Laman

Senin, 25 Juni 2012

Magnitudo 9: Kumpulan Kisah Inspiratif Pascabencana Jepang 2011

Buku dan kartu pos dari Mbak Yustha TT

Buku Magnitudo 9 ini hadiah giveaway dari Mbak Yustha TT. Buku ini merupakan hasil kerjasama antara Fahima (Forum Silaturahmi Muslimah) Jepang dan FLP (Forum Lingkar Pena) Jepang. Ternyata ada FLP di Jepang, toh... Baru tahu aku, hehehe... Awalnya aku mengira isinya pengalaman orang-orang Jepang yang mengalami gempa pada tahun 2011 silam. Ternyata, kontributor buku ini sebagian besar orang-orang Indonesia yang sedang tinggal di Jepang dan mengalami gempa tersebut. Setahuku cuma satu kontributor dari Jepang. Dari sekian banyak nama kontributor buku ini, ada satu penulis populer yang sudah banyak menelurkan (emangnya ayam?), maksudku menerbitkan buku. Penulis itu adalah Shofwan Al Banna. Dan tulisannya dalam buku ini termasuk favoritku. Dalam tulisannya dia menceritakan perbandingan cara media memberitakan bencana di negerinya masing-masing. Media Indonesia langsung memainkan lagu-lagu sendu seperti lagunya Ebiet G Ade dan mengekspos penderitaan yang menyayat hati serta menampilkan gambar mayat berserakan. Sedangkan media lebih sering membahas aspek penanggulangannya, seperti kondisi terakhir, daftar orang yang hilang, nomor yang harus dihubungi oleh korban atau keluarga korban, prediksi gempa susulan, serta informasi lainnya. Shofwan juga menceritakan bahwa di tengah kekhawatiran, masyarakat Jepang lebih memilih untuk memelihara optimisme. “Dulu juga Jepang pernah kena bom atom, kalah perang, dan miskin – kondisi yang jauh lebih parah dari ini” demikian kalimat yang dikutip Shofwan. Sejalan dengan motto Shofwan yang selalu percaya bahwa “kegelapan ada bukan untuk dikutuk tapi untuk dicahayai”. Optimisme yang juga sesuai dengan ayat Al-Qur’an: Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Optimisme dan positive thinking inilah yang perlu kita tiru.

Selain tulisan Shofwan Al Banna, ada satu tulisan yang menurutku unik yaitu tulisan Khoirul Anwar. Bukan isi ceritanya yang menarik perhatianku melainkan adanya catatan kaki yang menjelaskan istilah dan data yang dia gunakan. Kalau sumber datanya dari website, dia menyebutkan website-nya dan tanggal dia mengaksesnya. Serasa ingat skripsi. Sebenarnya memang begitulah tulisan ilmiah yang baik. Kalau sumbernya dari internet, harus disebutkan situs dan tanggal pengaksesan situs tersebut. Alasannya? Sebuah situs, isinya bisa berubah dengan mudah. Bisa jadi, ketika pembaca mengakses situs yang disebutkan, data yang dikutip bisa jadi sudah berubah.

Buku ini bukan cuma berisi ‘cerita’ pengalaman saat gempa melainkan juga ada informasi mengenai bagaimana mekanisme terjadinya gempa dan tsunami serta bagaimana menghadapinya, juga cara menolong korban. Juga ada informasi mengenai pendidikan tentang gempa di sekolah dan tempat penitipan anak di Jepang. Di tempat penitipan anak, sebulan sekali ada simulasi evakuasi yang terdiri atas tiga jenis: simulasi evakuasi akibat gempa, simulasi evakuasi akibat kebakaran, dan simulasi evakuasi akibat gempa yang disusul kebakaran. Sebulan sekali, Saudara-saudara! Di indonesia setahun sekali pun belum tentu. Bahkan, selama aku sekolah, sejak TK sampai lulus kuliah, tak pernah ada sekalipun simulasi semacam itu. Wajar saja kalau gempa hari Sabtu kemarin dengan mudahnya membuatku panik dan lututku lemas.

Di samping simulasi rutin, tempat penitipan anak dan sekolah-sekolah di Jepang juga memperkenalkan bencana serta penanggulangannya dengan media kamishibai alias pertunjukan dongeng bergambar. Jadi, dalam cerita bergambar tersebut diceritakan bagaimana terjadinya bencana dan langkah-langkah yang harus dilakukan, misalnya berlindung di bawah meja, mematikan kompor, dan sebagainya. Kamishibai yang diberikan sejak kecil dan terus-menerus ini membuat orang Jepang lebih siap menghadapi bencana. Sebagai negara yang juga rawan bencana, menurutku Indonesia juga perlu mengajarkan hal semacam ini. Dengan penyampaian yang ringan (dalam bentuk dongeng) dan terus menerus, hal tersebut akan lebih mudah tertanam dalam pikiran anak-anak sampai mereka dewasa.

Selain hal-hal yang kusebutkan di atas, masih banyak ‘pelajaran’ yang bisa kita ambil dari buku ini. Ada banyak cerita penuh hikmah dalam buku setebal 232 halaman ini. Oh, ya. Ada satu yang membuatku heran. Saat membaca buku ini aku bisa sampai menangis, padahal kalimat dalam buku ini tidak mendayu-dayu. Biasa saja. Namun, mungkin mereka menulisnya ‘dengan hati’, jadi pesan mereka pun ‘sampai ke hati’.

4 komentar:

  1. orang jepang memang paling siap dalam menghadapi gempa dibandingkan negara negara lain diseluruh dunia... semua sekolah sudah mengajarkan caranya... keren banget ya... semoga negara kita bsia seperti itu juga..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, patut dijadikan panutan dalam menghadapi bencana.

      Hapus
  2. Cool... dulu aku gempa, gak tau mau ngapain... malah ndekem di rumah. Padahal kan harusnya keluar... perlu banget tuh simulasi/perkenalan gempa...

    BalasHapus
  3. Ho'oh, Na. Kita yang gak pernah dikasih simulasi jadinya kaget dan gak tahu mau ngapain. Padahal, negara kita, kan, rawan gempa.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!