Laman

Minggu, 06 Mei 2012

Tentang Fanatisme

Dalam beberapa berita yang berbau agama (kadang juga berita biasa yang anehnya dihubung-hubungkan dengan masalah agama) ada komentator yang berkomentar SARA. Terhadap komentator SARA tersebut biasanya ada komentator lain yang menanggapi dengan kalimat “Jangan fanatik. Jangan menganggap agama sendiri yang paling benar”. Aku sangat tidak setuju pada komentator SARA. Tapi, aku lebih tidak setuju pada kalimat yang melarang orang untuk menganggap agamanya sebagai yang paling benar. Kenapa? Karena hal itu sangat tidak logis. Bagaimana kita bisa memutuskan untuk menganut suatu agama sementara kita tidak menganggap ajaran agama kita sebagai yang paling benar? Lantas, apa alasan kita menganut ajaran tersebut? Suka-suka? Agama adalah PEDOMAN HIDUP. Bagaimana mungkin kita memilih suatu pedoman hidup sedangkan kita tidak yakin akan kebenarannya. Berlebihan bila kita melarang seseorang menganggap ajaran agamanya yang paling benar untuk alasan toleransi. Bagiku, toleransi cukup dengan ayat terakhir dari surat Al Kaafiruun “Untukmu agamamu, untukku agamaku”. Saling menghormati dan tidak saling mengganggu antarumat agama.

Kadang ada juga yang mengatakan bahwa semua agama benar. Hmm... Asli, ini benar-benar membingungkan. Ajaran-ajaran antaragama yang seringkali saling bertentangan bisa dianggap benar semua. Apa mungkin dua hal yang bertentangan bisa dianggap benar semua? Misal, ini misal, lho, yaaa... No offense! Tokoh X di agama A dianggap Tuhan sedangkan di agama B dianggap nabi, apakah kedua ajaran tersebut dianggap benar? MUSTAHIL menganggap keduanya benar. Umat agama A akan menganggap ajaran B salah, begitu pun sebaliknya, umat agama B akan menganggap ajaran agama A salah. Setiap umat agama wajar saja menganggap agamanya yang paling benar dan wajar bila bersikap fanatik, selama tidak mengganggu umat agama lain. Apakah perlu  menganggap semua agama benar untuk alasan pluralisme? Ini lebih aneh. Plural itu artinya beragam. Bukankah dalam pluralisme mestinya diajarkan untuk bijak menyikapi keberagaman? Maka, biarkanlah keberagaman itu tetap sebagaimana adanya. Tak perlu memaksakan untuk menganggap semuanya benar. Nanti malah ujung-ujungnya bukan pluralisme lagi melainkan homogenisme karena kita dituntut memiliki pemikiran yang homogen bahwa semua agama benar. Biarlah tetap berbeda, biarlah tetap meyakini agama yang dianut sebagai yang paling benar,yang penting saling menghormati. Lagi-lagi, pedomannya “untukmu agamamu, untukku agamaku”.

Lagipula, kenapa belakangan ini di media lebih banyak yang mempermasalahkan umat agama yang dianggap fanatik dibandingkan mempermasalahkan mereka yang sudah meninggalkan ajaran agama (yang tindakannya seperti orang tidak beragama)? Aku yang ilmu agamanya cetek saja merasa bahwa itu aneh. Tapi, kok, para tokoh yang katanya ilmu agamanya mumpuni sepertinya tidak menganggap itu sebagai keanehan. Ah, sudahlah. Tak perlu dipikirkan. Yang penting memperdalam ilmu agama masing-masing dan mengamalkannya (nasihat untuk diri sendiri agar lebih rajin belajar agama).


NB: Surat Al Kaafiruun sebenarnya lebih berkaitan dengan aqidah karena asbabun nuzul-nya peristiwa ketika Rosululloh ditawari menganut agama kaum Quraisy selama setahun lalu kemudian kaum Quraisy akan mengikuti agama Islam selama setahun berikutnya. Tapi, ayat ini banyak dikutip untuk menjelaskan tentang toleransi. Dan menurutku ayat ini memang cukup relevan untuk menjelaskan batas toleransi yaitu tidak sampai ke batas aqidah dan ibadah. Jadi, tetap saling menghormati tanpa mencampuradukkan ajaran agama lain dengan agama Islam.

