela langsung menyeret Karel keluar rumah dan memprotes tindakannya. Menurutnya, ide Karel bisa merusak ulang tahun Gufi. Gufi tidak akan bisa membuat daftar pencapaiannya. Kata Klarabela, “Dia tidak punya pekerjaan, tak punya pacar, dan dia bahkan tak punya teman-teman kelas tinggi seperti diriku.” Karel juga menyahut, “Atau keahlian teknik tinggi seperti diriku! Dia tak punya pencapaian tinggi seperti kita!” Hehehe, narsis sekali mereka berdua.

Akhirnya Karel dan Klarabela pun bekerjasama untuk membuat Gufi melakukan hal hebat agar bisa dituliskan dalam daftar pencapaiannya. Pertama, Karel mengajak Gufi ke bengkelnya. Sayangnya Gufi malah mengacaukan mobil salah satu pelanggan Karel. Untungnya Karel segera melakukan perbaikan pada mobil tersebut secepat kilat. Pelanggan tersebut terkesan pada keahlian Karel lalu menawarkan order perawatan mobil-mobil di perusahaannya.

Setelah Karel gagal membuat Gufi melakukan hal hebat, giliran Klarabela berusaha membantu Gufi. Dia merancang kencan perjodohan untuk Gufi. Menurutnya, punya pacar adalah pencapaian besar. Klarabela yang aneh. Apa hebatnya punya pacar? Ah, sudahlah. Kita lanjutkan ceritanya. Ada tiga orang yang berkenalan dengan Gufi. Tidak ada yang cocok. Klarabela tetap ngotot untuk mencarikan pasangan untuk Gufi. Melihat kegigihan Klarabela, pemilik kafe kencan tempat mereka berada menganggap bahwa Klarabela cocok jadi mak comblang di kafe tersebut. Dia pun ditawari pekerjaan.

Kamis, 19 Juli 2012

Belajar Karena Ditanya

Kemarin adik tingkatku bertanya lebih kurang begini, "Mbak, cerai mati sama cerai hidup Bahasa Inggris-nya apa?" Bleeeeh! Sebegitu canggihkah aku dalam berbahasa enggres sampai ditanya seperti itu? Dan sayangnya saat itu aku tidak membawa kamus. Alhasil, jawaban pertamaku adalah berdasarkan ilmu "perkayaan" alias "kayanya". Aku pernah melihat status orang tertulis "divorced". Langsung aku menebak bahwa cerai hidup itu dalam Bahasa Inggris disebut divorced. Naaah, kalau cerai mati? Entah kenapa aku langsung terpikir widow dan widower. Dulu, kalau tidak salah sewaktu SMP, guruku berkata bahwa widow dan widower artinya janda dan duda. Hanya saja aku tidak ingat apakah status janda mereka karena cerai mati (ditinggal mati oleh pasangan) atau karena cerai hidup (sesuai definisi cerai yang dipahami masyarakat umum). Langsung saja aku meluncur ke situs thefreedictionary.com dan mencari tahu arti widow. Ternyata benar, artinya lebih kurang perempuan yang ditinggal mati oleh pasangannya (suaminya). Langsung saja kujawab pertanyaan adik tingkatku itu. Kukatakan bahwa dalam Bahasa Inggris cerai hidup itu disebut divorced sedangkan cerai mati itu widow atau widower. Tapi, aku masih ragu. Akhirnya kubuka setting di Facebook. Aku mencari bagian relationship status. Aha!!! Ternyata ada yang kucari. Dari pilihan status hubungan yang ada dalam dropdown list, ada divorced dan widowed. Jadi, ternyata benar cerai hidup itu divorced. Sedangkan untuk cerai mati bukan widow atau widower melainkan widowed. Kuralat jawabanku tadi.

Selasa, 17 Juli 2012

Aku Benci Puisi

Dua anak lelaki berjalan telanjang kaki menapaki rerumputan. Sesekali mata mereka melihat ke bawah, khawatir menginjak kotoran kambing atau lembu yang sering ber’tamasya’ ke pantai Rindu Alam. Makin dekat ke pantai, rerumputan makin jarang. Yang tersentuh oleh kaki mereka kini hanya pasir putih.

