Laman

Sabtu, 29 Desember 2012

Kenangan PMB yang Manis

Semarang. Setelah Brebes dan Tegal, Semarang merupakan kota yang (sempat) menjadi rumahku. Aku sempat beberapa kali ke Semarang, sempat tinggal di sana selama sekitar sepuluh hari, dan sempat beberapa kali tersesat juga di sana. Mungkin karena itulah aku merasa Semarang sudah seperti rumahku, biarpun aku tidak terlalu mengenal setiap sudut kota tersebut.

Dulu, Semarang termasuk kota yang jauh menurutku. Sebelumnya jangkauanku cuma sekitar Brebes-Tegal saja. Bahkan, untuk Kabupaten Brebes pun yang sering kukunjungi cuma sekitar Kecamatan Brebes. Jadi, pergi ke Semarang benar-benar terasa sesuatu banget.

Ada banyak pengalaman "asem manis" di Semarang. Pernah aku dan mbakku 'thawaf' dari daerah sekitar RS Karyadi ke daerah sekitar RS Bhakti Wiratamtama, lanjut ke sekitaran Tugu Muda, sampai Bergota. Itu pengalaman asemnya. Kalau pengalaman manisnya... Begini ceritanya... Hari itu aku datang ke Semarang untuk kesekian kalinya. Mbak Yayu -- mahasiswa yang kukenal sewaktu daftar ulang setelah dinyatakan lulus SPMB -- mengantarku ke kontrakan kawannya di kawasan Tembalang untuk ditampung sementara (maklum, anak terlantar jadi perlu ditampung). Nama kontrakannya Tsabita. Bapakku langsung bergumam bahwa Tsabita itu artinya teguh. Hari itu seharusnya aku mengikuti apel PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) -- semacam OPSPEK -- di Undip. Tapi, aku tidak mengikuti apel karena baru datang dan baru mendapatkan tempat tinggal siang harinya. Keesokan harinya aku juga tidak bisa mengikuti PMB hari pertama di Fakultas Teknik karena harus tes kesehatan untuk masuk STIS. Mbak Yayu pun menyarankan untuk membuat surat izin untuk tidak mengikuti PMB. Awalnya aku berniat membuat alasan palsu dalam surat izin tersebut. Aku awalnya hendak menyebutkan kalau aku tidak mengikuti PMB karena sakit. Tapi, Mbak Yayu menyuruhku menyebutkan alasan sebenarnya di surat izin bahwa aku tidak mengikuti PMB karena harus tes kesehatan. "Mereka akan menghargai kalau kamu jujur," begitu katanya. Aku pun menurut.


Kamis, 27 Desember 2012

Escape Over The Himalayas: Perjuangan Anak-anak Tibet Menaklukkan Himalaya

Aku mengirim anakku ke India karena.. aku tidak pernah mengenyam pendidikan. Dan susah untuk menjalani kehidupan normal tanpa bisa membaca dan menulis. Semua orang punya masalah. Sebagai perempuan yang hidup sederhana, aku juga tidak punya uang untuk menyekolahkan anakku. Itulah alasanku mengapa aku mengirim jauh buah hatiku. Setelah ia pergi jauh, yang bisa aku lakukan hanyalah melihat fotonya dan menangis.
--Seorang ibu dari Tibet

Gambar pinjam di sini
Ini merupakan kisah nyata perjalanan enam orang anak Tibet melintasi Himalaya. Enam orang anak yang berasal dari provinsi-provinsi yang berbeda di Tibet. Enam orang anak dengan latar belakang berbeda tapi menuju satu tempat yang sama: Dharamsala, India Utara. Mereka adalah Pema Kecil, Tamding, Chime, Dholker, Dhondup, dan Lhakpa.

Pema Kecil, gadis kecil berumur tujuh tahun dari Provinsi Kham. Pema Kecil sering dipukuli oleh ayahnya yang pemabuk. Hingga suatu hari Pema Kecil tanpa sengaja menumpahkan teh ke tubuh ayahnya. Ayahnya marah lalu menganiaya Pema Kecil secara membabi buta. Kaki kirinya patah. Ibunya membawanya ke amchi (semacam tabib/dokter). Setelah amchi mengobati kaki Pema Kecil, sang ibu menanyakan kemungkinan kesembuhan kaki putrinya dan kemungkinan bila putrinya menempuh perjalanan jauh. Saat itulah amchi menyadari bahwa ibu Pema Kecil sudah berencana mengirim putrinya ke Dharamsala. Sayangnya ibu Pema Kecil tidak sanggup membayar pemandu. Amchi kemudian memberitahukan bahwa cucunya juga akan dikirim ke Dharamsala. Dia menyarankan agar Pema Kecil pergi bersama Dhondup, cucunya, dan Nima, pemandunya.

