“Terowongan ini tak ada ujungnya,” keluh Phyllis – dan memang, rasa-rasanya terowongan itu panjang sekali.“Jangan ngawur,” kata Peter tegas. “Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Yang penting, kita terus maju.”
![]() |
My Pinky Bear is reading The Railway Children |
Roberta, Peter, dan Phyllis adalah tiga
bersaudara yang tinggal bersama ibu mereka di Pondok Tiga Cerobong – begitulah
orang-orang menyebut tempat tinggal mereka yang memiliki tiga cerobong asap. Sebelumnya
mereka tinggal di rumah di pedesaan itu. Mereka sebelumnya tinggal di Vila
Edgecombe, di sebuah rumah yang indah dengan dinding bata merah dan
jendela-jendela besar menghadap ke kebun. Tak hanya rumah yang indah. Kehidupan
mereka pun menyenangkan. Mereka punya ibu yang selalu siap bermain dengan
mereka, membacakan cerita, dan membantu mereka menyelesaikan PR. Bila mereka
sedang sekolah, Ibu menulis cerita untuk mereka lalu membacakannya keras-keras
setelah acara minum teh di sore hari. Mereka juga punya ayah yang sempurna –
tak pernah marah, selalu adil, dan selalu siap diajak bermain – kalaupun tidak
siap diajak bermain, dia akan memberi alasan yang bagus dan menjelaskannya
dengan cara yang lucu dan menarik. Itu saja? Tentu tidak. Mereka juga selalu
memperoleh apa yang mereka inginkan: baju-baju bagus, perapian yang hangat,
kamar bermain yang penuh mainan, dan dinding kamar berlapis kertas dinding
bergambar tokoh-tokoh dongeng.
Mereka bahagia, tapi tidak menyadari
betapa bahagianya mereka sampai suatu saat kehidupan yang menyenangkan di Vila
Edgecombe itu terpaksa ditinggalkan. Malam itu, dua pria datang ke rumah mereka
untuk menemui Ayah. Hingga kemudian Ayah harus pergi bersama mereka – kata Ibu:
urusan dinas. Selama beberapa minggu Ibu jarang ada di rumah. Hingga kemudian
Ibu mengatakan pada anak-anak bahwa mereka akan pindah ke pedesaan. Ya, ke
Pondok Tiga Cerobong itulah mereka pindah. Bobbie – nama panggilan Roberta –
dan kedua adiknya berhenti sekolah sehingga mereka punya banyak waktu
bermain-main di sekitar stasiun kereta api. Ibu pun setiap hari mengurung diri
di kamar seharian untuk menulis cerita dan baru keluar pada waktu minum teh di
sore hari lalu membacakan cerita-cerita itu pada ketiga anaknya. Cerita-cerita
itu kemudian dikirim ke redaksi majalah. Ayah pun tak kunjung pulang.
Lalu, apakah ketiga anak itu ‘menyadari’
perubahan dalam hidup mereka. Tidak. Biarpun Ibu beberapa kali mengatakan bahwa
mereka sekarang miskin, mereka tidak ‘menyadarinya’. Mereka tidak kekurangan
makanan dan masih bisa mengenakan pakaian yang biasa mereka kenakan, begitu
pikir mereka. Hingga kemudian, di bulan Juni hujan deras tiga hari
berturut-turut dan udara sangat dingin. Mereka ingin menyalakan perapian tapi
Ibu melarang. “Kita tak perlu menyalakan perapian di bulan Juni – batubara
mahal sekali,” kata Ibu. Juga ketika minum teh sore dan Phyllis hendak
menambahkan selai di rotinya yang sudah diolesi mentega, Ibu berkata, “Selai
atau mentega, Sayang – bukan selai dan
mentega. Kita tak mampu bermewah-mewah lagi sekarang.” Kemudian Peter mendapat
akal. Dia ‘menambang’ batubara. Setidaknya dia menganggap bahwa yang dia
lakukan adalah menambang meskipun sebenarnya dia mengambil batubara dari
tumpukan yang ada di stasiun kereta api. Dia berhasil mengangkut hasil ‘tambang’-nya
ke rumah satu kali. Ketika dia akan ‘menambang’ lagi, dia tertangkap oleh
Kepala Stasiun. Peter bersikukuh bahwa yang dilakukannya adalah menambang,
bukan mencuri. Untungnya Kepala Stasiun melepaskannya. Setelah kejadian itu,
ketiga anak itu tidak berani bermain di sekitar stasiun lagi. Namun, setelah
Peter bertemu lagi dengan Kepala Stasiun lalu mengakui bahwa tindakannya waktu
itu salah, Kepala Stasiun berkata bahwa dia sudah melupakan kejadian itu. Sejak
itu, mereka pun kembali bermain-main di sekitar lintasan kereta api. Dan di
sanalah mereka mendapatkan teman-teman baru: Kepala Stasiun, Pak Perks – portir
stasiun, dan Pak Tua. Pak Tua ini adalah orang tua yang selalu naik si Naga
Hijau – julukan mereka untuk kereta pukul 09.15. Di sana pula petualangan-petualangan
mereka yang seru dimulai. Bertemu orang Rusia, merayakan ulang tahun Pak Perks,
menjadi pemadam kebakaran amatir, sampai menyelamatkan anak yang pingsan di
dalam terowongan kereta api.