Setelah berjalan sebentar, mereka pun sampai di dekat karang. Dengan tangkas mereka naik ke atas karang lalu duduk di atasnya. Lalu, ritual kebiasaan mereka pun dimulai. Menikmati suasana senja di pesisir barat Sumatera lalu menanti mentari terbenam di Samudera Hindia. Bila beruntung, mereka bisa melihat lumba-lumba.

pemandangan dari atas karang di Pantai Rindu Alam

“Pe-er dari Bu Suri sudah kaukerjakan?” tanya Salman tanpa mengalihkan pandangannya dari birunya laut, berharap akan ada lumba-lumba yang muncul.

“Belum. Aku malas. Kenapa pula Bu Suri memberi tugas membuat puisi? Aku, kan, benci puisi,” sahut Darwis sambil mengacak-acak rambut keritingnya. Sebal.

Refleks Salman pun menoleh. “Kenapa benci?”

“Puisi itu aneh. Bisa-bisanya wajah orang disamakan dengan rembulan. Rembulan itu tidak punya mata, tidak punya hidung,” kata Darwis berapi-api.
“Kau ingat pelajaran IPA kemarin? Bulan itu tidak bersinar. Bulan cuma memantulkan sinar matahari. Dan kaulihat puisi-puisi di buku pelajaran? Katanya bulan bersinar! Apa itu bukan bodoh namanya?”

Salman hanya terdiam dan menghela napas. Menyesali pertanyaannya yang membuatnya harus mendengarkan luapan kekesalan Darwis.

Belajar Bijaksana Menyikapi Alay

Ketika melihat adikku membuat nama samaran TPCOAS yang ternyata singkatan dari nama-nama idolanya (Taufik Hidayat, Patton, dan entah siapa-siapa saja), aku cuma tertawa sekaligus menertawakan. Aku menertawakan dia karena menurutku itu sangat konyol. Beuh, sampe segitunyaaa... Dan aku tertawa karena... karena... karena... dulu aku pun begitu. Hihihihi... Dulu aku pernah membuat nama samaran MIYOZA, singkatan dari Millati Yosuke Zamani. Yosuke? Siapa itu? Yosuke Fuma, salah satu tokoh dalam anime Wedding Peach. Lalu, Zamani? Zamani Ibrahim, vokalis SLAM. Hohoho, dulu sewaktu SD dan awal-awal SMP aku masih keranjingan musik tetangga sebelah, yang sekarang justru menurutku lebay cengkoknya.

Ketika adikku heboh menonton SM#SH, aku pun tak berani mencela. Yah, aku tak mencela di depannya meskipun menurutku gesture mereka terlalu lenjeh, gaya berpakaian yang aneh, tatanan rambut yang seperti "orang yang tidak punya sisir" dan aneh karena cenderung menutupi mata, dan segenap alasan untuk berkata, "Apa bagusnya cemes itu?" Aku memilih tidak menyatakan semua hal itu. Lagipula, sudah ada kedua kakakku yang lebih mantap dalam menyampaikan celaan yang sadis, kejam, tapi efektif membuatku tertawa ngakak. Aku tidak berani mencela kesukaan adikku karena dulu pun aku begitu. Aku pernah begitu terobsesi pada F4. Aku bahkan sampai berlatih menulis nama Mandarinnya Vic Zhou.

Minggu, 15 Juli 2012

Just Ephemera

There’s no song that can perfectly represent my character, my feelings, or my life story. Usually, only several lines of the whole lyric of a song that can represent ‘me’. One of those songs is Ephemera. It's sung by Letto, my favorite band. Honestly, when I heard ‘ephemera’, I didn’t know the meaning. And then, I searched its meaning in my dictionary, and found that ‘ephemera’ means ‘nymph or something that has short life’. So, when I heard this song for the first time, about three or four years ago, I presume that this song tells us about human’s life that is not everlasting. But, after I saw it’s video clip and read it’s lyric, I knew that it doesn’t tell us about human’s life but tells us about human’s feeling or human’s emotion that isn’t everlasting. We (especially me) are often drown in our feeling, whether happiness or sadness, although we know happiness won’t last forever, a sadness won’t either. Sometimes, we even can't remember how long those feelings last. It's a good song, a combination of inspiring lyric and beautiful music.