Tamding, anak laki-laki berumur sepuluh tahun dari Provinsi Amdo. Dia adalah anak ketiga. Di Tibet, tiap keluarga hanya boleh memiliki dua orang anak. Bila satu keluarga memiliki anak lebih dari dua, mereka harus membayar pajak yang tinggi. “Karena anak ketiga” Amala harus mengenakan Chuba tipis yang sama itu bertahun-tahun lamanya. “Karena anak yang ketiga” ada kerutan kekhawatiran yang mendalam di antara kedua alis Paala. “Karena anak yang ketiga” mereka tidak mampu membeli obat-obatan untuk Kakek. “Karena anak yang ketiga” anak pertama dan anak kedua tidak bisa makan kenyang. Tidak ada yang mengatakan semua itu, tapi Tamding yang memikirkan dan merasakannya. Hingga ketika ayahnya menjual domba-domba miliknya, Tamding tahu bahwa salah satu dari ia dan kedua saudaranya akan dikirim ke Dharamsala. Ia pun menemui ayahnya dan berkata, “Kirim aku pergi, Paala.”

Selasa, 25 Desember 2012

Kisah Sang Penandai: Dongeng Sang Pencinta Sejati

Gambar pinjam di sini
...bahwa cinta adalah kata kerja, dan sebagai kata kerja jelas ia membutuhkan tindakan-tindakan, bukan sekadar perasaan-perasaan.

Hari itu, tanggal tujuh, bulan tujuh, pukul tujuh, Jim dan Nayla, kekasihnya, berjanji untuk bertemu di taman kota. Sayangnya, alih-alih bertemu dengan kekasihnya, Jim justru mendapat berita buruk: Nayla bunuh diri. Dia tidak mau dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Ketika Jim sedang ‘menikmati’ patah hatinya di bangku taman, dia bertemu dengan seorang lelaki yang mengaku sebagai Sang Penandai. “Akulah Sang Penandai, yang menceritakan pertama-kali dongeng-dongeng tersebut dengan tanganku. Menjaganya tetap abadi sepanjang masa. Dan yang lebih penting lagi, membuat dongeng-dongeng baru yang dunia butuhkan,” begitu kata lelaki itu. Dia juga mengatakan bahwa dia memilih Jim untuk ‘membuat’ dongeng (lebih tepatnya menjadi aktor dalam salah satu dongeng). Katanya, “Aku ingin kau hanya mempercayai satu kalimat saja: pecinta sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya. Hanya itu. Dan sisanya, serahkanlah kepada waktu. Biarlah waktu yang menyelesaikan bagiannya. Maka dunia akan mendengarkan dongeng baru tentang cinta yang indah. Jim, dunia membutuhkan dongeng tersebut. Kaulah yang akan membuatnya.” Lalu, lelaki itu pun pergi, lenyap bersama formasi terbang ribuan capung.

Di upacara pemakaman Nayla, lelaki itu datang lagi. Dia kembali ‘mengganggu’ Jim. Mengusik Jim yang tak kunjung punya keberanian untuk ‘menyusul’ Nayla, bunuh diri. Dia kembali membahas dongeng yang akan ‘dijalani’ Jim. Dia menyuruh Jim untuk ikut Armada Kota Terapung yang akan menuju Tanah Harapan. Ketika perjalanan laut terhenti tak bisa disambung lagi, di tempat ketika Armada Kota Terapung memutar kemudi kembali ke kota ini, di situlah kau akan menemukan ujung dongengmu. Dan lagi-lagi Sang Penandai lenyap usai menjelaskan tentang dongeng itu.

Tentang Ngapak

Pernah melihat orang berbicara dengan logat ngapak dalam sinetron atau film? Aku sering. Dan jujur aku tidak suka. Seringnya, dalam sinetron orang berlogat ngapak ini digambarkan sebagai orang ndeso. Tapi, itu bukan masalah besar. Sebagai salah satu penutur Bahasa Jawa dengan logat ngapak – lebih tepatnya dialek Tegalan – aku tidak masalah dianggap ndeso. Toh, orang yang tidak ndeso belum tentu lebih cakep dan lebih keren dibandingkan orang ndeso, hehehe..

