Laman

Minggu, 13 Januari 2013

The Railway Children: Novel Anak yang Sederhana

    “Terowongan ini tak ada ujungnya,” keluh Phyllis – dan memang, rasa-rasanya terowongan itu panjang sekali.
     “Jangan ngawur,” kata Peter tegas. “Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Yang penting, kita terus maju.”

My Pinky Bear is reading The Railway Children
Roberta, Peter, dan Phyllis adalah tiga bersaudara yang tinggal bersama ibu mereka di Pondok Tiga Cerobong – begitulah orang-orang menyebut tempat tinggal mereka yang memiliki tiga cerobong asap. Sebelumnya mereka tinggal di rumah di pedesaan itu. Mereka sebelumnya tinggal di Vila Edgecombe, di sebuah rumah yang indah dengan dinding bata merah dan jendela-jendela besar menghadap ke kebun. Tak hanya rumah yang indah. Kehidupan mereka pun menyenangkan. Mereka punya ibu yang selalu siap bermain dengan mereka, membacakan cerita, dan membantu mereka menyelesaikan PR. Bila mereka sedang sekolah, Ibu menulis cerita untuk mereka lalu membacakannya keras-keras setelah acara minum teh di sore hari. Mereka juga punya ayah yang sempurna – tak pernah marah, selalu adil, dan selalu siap diajak bermain – kalaupun tidak siap diajak bermain, dia akan memberi alasan yang bagus dan menjelaskannya dengan cara yang lucu dan menarik. Itu saja? Tentu tidak. Mereka juga selalu memperoleh apa yang mereka inginkan: baju-baju bagus, perapian yang hangat, kamar bermain yang penuh mainan, dan dinding kamar berlapis kertas dinding bergambar tokoh-tokoh dongeng.

Mereka bahagia, tapi tidak menyadari betapa bahagianya mereka sampai suatu saat kehidupan yang menyenangkan di Vila Edgecombe itu terpaksa ditinggalkan. Malam itu, dua pria datang ke rumah mereka untuk menemui Ayah. Hingga kemudian Ayah harus pergi bersama mereka – kata Ibu: urusan dinas. Selama beberapa minggu Ibu jarang ada di rumah. Hingga kemudian Ibu mengatakan pada anak-anak bahwa mereka akan pindah ke pedesaan. Ya, ke Pondok Tiga Cerobong itulah mereka pindah. Bobbie – nama panggilan Roberta – dan kedua adiknya berhenti sekolah sehingga mereka punya banyak waktu bermain-main di sekitar stasiun kereta api. Ibu pun setiap hari mengurung diri di kamar seharian untuk menulis cerita dan baru keluar pada waktu minum teh di sore hari lalu membacakan cerita-cerita itu pada ketiga anaknya. Cerita-cerita itu kemudian dikirim ke redaksi majalah. Ayah pun tak kunjung pulang.

Lalu, apakah ketiga anak itu ‘menyadari’ perubahan dalam hidup mereka. Tidak. Biarpun Ibu beberapa kali mengatakan bahwa mereka sekarang miskin, mereka tidak ‘menyadarinya’. Mereka tidak kekurangan makanan dan masih bisa mengenakan pakaian yang biasa mereka kenakan, begitu pikir mereka. Hingga kemudian, di bulan Juni hujan deras tiga hari berturut-turut dan udara sangat dingin. Mereka ingin menyalakan perapian tapi Ibu melarang. “Kita tak perlu menyalakan perapian di bulan Juni – batubara mahal sekali,” kata Ibu. Juga ketika minum teh sore dan Phyllis hendak menambahkan selai di rotinya yang sudah diolesi mentega, Ibu berkata, “Selai atau mentega, Sayang – bukan selai dan mentega. Kita tak mampu bermewah-mewah lagi sekarang.” Kemudian Peter mendapat akal. Dia ‘menambang’ batubara. Setidaknya dia menganggap bahwa yang dia lakukan adalah menambang meskipun sebenarnya dia mengambil batubara dari tumpukan yang ada di stasiun kereta api. Dia berhasil mengangkut hasil ‘tambang’-nya ke rumah satu kali. Ketika dia akan ‘menambang’ lagi, dia tertangkap oleh Kepala Stasiun. Peter bersikukuh bahwa yang dilakukannya adalah menambang, bukan mencuri. Untungnya Kepala Stasiun melepaskannya. Setelah kejadian itu, ketiga anak itu tidak berani bermain di sekitar stasiun lagi. Namun, setelah Peter bertemu lagi dengan Kepala Stasiun lalu mengakui bahwa tindakannya waktu itu salah, Kepala Stasiun berkata bahwa dia sudah melupakan kejadian itu. Sejak itu, mereka pun kembali bermain-main di sekitar lintasan kereta api. Dan di sanalah mereka mendapatkan teman-teman baru: Kepala Stasiun, Pak Perks – portir stasiun, dan Pak Tua. Pak Tua ini adalah orang tua yang selalu naik si Naga Hijau – julukan mereka untuk kereta pukul 09.15. Di sana pula petualangan-petualangan mereka yang seru dimulai. Bertemu orang Rusia, merayakan ulang tahun Pak Perks, menjadi pemadam kebakaran amatir, sampai menyelamatkan anak yang pingsan di dalam terowongan kereta api.