Time Traveller: Tidak Logis tapi Menarik

Perjalanan melintasi dimensi waktu merupakan salah satu ide yang masih belum bisa diterima oleh akal sehatku. Sampai saat ini aku masih melihat dimensi waktu sebagai sesuatu yang linier, bukan suatu siklus ataupun sesuatu yang paralel. Mustahil rasanya bisa kembali ke masa lalu. Kalau sudah ada hari ini, otomatis hari kemarin dan sebelumnya sudah tidak ada lagi. Bagaimana mungkin kita bisa pergi ke suatu masa yang ‘sudah tidak ada’? Jangankan bepergian melintasi dimensi waktu. Perjalanan berpindah tempat dalam waktu singkat, seperti perjalanan dengan portkey dalam Harry Potter, menurutku mustahil. Bagaimana caranya? Satu-satunya penjelasan logis adalah perpindahan dengan kecepatan luar biasa, bukannya hilang di satu tempat lalu tiba-tiba muncul di tempat lain.

Tapi... Biarpun ide perjalanan melintasi dimensi waktu masih mustahil bagiku, tetap saja aku tertarik menonton film yang mengangkat tema tersebut. Salah satu film bertema tersebut adalah Time Traveller (The Girl Who Leapt Through Time). Tokoh utama dalam film ini adalah Akari Yoshiyama. Dia harus kembali ke tanggal 1 April 1972, menggantikan ibunya untuk menemui kawan lamanya, Kazuo Fukamachi. Caranya? Dia harus minum cairan yang diciptakan ibunya lalu berniat dengan sungguh-sungguh ke masa yang diinginkan. Cara yang aneh. Memangnya, bagaimana caranya suatu cairan bisa membawa manusia melintasi waktu? It’s so weird. Lalu, berhasilkah Akari? Sayangnya, Akari malah pergi ke tanggal 16 Februari 1974, terlambat dua tahun dari waktu yang diinginkan. Saat kali pertama tiba di masa lampau, Akari bertemu dengan Ryota lalu tinggal di rumahnya. Dia pun menceritakan kepada Ryota bahwa dia datang dari tahun 2010. Karena Ryota tidak percaya, Akari pun menunjukkan barang-barang dari masa depan sebagai bukti. Sembari mencari Kazuo, Akari membantu Ryota mengerjakan filmnya. Akari juga menjadi pemeran di scene terakhir film tersebut, tapi hanya tampak punggung.

Sabtu, 14 Juli 2012

Kebanggaan yang Salah Kaprah

Tadi aku mengintip grup perkumpulan pemuda  kabupaten asalku di Facebook. Dan aku menemukan satu tulisan yang bunyinya lebih kurang begini: Menurutku Kecamatan A lebih baik dari Kecamatan B. Dan banyak yang berkomentar marah. Saat membacanya aku juga marah. Bukan Cuma karena kecamatan tempat tinggalku dicela. Aku lebih marah karena dia sudah menebarkan aroma permusuhan. Aku sudah sering melihat pernyataan satu suku yang merasa lebih baik, lebih terhormat, dan lebih beradab dibandingkan suku lain. Tapi, ini lebih parah. Sama sukunya, sama kabupatennya, cuma beda kecamatan saja sudah merendahkan yang lain. Aku bingung menyebutnya. Lebih sempit dari rasis, apa namanya?