Yang membuatku tidak nyaman adalah cara para aktor dan aktris menggunakan logat ngapak. Biasanya, mereka berlebihan. Lebay. Misalnya dalam melafalkan huruf “k” dan “g” biasanya terlalu tebal. Kalau dalam Bahasa Arab seperti menggunakan qolqolah kubro. Padahal, setahuku orang-orang di wilayah Tegal dan Brebes tidak segitunya. Jadinya kalau melihat para aktor dan aktris menggunakan logat ngapak malah terkesan wagu (aneh). Membuatku ingin berkomentar seperti celetukan khas SKETSA: “Nggak gitu gitu juga kaleee!” Kalau diperhatikan, memang tidak banyak non-ngapaker yang bisa berbahasa ngapak secara luwes. Biasanya terdengar kaku.

Senin, 24 Desember 2012

Yang Ganjil dalam Drama/Film Korea

Semakin sering kita melihat dan memperhatikan satu hal, semakin besar kemungkinan kita melihat keanehan pada hal tersebut. Seperti saat ini. Karena sering menonton drama Korea, aku jadi sensitif dalam menemukan hal aneh, tidak logis, ataupun hal yang mungkin logis tapi tetap tak kusukai.

Hal ganjil pertama dari drama Korea yang tak kusukai adalah adegan minum minuman keras. Asli, ini adalah adegan yang tidak boleh ditiru. Hampir dalam semua drama dan film Korea ada adegan minum minuman beralkohol, baik bir, soju, wine, dan entah apa lagi namanya. Apalagi kalau tokoh utama sedang merasa galau, sedih, patah hati, akan digambarkan dia sedang minum berkaleng-kaleng bir atau bergelas-gelas – bahkan, mungkin berbotol-botol – soju. Sampai, di salah satu film yang kutonton tokohnya mengatakan bahwa minum soju adalah obat yang paling mujarab untuk patah hati. Aduh, aduh... Kenapa mesti soju? Kenapa mesti minuman beralkohol? Kenapa bukan minum susu? Kenapa bukan jus wortel atau sirsak atau stroberi? Kenapa bukan makan es krim? Kenapa bukan makan sop buah? Padahal, kan, minuman beralkohol justru tidak baik untuk kesehatan hati. Kenapa malah dijadikan ‘obat’ untuk hati? Kenapa? Kenapaaah?

Rabu, 19 Desember 2012

Terlalu 'Peduli'

Sepertinya manusia merupakan makhluk yang memiliki tingkat kepedulian yang sangat tinggi terhadap sesamanya. Tidak percaya? Mau bukti? Dua tahun lalu, ketika ada pasangan artis yang bercerai, banyak orang yang berkomentar. Ada yang dengan entengnya berkata, "Itu pasti salah istrinya. Suaminya, kan, laki-laki baik-baik." Ada juga yang berkata, "Itu pasti karena uang. Penghasilan istrinya lebih besar dari penghasilan suaminya. Istrinya jadi berani menentang suami." Dan masih ada beberapa komentar lainnya. Apa mereka yang berkomentar itu kenal dekat pasangan artis tersebut? Apa mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga pasangan artis tersebut? Tidak. Lihatlah! Kenal juga tidak. Tahu duduk perkaranya pun tidak. Tapi, mereka masih begitu peduli pada masalah pasangan tersebut, bahkan dengan begitu baik hati menyampaikan pendapat mereka. Ah, lebih tepatnya tuduhan mereka. Mereka benar-benar peduli, kan?

Akhir-akhir ini juga manusia menunjukkan kepeduliannya pada sesamanya yang katanya bupati dan katanya menikah dengan anak di bawah umur. Banyak yang tertawa. Banyak pula yang ribut mendesaknya untuk melepaskan jabatannya saat ini. Tapi, tak sedikit pula yang mendukung. Ah, seseorang yang tadinya sama sekali tak dikenal, mendadak membuat begitu banyak orang peduli padanya. Sampai ada yang rela metani undang-undang yang berkaitan dengan masalahnya. Bahkan ada yang sampai rela mencari-cari ayat di kitab suci baik untuk mendukung maupun menentangnya. Beruntung sekali dia.

