2 Mei 2009,
malam
Aku benar-benar
rempong membereskan barang-barang yang akan kubawa. Baju, sepatu murah baru
yang dibeli di PGC, dan keperluan lainnya kutata dalam koper besar warna biru
yang kubeli bersama Heni.
3 Mei 2009,
pagi
Masih
rempong. Dan ditambah galau. Kali pertama meninggalkan pulau Jawa, pergi jauh
ke ujung Sumatera, kali pertama akan naik pesawat, semua campur aduk. Ditambah pikiran
bahwa aku akan jarang pulang, paling banter setahun sekali. Padahal, selama ini
aku biasa pulang sebulan sekali, paling lama tiga bulan aku tidak pulang ke
rumah.
Barang-barang
sudah dipak. Seperti lirik lagunya Shania Twain, “all my bags are packed, I’m
ready to go”. Yeah, honestly I wasn’t
ready to go. Tidak sempat sarapan. Atau mungkin lebih tepatnya, terlalu ‘stress’
untuk memikirkan sarapan. Akhirnya cuma minum susu kotak rasa stroberi (kalau
tidak salah). Aku sudah memakai kostum kebanggaanku, jaket PKL. Jaket berwarna
hijau lumut itu memang jaket kesayanganku. Bukan karena desainnya keren,
melainkan karena sakunya banyak. Dua saku di bawah, satu di atas, dan satu lagi
di bagian dalam. Jadi, aku tidak perlu bingung di mana harus menyimpan ponsel, dompetku,
dan barang-barang lain yang kuperlukan.
Pakdhe-ku
menelepon. Katanya sudah di depan gang masuk kosku. “Pakdhe udah di depan. Kamu
keluar. Kaya raden aja mesti dipanggil,” begitu kira-kira ucapan Pakdhe-ku yang
membuatku kapok ‘berurusan’ dengannya. Aku memang jarang bertemu dan ‘berurusan’
dengannya selama ini.
Ibu, Abah,
dan adikku sudah ada dalam taksi. Barang-barangku pun segera dibawa turun.
Pakdhe-ku pun segera membawa taksi meluncur menuju bandara. Waktu itu aku
percaya saja pada teman-temanku bahwa aku harus check ini 2 jam sebelum
terbang. Jadi, kami pergi sangat gasik
(awal). Sampai di sana, baru aku yang datang. Aku pun menelepon kawan-kawanku
yang lain. Ternyata sebagian besar masih dalam perjalanan.
Beberapa saat
kemudian, muncullah kawan-kawanku. Intan, Bang Kahar, Repu, Mawarzi, Hendra,
Desi, dan Ina. Aku lupa, Mas Aris berangkat bareng dengan kami atau gelombang
berikutnya, hehehe... Terus ada Hendri juga tidak, yaaa???(ingatanku benar-benar
payah). Repu dan Mawarzi diantar oleh Asyeh, kawan kos mereka. Padahal Asyeh
itu teman SMA-ku, tapi dia lebih memilih mengantar teman kosnya daripada
mengantarku. Yaeyyalaaaaah... Mereka, kan, lebih akrab. Eny dan Ndaru datang naik
DAMRI. Katanya, sih, mau mengantarku. Tapi, nyatanya mereka malah sibuk mencari
bule, hahaha! Oh, ya, awalnya aku salah terminal. Kalau tidak salah aku nyasar
ke terminal pemberangkatan ke luar negeri. Untungnya kedudulan itu tidak
berlangsung lama.
Tibalah
waktu untuk check in. It’s time to say goodbye. Abahku yang selama ini tidak
mellow, hari itu lumayan mellow, meskipun tidak sampai menangis. Cuma merangkul bahuku. Ibuku juga
untungnya tidak menangis. Aku mencari-cari Eny dan Ndaru tapi mereka tidak
muncul juga setelah pergi untuk berburu bule (meskipun kemudian mereka mengaku mencari sarapan, aku tetap menuduh mereka mencari bule). Jadi, aku tidak pamit pada
mereka.
Aku sama
sekali belum pernah naik pesawat, jadi cuma nunut kawan-kawanku saja yang sudah
sering naik pesawat. Sewaktu check in pun cuma membuntuti kawan-kawanku, takut
hilang, hahaha! Kami sudah hampir terlambat karena pesawat hampir take off.