Kalau di level sekecil itu saja sudah menciptakan permusuhan, bagaimana kabupaten kami akan maju? Dan kalau tiap kabupaten tidak bisa maju, bagaimana negara ini akan maju? Apa hubungannya sikap seperti itu terhadap kemajuan? Wow! Tentu sangat erat hubungannya. Kemajuan suatu negara harus dicapai dengan kerjasama. Tidak mungkin, kan, memajukan negara sementara cuma sekelompok orang yang ‘berjuang’? Nah, kalau salah satu kelompok sudah merendahkan kelompok lain, masih bisakah kerjasama dilaksanakan? Nyaris mustahil.
Mungkin ada yang menganggap kemarahanku berlebihan. Yah, kalau hanya sekali menemui makhluk seperti itu, sih, mungkin memang berlebihan. Tapi, ini adalah kali kesekian aku menghadapi orang yang menganggap kelompoknya (termasuk sukunya) lebih baik dari yang lain dan cenderung merendahkan kelompok lain. Primordialisme memang kadang diperlukan. Tapi, ketika berlebihan, bisa jadi pemicu permusuhan. Aku, sih, biasa saja kalau ada orang yang bangga dengan sukunya, juga bangga dengan budayanya. Aku juga tidak keberatan ketika ada orang yang bangga dengan daerahnya. Tapi, ketika kebanggaan itu berubah menjadi kesombongan, berubah menjadi sikap merendahkan pihak lain, that’s irritating!

Selasa, 10 Juli 2012

Kagumi Sekadarnya Saja

Aku pernah kagum pada seorang public figure. Aku terpesona pada kata-kata bijaknya, pada kata-katanya yang agamis. Namun, kekaguman itu luntur ketika aku melihatnya merokok dan makan minum menggunakan tangan kiri. Sepele memang. Cuma perkara makan minum dengan tangan kiri. Tapi, bagiku, meskipun seseorang itu terlahir kidal, makan dan minum menggunakan tangan kanan tetap harus diusahakan karena itu sunnah. Kalau dalam mengerjakan hal lain mau menggunakan tangan kiri, silakan. Kalau soal melihat dia merokok, hmmm, itu menyedihkan.

Aku juga pernah kagum pada seorang penulis, lebih tepatnya novelis. Karya-karyanya sangat bagus, baik dari segi ide cerita, jalan cerita, juga nilai moralnya. Namun, kemudian aku terkejut melihat reaksinya di fanpage-nya ketika menghadapi penggemar yang kontra dengan pendapatnya. Terlalu keras menurutku. Padahal, dengan sikap kerasnya, dia bisa membuat penggemarnya itu bukan hanya antipati padanya melainkan juga antipati pada pendapatnya. Kalau hanya antipati padanya, tak masalah. Tapi, kalau sampai penggemar itu antipati pada pendapatnya – meskipun di kesempatan lain pendapat itu disampaikan oleh orang lain – itu sudah bahaya. Dan aku mengharapkan dia bisa bersikap bijaksana sebagaimana tokoh dalam novel-novelnya. Tapi, ternyata aku kecewa.

Minggu, 08 Juli 2012

Memang Tidak Jodoh

Warning: Ini tulisan curhat. Yang tidak suka baca curhatan orang, silakan baca tulisan lain saja.

Siapa yang sudah pernah ditinggal nikah seseorang yang disukainya? Yang sudah pernah angkat tangan, yang belum pernah silakan angkat kaki! Hehehe... Alhamdulillaah, aku sudah pernah merasakannya. Tiga kali. Kalau saja ditinggal nikah itu seperti membeli deterjen, mungkin saat ini aku sudah mendapatkan piring, gelas, mangkok, atau payung, atau setidaknya sebuah ponsel pintar. Ngarep! Kenapa tiba-tiba bertanya tentang ‘ditinggal nikah’? Sebenarnya sudah pernah terlintas keinginan menulis tentang ini, tapi selalu kuurungkan tanpa alasan jelas. Karena beberapa hari yang lalu ada kawanku yang ditinggal nikah, aku jadi tergoda menulis tentang itu.