Sabtu, 15 Desember 2012

Guilty Pleasure: Ababil 26

Dua puluh enam. Usia yang (menurutku) sudah terlalu tua, setidaknya terlalu tua untuk berteriak-teriak ketika melihat artis favorit, "Marry me!!!" Usia 26 sudah terlalu tua untuk ngubek-ubek toko DVD (bajakan) demi membeli DVD drama Korea. Dan sayangnya, di usiaku yang sudah 26 tahun aku masih melakukannya. Iya, bulan lalu aku membeli beberapa DVD (bajakan) drama Korea, itu pun masih ditambah DVD milik kawanku yang kusalin (copy) ke harddisk eksternalku. Serasa seperti remaja alay. Malu? Iya. Senang? Iya juga. Hehehe! Mungkin ini yang dibilang guilty pleasure. Sesuatu yang kalau dilakukan bisa membuat pelaku merasakan guilty sekaligus pleased. Sebagian hati merasa sedikit bersalah, malu, beranggapan bahwa sudah bukan masanya melakukan hal seperti itu. Semua tingkah itu sudah pernah kulakukan sewaktu aku masih SMA, masih ABG. Dulu, melakukan semua itu bukanlah hal yang memalukan. Tapi, melakukannya sekarang? Err, rasanya malu. Sudah tidak pantas. Namun, sebagian hati yang lain menikmatinya. Harus kuakui bahwa ada rasa "seru" ketika ngubek-ubek toko mencari DVD, searching sinopsis drama di internet, searching lirik soundtrack-nya, sampai searching biodata pemainnya. Dan menontonnya pun tak kalah "seru". Geregetan karena penasaran dengan ceritanya, tertawa sampai sakit perut karena ceritanya yang lucu, terharu kalau ada scene romantis, pokoknya nano nano. Sampai rela begadang hingga pukul empat pagi demi menonton hingga episode terakhir.

Selasa, 11 Desember 2012

Olok-olok Bahasa Negeri Tetangga

Hari ini ada beberapa kawanku di Facebook yang membagikan (share) status lelucon tentang perbandingan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia (Melayu). Sebenarnya lelucon ini sudah tergolong basi karena sudah pernah kudengar beberapa bulan lalu, bahkan sebagian sudah pernah kudengar beberapa tahun lalu. Dulu, aku tidak begitu peduli. Aku hanya menganggapnya sebagai lucu-lucuan saja. Tapi, hari ini aku merasa tidak nyaman melihatnya. Aku memikirkan bagaimana apabila situasinya dibalik, orang Malaysia membuat lelucon tentang Bahasa Indonesia. Ssebagai orang Indonesia, sudah tentu aku akan marah. Jadi, aku pun berasumsi bahwa orang Malaysia akan marah bila membaca lelucon tersebut. Aku juga teringat pada satu prinsip "kalau tidak mau dicubit, jangan mencubit". Kalau berani mencubit, berarti siap untuk dicubit. Bukan mustahil bila orang yang kita cubit akan balas mencubit kita. Dalam kasus ini, jangan mengolok-olok kalau tidak mau diolok-olok.

Aku tidak tahu alasan orang-orang yang membuat lelucon tersebut. Sekadar untuk lucu-lucuan? Sebenarnya melucu sama sekali tidak identik dengan mencela. Kita masih bisa melontarkan lelucon yang benar-benar lucu tanpa mencela pihak lain. Terlebih lagi, yang dicela dalam lelucon ini bukan hanya perseorangan melainkan suatu bangsa. Bahasa adalah salah satu identitas suatu bangsa. Mencela suatu bahasa bukankah sama juga dengan mencela suatu bangsa? Lagipula, besar kemungkinan kita akan menemukan 'keanehan' dalam setiap bahasa yang bukan bahasa ibu kita. Misalnya dalam Bahasa Arab ada kata "tay'asu" yang artinya "berputus asa". Kalau dalam Bahasa Jawa, kata itu bisa diartikan "kotoran anjing". Mungkin lucu. Tapi, bolehkah kita menjadikannya sebagai bahan olok-olok yang mencela Bahasa Arab? Apakah alasan 'sekadar lucu-lucuan' bisa dijadikan pembenaran atas perbuatan mengolok-olok bahasa milik bangsa lain? Menurutku tidak. Rasanya tidak etis.