Itu adalah sekilas cerita dalam novel The Railway Children karya Edith Nesbith. Aku masih bingung dengan penerjemahan judulnya. The Railway Children diterjemahkan sebagai Anak-anak Kereta Api. Padahal, railway itu artinya rel kereta dan bukan kereta itu sendiri, kan? Bukankah mestinya diterjemahkan jadi Anak-anak Rel Kereta Api? Umm, memang kurang enak didengar, sih, kalau ditambahkan kata "rel". Ah, sudahlah. Novel ini merupakan novel klasik. Tadinya ini adalah cerita berseri yang dimuat dalam The London Magazine selama tahun 1905 dan dibukukan pada tahun 1906. Jadul sekali. Bahkan, lebih jadul dari Emily of New Moon. Saat novel ini diterbitkan untuk pertama kalinya sepertinya kakekku belum lahir. Adapun yang kubeli merupakan novel terbitan Gramedia Pustaka Utama cetakan kedua (Juni 2010). Untuk isi ceritanya sendiri cukup sederhana. Begitu pula bahasanya. Yah, namanya juga cerita anak-anak, masa mau menggunakan bahasa yang njelimet? Tapi, justru itu yang kusuka. Sederhana. Tapi, tetap banyak nilai moral yang disampaikan. Meskipun tidak ada konflik yang menegangkan, aku tetap suka novel ini. Ada empat belas bagian (atau bab?) dalam novel ini dan dalam masing-masing bagian ada cerita. Ini yang membuatku pusing ketika menulis review-nya. Meringkas empat belas cerita dalam satu artikel? Blaaah! Ya, sudah. Akhirnya, kutulis ringkasan cerita awalnya saja.

Tokoh yang paling kusukai dalam novel ini adalah Roberta alias Bobbie. Sebagai anak tertua, tentu saja Bobbie lebih ‘dewasa’ dibandingkan adik-adiknya – meskipun tetap saja dia masih anak-anak. Bobbie sebenarnya tahu kalau ibunya sedang memiliki masalah. Dia tahu kalau ibunya sedang bersedih tapi dia pura-pura tidak tahu. Dia juga tahu ketika ibunya menangis. Pikirnya: Kalau Ibu tidak ingin kami tahu bahwa Ibu menangis, lebih baik kami tidak tahu. Dia tidak banyak bertanya karena khawatir akan membuat ibunya semakin sedih. Untuk ukuran anak kecil, Bobbie termasuk peka dan bijaksana meskipun kadang tetap emosi ketika bertengkar dengan Peter. Pokoknya Bobbie ini manis!

Oh, ya. Ada beberapa dialog yang kusuka. Salah satunya adalah dialog makjleb antara Ibu dan Peter. Begini dialognya:
“...Bu, maukah Ibu menulis cerita, menulis buku tentang kami semua, tapi dalam cerita itu ditulis bahwa Ayah segera pulang? Mau, Bu?”
“Tidakkah lebih baik kalau kita bayangkan diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis oleh Tuhan? Kalau Ibu yang menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi, kalau Tuhan yang jadi Sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan sebaik-baiknya – yang terbaik bagi kita semua.”

Jadi, bagaimana akhir cerita mereka? Pulangkah Ayah mereka? Hmmm... Baca saja novelnya.

12 komentar:

  1. haduhh...pink bear....gak nguatin...

    BalasHapus
  2. buku terjemahan memang seringnya agak melenceng dari buku aslinya. Mungkin maksudnya agar mudah diterima...

    **sering gak sreg dengan yang terjemahan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sih jarang baca yang terjemahan jadi nggak tahu kalo banyak yang nggak pas. kalo di Emily of New Moon sih terjemahannya lumayan bagus.

      Hapus
  3. Waaaaaaaahhhh.. ini novel pertamaku waktu aku umur 12 tahun. Waktu itu covernya warna kuning dan gambarnya lebih bagus :D
    Waktu baca itu, aku sempet mikir, enak banget ya ibunya dapet uang dari nulis artikel/cerpen di koran dan gimana komentarnya tiap kali naskahnya ditolak :D
    Dan sempet kepikiran sop burung dara rasanya kayak apa.. eh ada sop burung dara kan ya kalo nggak salah? Udah lama sih bacanya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan ada tuh di ceritanya waktu naskah ibunya ditolak dan dia bilang "Satu naskah dikembalikan untuk dibakar", kira-kira gitu deh bilangnya.

      Kalo di buku yang saya baca sih bilang pie burung dara, yang dibikin waktu si Peter sakit. Burung dara dibikin pie? Emmm, aneh ah :D

      Hapus
  4. Oh iya pie. Mungkin burung daranya digiling kayak daging giling gitu, baru diolah *malah dibahas :D*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kayaknya sih gitu. Etapi apa rasanya pie daging? Enakan juga pie apel ato pie strawberry :D

      Hapus
  5. Balasan
    1. pie susu keju mantap tuh! *napa malah jadi bahas pie???*

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!