Kali pertama aku patah hati karena orang yang kusukai menikah (bukan denganku tentunya) adalah ketika aku sedang magang. Seseorang yang sering kuintip dari bawah pohon mangga di sore hari (ingat, dari bawah, bukan dari atas pohon mangga, aku bukan kuntilanak) ternyata menikah dengan kawanku sendiri. Bagaimana perasaanku saat itu? Tentu saja sedih. Tapi, melihat teman-teman dekatku begitu bersimpati dan berusaha menghiburku, aku jadi tak terlalu bersedih. Bahkan, aku bisa menertawakan nasibku yang ditinggal nikah. Saat itulah aku tahu betapa berartinya teman di masa sulit. Mereka yang sering kita lupakan di saat senang, datang menghibur kita di saat kita sedih.

Kamis, 05 Juli 2012

Membawa 'Pesan'

Ketika kita ‘membaca’ suatu karya, entah itu novel atau film atau apapun, yang bisa kita dapatkan adalah pesan atau nilai moral. Lalu, bagaimana apabila posisinya dibalik? Bagaimana ketika kita hendak membuat suatu karya, entah menulis cerita atau membuat naskah film? Idealnya kita harus punya ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan melalui karya tersebut. Suatu karya bisa menjadi media komunikasi dengan orang lain. Suatu alat untuk ‘berbicara’ dengan orang lain. Ketika kita menulis tanpa membawa ‘pesan’, sama saja seperti orang ngomong ngalor ngidul tidak jelas juntrungannya.

Memang, ada sebagian orang – entah yang dikaruniai kebijaksanaan luar biasa atau malah orang yang dikaruniai sifat detail yang rese – yang bisa menemukan ‘hikmah’ dari perkataan yang ngalor ngidul. Tapi, orang semacam ini tidak banyak. Tidak banyak orang yang bisa belajar dari hal yang memang tujuannya bukan untuk dipelajari. Misalkan ada beberapa orang menonton film yang ceritanya cuma berkisar cinta laki-laki dan perempuan yang gitu-gitu doang. Bisa jadi memang ada orang yang cukup bijaksana yang setelah menonton film itu dia jadi berpikir tentang perbedaan cinta sejati dan cinta yang semu. Yah, bisa jadi dia menjadikan cinta dalam film tersebut sebagai contoh cinta yang semu. Dan aku tidak yakin orang spesies itu banyak jumlahnya. Atau misalnya ada beberapa orang menonton film horor tentang pocong yang beranak di dalam kubur (ada gitu pocong beranak dalam kubur?). Mungkin akan ada yang jadi terinspirasi untuk membuat film tentang perlunya bidan di alam kubur. Mungkin juga akan ada yang berpikir betapa tidak logisnya film tersebut dan betapa film tersebut tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Dengan menonton film tersebut, dia pun jadi berpikir dan belajar memilah mana yang perlu dipercayai dan mana yang harus diingkari. Dan sekali lagi, aku tidak yakin orang seperti itu banyak.

'Membaca' Lebih Dalam

“Aku masih bingung, film The Seeker itu nilai moralnya apa, sih?” tanya kawanku. Hingga saat ini, cuma dia yang pernah bertanya nilai moral dari suatu film. Aku lupa, apakah dia pernah juga bertanya mengenai nilai moral dari novel yang kami baca. Yang jelas, dia mengajakku berpikir tentang pesan yang ingin disampaikan oleh seorang pencipta lewat karya-karyanya. Sebenarnya sangat menyenangkan mencari tahu pesan yang ingin disampaikan, entah oleh seorang penulis naskah, penulis novel, komikus, atau apalah.

Kegiatan mencari pesan membuatku ‘membaca’ lebih dalam. Dan proses ‘membaca’ itu bisa menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda. Seperti film The Seeker ini. Bisa jadi, ada yang menganggap bahwa pesan moral dari film tersebut adalah “kegelapan akan selalu dikalahkan oleh cahaya” atau dengan kata lain “kejahatan akan selalu dikalahkan oleh kebenaran” (hmm, agak kurang pas, sih, memasangkan kejahatan dan kebenaran). Klasik. Tapi, ada juga yang ‘menangkap’ nilai moral lain yaitu “kekuatan terbesar ada dalam diri kita sendiri” setelah melihat adegan ketika sang tokoh utama menyadari kekuatan di jiwanya.

