![]() |
Buku dan kartu pos dari Mbak Yustha TT |
Buku Magnitudo 9 ini hadiah giveaway dari Mbak Yustha TT. Buku ini
merupakan hasil kerjasama antara Fahima (Forum Silaturahmi Muslimah) Jepang dan
FLP (Forum Lingkar Pena) Jepang. Ternyata ada FLP di Jepang, toh... Baru tahu
aku, hehehe... Awalnya aku mengira isinya pengalaman orang-orang Jepang yang
mengalami gempa pada tahun 2011 silam. Ternyata, kontributor buku ini sebagian
besar orang-orang Indonesia yang sedang tinggal di Jepang dan mengalami gempa
tersebut. Setahuku cuma satu kontributor dari Jepang. Dari sekian banyak nama
kontributor buku ini, ada satu penulis populer yang sudah banyak menelurkan
(emangnya ayam?), maksudku menerbitkan buku. Penulis itu adalah Shofwan Al
Banna. Dan tulisannya dalam buku ini termasuk favoritku. Dalam tulisannya dia
menceritakan perbandingan cara media memberitakan bencana di negerinya
masing-masing. Media Indonesia langsung memainkan lagu-lagu sendu seperti
lagunya Ebiet G Ade dan mengekspos penderitaan yang menyayat hati serta
menampilkan gambar mayat berserakan. Sedangkan media lebih sering membahas
aspek penanggulangannya, seperti kondisi terakhir, daftar orang yang hilang,
nomor yang harus dihubungi oleh korban atau keluarga korban, prediksi gempa
susulan, serta informasi lainnya. Shofwan juga menceritakan bahwa di tengah
kekhawatiran, masyarakat Jepang lebih memilih untuk memelihara optimisme. “Dulu
juga Jepang pernah kena bom atom, kalah perang, dan miskin – kondisi yang jauh
lebih parah dari ini” demikian kalimat yang dikutip Shofwan. Sejalan dengan
motto Shofwan yang selalu percaya bahwa “kegelapan ada bukan untuk dikutuk tapi
untuk dicahayai”. Optimisme yang juga sesuai dengan ayat Al-Qur’an:
Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Optimisme dan positive thinking
inilah yang perlu kita tiru.
Selain tulisan Shofwan Al Banna, ada satu tulisan yang menurutku unik
yaitu tulisan Khoirul Anwar. Bukan isi ceritanya yang menarik perhatianku
melainkan adanya catatan kaki yang menjelaskan istilah dan data yang dia
gunakan. Kalau sumber datanya dari website, dia menyebutkan website-nya dan
tanggal dia mengaksesnya. Serasa ingat skripsi. Sebenarnya memang begitulah
tulisan ilmiah yang baik. Kalau sumbernya dari internet, harus disebutkan situs
dan tanggal pengaksesan situs tersebut. Alasannya? Sebuah situs, isinya bisa
berubah dengan mudah. Bisa jadi, ketika pembaca mengakses situs yang
disebutkan, data yang dikutip bisa jadi sudah berubah.
Buku ini bukan cuma berisi ‘cerita’ pengalaman saat gempa melainkan
juga ada informasi mengenai bagaimana mekanisme terjadinya gempa dan tsunami
serta bagaimana menghadapinya, juga cara menolong korban. Juga ada informasi
mengenai pendidikan tentang gempa di sekolah dan tempat penitipan anak di
Jepang. Di tempat penitipan anak, sebulan sekali ada simulasi evakuasi yang
terdiri atas tiga jenis: simulasi evakuasi akibat gempa, simulasi evakuasi akibat
kebakaran, dan simulasi evakuasi akibat gempa yang disusul kebakaran. Sebulan
sekali, Saudara-saudara! Di indonesia setahun sekali pun belum tentu. Bahkan,
selama aku sekolah, sejak TK sampai lulus kuliah, tak pernah ada sekalipun
simulasi semacam itu. Wajar saja kalau gempa hari Sabtu kemarin dengan mudahnya
membuatku panik dan lututku lemas.
Di samping simulasi rutin, tempat penitipan anak dan sekolah-sekolah
di Jepang juga memperkenalkan bencana serta penanggulangannya dengan media kamishibai alias pertunjukan dongeng
bergambar. Jadi, dalam cerita bergambar tersebut diceritakan bagaimana
terjadinya bencana dan langkah-langkah yang harus dilakukan, misalnya
berlindung di bawah meja, mematikan kompor, dan sebagainya. Kamishibai yang diberikan sejak kecil
dan terus-menerus ini membuat orang Jepang lebih siap menghadapi bencana.
Sebagai negara yang juga rawan bencana, menurutku Indonesia juga perlu
mengajarkan hal semacam ini. Dengan penyampaian yang ringan (dalam bentuk
dongeng) dan terus menerus, hal tersebut akan lebih mudah tertanam dalam
pikiran anak-anak sampai mereka dewasa.
Selain hal-hal yang kusebutkan di atas, masih banyak ‘pelajaran’ yang
bisa kita ambil dari buku ini. Ada banyak cerita penuh hikmah dalam buku
setebal 232 halaman ini. Oh, ya. Ada satu yang membuatku heran. Saat membaca
buku ini aku bisa sampai menangis, padahal kalimat dalam buku ini tidak
mendayu-dayu. Biasa saja. Namun, mungkin mereka menulisnya ‘dengan hati’, jadi
pesan mereka pun ‘sampai ke hati’.
orang jepang memang paling siap dalam menghadapi gempa dibandingkan negara negara lain diseluruh dunia... semua sekolah sudah mengajarkan caranya... keren banget ya... semoga negara kita bsia seperti itu juga..
BalasHapusYup, patut dijadikan panutan dalam menghadapi bencana.
HapusCool... dulu aku gempa, gak tau mau ngapain... malah ndekem di rumah. Padahal kan harusnya keluar... perlu banget tuh simulasi/perkenalan gempa...
BalasHapusHo'oh, Na. Kita yang gak pernah dikasih simulasi jadinya kaget dan gak tahu mau ngapain. Padahal, negara kita, kan, rawan gempa.
BalasHapus