28 komentar:

  1. wah sepakat aja mbak aku. nunut melu pemikiran e ya @.@

    BalasHapus
    Balasan
    1. btw, guru agamaku juga ada yang bilang kalau beberapa agama yang mengesakan itu benar, toh asalnya dari nabi-nabi pendahulu juga, cuma sekarang kan sudah banyak dirubah oleh manusianya. Nah kalo kasusnya kayak gitu piye mbak @.@ ??

      Hapus
    2. Nah, sudah jelas, kan? Ajaran mereka sudah diubah oleh penganutnya. Jadi, dalam sudut pandangku, itu sudah tidak benar lagi. Lagipula, kebenaran agama bukan cuma dilihat dari aspek tauhid-nya. Banyak aspeknya, ada ibadahnya, pokoke macem-macem. Kalau yang dimaksud gurumu adalah ajaran ASLI ketika nabi mengajarkan kepada umatnya, itu memang benar. Tapi, sekarang, kan, sudah tidak asli lagi, jadi menurutku sudah tidak benar. *sekali lagi, ini dari sudut pandangku*

      Hapus
  2. Saling menghormati, tidak saling mengganggu dan tidak saling mencampur adukkan, pasti tidak akan ada masalah.

    BalasHapus
  3. Prinsipnya sih begitu ya mbak "Bagimu agamamu bagiku agamaku' dan hubungan sosial harus tetap baik karena saling menghargai perbedaan prinsip.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, tetap menghargai perbedaan, asal tidak saling mengganggu.

      Hapus
  4. islam sangat toleransi dalam agama

    BalasHapus
  5. saling menghargai buakn saling mencaci

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul. tidak ada gunanya mencaci agama lain. ujung-ujungnya membuat mereka 'balas' mencaci agama kita.

      Hapus
  6. semuanya harus saling menghargai lo..
    karena pada dasarnya agama itu sejalan dengan moral :)

    BalasHapus
  7. Yah, setujuh ama komen-komen di atas: saling menghormati.

    Kalo saia pake perumpamaan persuami-istrian. Kita gak usah kepo ngomentarin suami temen-temen kita (atau orang laen), toh itu udah pilihan mereka. Ntar kalo dikepoin, mereka marah lagi. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh juga analoginya..

      Btw, napa komennya jadi tentang saling menghargai, yak? Padahal fokus awalnya adalah ketidaklogisan larangan untuk menganggap agama sendiri paling benar..

      Hapus
    2. Larangan menganggap suami kita paling ganteng juga gak logis. Tapi orang yang sibuk ngomongin kemana-mana kalo suaminya paling ganteng juga nyebelin. Lha, situ pan udah pilih entuh suami, udah jelas menurut situ itu laki nyang paling ganteng. Gitu lah kira-kira intinya. IMO.

      Hapus
    3. I see.. Jadi, cukup "memuji2" kegantengan suami di lingkungan rumah tangga sendiri saja..

      Hapus
  8. ringkas tp dalem sob..., fanatik dlm islam itu harus malah wajib hukumx.., kita artikan aja Fanatik itu 'berpegang teguh', 'berpegang teguh' pd al Qur'an dan Hadits2 Rasulullah yg shohih selain dr keduax maka tertolak...! baik itu perasaan atw pun akal2lan manusia...,tp klo Fanatisme ini yg tercela...! wallahu a'lam...*smile

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dalam agama Islam memang harus berpegang teguh pada Al Qur'an dan Sunnah.

      Hapus
    2. sependapat sama postingan di atas plus komennya bang rohis facebook. kita mesti fanatik dalam islam. fanatik dalam konteks berpegang teguh pada ajaran yg qt yakini benar. bukan kebablasan, hidup juga butuh saling menghargai, untuk siapapun di luar sna, dgn label agama apapun.

      Hapus
    3. Yup, fanatik dalam posting-an ini memang meyakini kebenaran agama yang dianut dan berpegang teguh pada ajaran agam tersebut.

      Hapus
  9. akur, mbak...! sip, manteb..! karna cuma fanatik pada agama aja yang dibolehin,,..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, jangan fanatik sama orang atau golongan :p

      Hapus
  10. meyakini kebenaran agama yang kita peluk dengan sebenar-benar keyakinan adalah bagian mendasar dari keimanan kita...

    terima kasih, Mbak Millati Indah, atas postingannya ini...

    BalasHapus
  11. fanatik itu perlu loh..agar kita benar-benar serius dan menjadi umat beragama yang menjalankan tuntunan-nya dengan baik dan benar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup. Bagaimana kita mau menjalankan tuntunan agama kalau kita tidak meyakini kebenarannya?

      Hapus
  12. satukata untuk tulisan ini :sepakat

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!