Atau ketika kita menonton Lord of The Ring. Mungkin ada yang menangkap nilai moral klasik seperti dalam film The Seeker tadi “kejahatan akan selalu kalah”. Namun, ada juga yang ‘mencari’ nilai moral dengan menganalisis tokoh-tokohnya. Kenapa tugas sebesar itu justru dilakukan oleh makhluk bernama Hobbit, yang bahkan tidak ada di daftar makhluk dalam nyanyian para Ent? Kenapa justru dia yang berani mengambil tanggung jawab tersebut? Kenapa bukan manusia yang katanya cerdas? Kenapa bukan Gandalf, penyihir yang kuat dan luar biasa bijaksana? Kenapa bukan Ent yang tinggi besar? Kenapa bukan Elf? Dari sini dia menyimpulkan bahwa pesan moral film tersebut (atau novelnya) adalah bahwa “keberanian dan sifat kepahlawanan seseorang tidak diukur dari fisiknya”. Frodo Baggins, seorang hobbit, berhasil menyelamatkan Bumi Tengah sampai mendapat penghormatan dari ‘makhluk-makhluk’ lainnya. Everybody could be a hero. Seseorang yang kelihatannya lemah pun bisa jadi pahlawan.

Rabu, 04 Juli 2012

Itu Bukan Cinta, Nduk

Nduk... Kau tahu cinta itu apa? Cinta itu sulit untuk dijelaskan. Tapi, kita bisa membedakan mana yang benar-benar cinta mana yang hanya 'cinta' semu. Kalau kau mengaku mencintai seseorang, lalu semakin hari cintamu padanya semakin bertambah tanpa diiringi bertambahnya cintamu pada-Nya, itu bukan cinta.

Ketika kau merasa kau mencintainya, dan kau mencintai segala kelebihan dan kekurangannya, itu bukan cinta, Nduk. Ketika kau merasa biasa saja dengan kekurangannya tanpa membantunya dan memberinya semangat untuk menjadi lebih baik, itu bukan cinta, Nduk. Ketika kau melihatnya berbuat kesalahan tapi kau justru membiarkannya, itu bukan cinta, Nduk...

Nduk, apa yang kaulakukan ketika kau merasa jatuh cinta? Mendengarkan lagu cinta? Kalau perasaanmu padanya hanya membuatmu 'rajin' mendengarkan dan mendendangkan lagu cinta tapi membuatmu makin jarang membaca 'ayat cinta'-Nya, itu bukan cinta, Nduk...

Senin, 02 Juli 2012

Curanmor Edisi Mie Ayam

Nyong lagi seneng ngrungokna curanmor. Padahal, tah, kanca-kancane aku wis ribut curanmor awit jaman kuliah gemiyen. Tapi, nyong nembe ngrungokna curanmor tahun wingi. Jebule pancen lucu nemen. Ana sing ora patia lucu, sih. Tapi, ya, sekaline lucu bisa nggawe lara weteng. Akale sejen basane, soale curanmor nganggo basa Banyumasan, tapi tetep paham, lah, ceritane. Sing paling tak senengi sing Judule Mie Ayam, Tuker Kelamin, karo Kapal Belanda. Ora nggugu yen ceritane lucu? Kyeh! Rungokna dewek!
Aku sedang senang mendengarkan curanmor. Padahal teman-temanku sudah ribut curanmor sejak waktu kuliah dulu. Tapi, aku baru mendengarkan curanmor tahun lalu. Ternyata memang lucu sekali. Ada yang tidak terlalu lucu, sih. Tapi, ya, sekalinya lucu bisa membuat sakit perut. Meskipun beda bahasanya, karena curanmor menggunakan bahasa (dialek) Banyumasan, tapi tetap paham ceritanya. Yang paling kusukai judulnya Mie Ayam, Tukar Kelamin, dan Kapal Belanda. Tidak percaya kalau ceritanya lucu? Nih! Dengarkan sendiri!