Itu adalah sekilas cerita dalam novel The
Railway Children karya Edith Nesbith. Aku masih bingung dengan penerjemahan judulnya. The Railway Children diterjemahkan sebagai Anak-anak Kereta Api. Padahal, railway itu artinya rel kereta dan bukan kereta itu sendiri, kan? Bukankah mestinya diterjemahkan jadi Anak-anak Rel Kereta Api? Umm, memang kurang enak didengar, sih, kalau ditambahkan kata "rel". Ah, sudahlah. Novel ini merupakan novel klasik.
Tadinya ini adalah cerita berseri yang dimuat dalam The London Magazine selama
tahun 1905 dan dibukukan pada tahun 1906. Jadul sekali. Bahkan, lebih jadul
dari Emily of New Moon. Saat novel ini diterbitkan untuk pertama kalinya sepertinya
kakekku belum lahir. Adapun yang kubeli merupakan novel terbitan Gramedia
Pustaka Utama cetakan kedua (Juni 2010). Untuk isi ceritanya sendiri cukup
sederhana. Begitu pula bahasanya. Yah, namanya juga cerita anak-anak, masa mau
menggunakan bahasa yang njelimet?
Tapi, justru itu yang kusuka. Sederhana. Tapi, tetap banyak nilai moral yang
disampaikan. Meskipun tidak ada konflik yang menegangkan, aku tetap suka novel
ini. Ada empat belas bagian (atau bab?) dalam novel ini dan dalam masing-masing
bagian ada cerita. Ini yang membuatku pusing ketika menulis review-nya. Meringkas empat belas cerita
dalam satu artikel? Blaaah! Ya, sudah. Akhirnya, kutulis ringkasan cerita
awalnya saja.
Tokoh yang paling kusukai dalam novel ini
adalah Roberta alias Bobbie. Sebagai anak tertua, tentu saja Bobbie lebih ‘dewasa’
dibandingkan adik-adiknya – meskipun tetap saja dia masih anak-anak. Bobbie
sebenarnya tahu kalau ibunya sedang memiliki masalah. Dia tahu kalau ibunya
sedang bersedih tapi dia pura-pura tidak tahu. Dia juga tahu ketika ibunya
menangis. Pikirnya: Kalau Ibu tidak ingin kami tahu bahwa Ibu menangis, lebih
baik kami tidak tahu. Dia tidak banyak bertanya karena khawatir akan membuat
ibunya semakin sedih. Untuk ukuran anak kecil, Bobbie termasuk peka dan
bijaksana meskipun kadang tetap emosi ketika bertengkar dengan Peter. Pokoknya
Bobbie ini manis!
Oh, ya. Ada beberapa dialog yang kusuka.
Salah satunya adalah dialog makjleb antara
Ibu dan Peter. Begini dialognya:
“...Bu, maukah Ibu menulis cerita,
menulis buku tentang kami semua, tapi dalam cerita itu ditulis bahwa Ayah
segera pulang? Mau, Bu?”
“Tidakkah lebih baik kalau kita bayangkan
diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis oleh Tuhan? Kalau Ibu yang
menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi, kalau Tuhan yang jadi
Sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan
sebaik-baiknya – yang terbaik bagi kita semua.”
Jadi, bagaimana akhir cerita mereka?
Pulangkah Ayah mereka? Hmmm... Baca saja novelnya.
haduhh...pink bear....gak nguatin...
BalasHapusunyu kaaaaan :p
Hapusbuku terjemahan memang seringnya agak melenceng dari buku aslinya. Mungkin maksudnya agar mudah diterima...
BalasHapus**sering gak sreg dengan yang terjemahan..
saya sih jarang baca yang terjemahan jadi nggak tahu kalo banyak yang nggak pas. kalo di Emily of New Moon sih terjemahannya lumayan bagus.
HapusWaaaaaaaahhhh.. ini novel pertamaku waktu aku umur 12 tahun. Waktu itu covernya warna kuning dan gambarnya lebih bagus :D
BalasHapusWaktu baca itu, aku sempet mikir, enak banget ya ibunya dapet uang dari nulis artikel/cerpen di koran dan gimana komentarnya tiap kali naskahnya ditolak :D
Dan sempet kepikiran sop burung dara rasanya kayak apa.. eh ada sop burung dara kan ya kalo nggak salah? Udah lama sih bacanya :D
Kan ada tuh di ceritanya waktu naskah ibunya ditolak dan dia bilang "Satu naskah dikembalikan untuk dibakar", kira-kira gitu deh bilangnya.
HapusKalo di buku yang saya baca sih bilang pie burung dara, yang dibikin waktu si Peter sakit. Burung dara dibikin pie? Emmm, aneh ah :D
Oh iya pie. Mungkin burung daranya digiling kayak daging giling gitu, baru diolah *malah dibahas :D*
BalasHapusIya, kayaknya sih gitu. Etapi apa rasanya pie daging? Enakan juga pie apel ato pie strawberry :D
HapusIya, pie susu juga enak :D
BalasHapuspie susu keju mantap tuh! *napa malah jadi bahas pie???*
HapusHihihihi..
BalasHapus:p
Hapus