Jumat, 07 Desember 2012

Pesta Durian yang Impulsif

Siang ini aku, R, dan M (nama dirahasiakan demi nama baik, hehehe) pergi ke Panton Raya untuk makan siang. Tak dinyana, di sana juga ada seorang bapak yang menjual durian. Baunya yang harum menggoda R. Tapi, kami masih belum tergiur untuk membeli. Akhirnya kami pun makan siang. R dan M makan mi kuning rebus pakai telur sedangkan aku makan es buah dilanjutkan makan mi instan rebus pakai telur. Iya, aku tahu, aku kemaruk.

Setelah selesai makan, R mengajak untuk membeli durian. Berhubung aku sudah makan buah dan mi, aku pun menolak. Ceritanya masih sok kenyang. Kami pun leyeh-leyeh sebentar. Kemudian, R kembali mengajak membeli durian. Aku merasa perutku sudah tidak terlalu kenyang sehingga aku pun menjawab, "Ya, udah, beli aja." Kami pun kemudian mengutus M untuk melakukan tawar-menawar dengan si bapak penjual durian. Ternyata, sepuluh ribu dapat tiga, tapi duriannya kecil. Kalau yang agak besar harganya lima ribu rupiah. Deal, kami membeli tiga durian yang kecil. Bapaknya yang membelah durian, dan kami tinggal makan. Tiga durian untuk tiga orang. Awalnya R malu karena melihat ada beberapa cowok di warung tersebut. Sudah makan mi rebus, masih juga makan durian, begitu katanya. Kelihatan sekali betapa rakusnya kami. Tapi, aku menggunakan motto lamaku, "Ngapain malu? Nggak kenal ini." Dan aku menambahkan dengan motto baru, "Nggak usah malu. Cowoknya nggak cakep. Kalo cowoknya cakep, baru kita perlu jaim (jaga image)."

Duriaaan!

Rabu, 05 Desember 2012

Jajan sing Wis Ora Ungsum

Yen dieling-eling, akeh jajan sing saiki wis ora ungsum. Lugune tah awit aku cilik ya wis ora ungsum, ning esih ana sing dodol. Tapi, saiki kayane wis laka sing dodol blas. Contone opak idu. Lagi aku SD ana sing dodol jajan kiye nang ngarep sekolahan. Sing dodol wis tuwa, nini-nini. Opak idu bentuke kaya krupuk persegi panjang, warnane yen ora salah abang karo kuning. Nggawene ya dudu digoreng tapi dibakar nganggo areng. Pas dibakar, opake dijepit nganggo pring sing tipis (pokoke kaya kuwe, lah). Sing maune cilik, yen dibakar langsung megar. Bocah-bocah tah gemiyen senenge njajal mbakar dewek. Yen aku njajal mbakar dewek biasane ora patia megar, rada-rada kisut. Tuli bisane diarani opak idu? Mbuh kuwe. Ndean tah karna yen opake diemut langsung lumer dadi idu. Kuwe tah ndeaaan... Rasane manis. Mbuh bahane nganggo apa. Yen dirasa-rasa tah kayane ana tepung ketane.

Selasa, 04 Desember 2012

Rindu yang Menderas

Kau tahu aku rindu
Aku tahu kau lebih rindu

Rindu kita berbeda
Rinduku seperti rinai hujan
menitik, menderas, lalu reda
Rindumu seperti sinar matahari
meski kadang tertutup gelap, sesungguhnya rindumu tetap ada
kau hanya menyimpannya
agar rindu itu tak menyilaukanku

Dulu, katamu aku boleh pulang ketika hari rembang petang
Kini, hari belum lagi petang
Tapi, rindu ini telah menderas
sederas hujan di bulan Desember
dan aku takut rindu ini akan segera mereda
hingga aku lupa pada rinduku sendiri
bahkan, mungkin lupa padamu

Rindu yang menderas ini
sungguh membuatku ingin menjadi air
lalu menguap
naik ke atas
terus ke atas
mengembun
menjadi awan
lalu terbang ke atas rumahmu
menjadi hujan
dan perlahan menitik padamu
Entah di mana aku akan menitik
Di rambutmu yang memutih kah?
Di kulit tanganmu yang kian keriput kah?
Ah, lebih baik aku menitik di hatimu
bersembunyi di sana
dan tak pernah pergi lagi
bolehkah?