Kami pun bergegas.
Pesawat take
off. Aku lupa saat itu menangis atau tidak. Sepertinya, sih, menangis. I’m
leaving on the jetplane.. I don’t know when I’ll be back again.. Di atas
pesawat kami ditawari makan siang. Pilihannya kalau tidak salah nasi goreng
ayam dan kwetiaw goreng sapi. Kalau tidak salah, sih, begitu. Pokoknya antara
nasi goreng dan kwetiaw. Aku pun memilih kwetiaw. Ternyata aneh. Kwetiaw
gorengnya pucat, tidak berwarna kecoklatan seperti kwetiaw yang sering kubeli
di dekat kosku di Jalan Haji Yahya, Kebon Nanas Utara (halah, lengkapnyaaa!).
Aku pun tidak menghabiskannya. Perut mual karena mabuk udara ditambah rasanya
yang ehm ehm, membuatku tidak doyan makan. Dan beberapa saat kemudian, aku
tidak sanggup menahan mual. Untungnya aku tidak terlalu bodoh jadi bisa
menemukan kantung muntah yang disediakan lalu muntah dengan suksesnya.
Kami transit
di Medan. Eh, tunggu, aku lupa. Sebenarnya aku muntah itu dalam perjalanan
Jakarta-Medan atau Medan-Banda Aceh? Heuheuheu, lagi-lagi ingatanku payah. Yang
jelas, sewaktu transit di Medan, aku sudah lemas selemas-lemasnya. Stres bukan
main ketika harus naik pesawat lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh.
Yah, beginilah kalau orang kampung naik pesawat.
3 Mei 2009,
siang
Pesawat
mendarat di Banda Aceh. Clingak-clinguk mencari orang dari BPS provinsi yang
menjemput. Cukup lama kami menunggu. Baru saja kami mendiskusikan untuk pergi
sendiri ke kantor provinsi (tanpa menunggu jemputan) ternyata sang penjemput
sudah datang. Kami pun segera naik mobil. Sebelum ke kantor, kami dibawa dulu
ke acara Maulid Nabi dan diberi makan. Diberi makaaaaan??? Lo kate ayaaaaam,
dikasih makan? Dan aku masih belum mendapatkan selera makanku. Awalnya aku
berniat tidak ikut makan. Tapi, berhubung tidak ingin dianggap tidak sopan, akhirnya
aku makan dengan kondisi perut yang masih tidak beres.
Setelah
selesai, kami diajak ke kantor. Di kantor kami langsung dikumpulkan di ruang
rapat. Sedikit dimarahi karena sesuatu hal, lalu diumumkan daerah penempatan
kami. Aku yang semula dijanjikan akan ditempatkan di Aceh Jaya dan berdua
dengan Hendra ternyata malah ditempatkan di Aceh Barat Daya, sendirian pula. Aku
pun disuruh duduk di sebelah bosku. Setelah selesai mengumumkan penempatan,
kami disuruh mengukur, eh, mungkin lebih tepatnya diukur untuk membuat seragam.
Naaah, saat diukur ini aku langsung berpikir, “Mampus, aku lupa muka bosku
tadi!” Satu kelemahanku yang fatal: tidak bisa mengingat wajah seseorang dalam
tempo singkat. Akibatnya bisa fatal, karena aku tidak bisa mencari bos yang
akan membawaku ke kabupaten penempatanku.
Sewaktu
sholat Ashar, aku pun masih memikirkan bagaimana nasibku yang lupa wajah bosku.
Namanya pun aku tidak tahu. Ketika yang lain sudah diajak oleh bosnya
masing-masing, aku mulai galau. Bosku yang mana, yaaaaa? Kemudian aku ditanya
seorang bapak, kalau tidak salah ingat itu Pak Taufik, di mana penempatanku.
Saat kujawab Aceh Barat Daya, Pak Taufik langsung menunjukkan seseorang yang
ternyata bosku. Jujur, saat itu mataku rasanya benar-benar buram, mungkin efek
mabuk tadi, jadi masih belum bisa merekam wajah bos dalam memori otakku.
Aku pun
kemudian mengikuti si bapak (saat itu aku belum tahu namanya) ke rumahnya
(sebenarnya itu rumah orang yang entah siapa tapi kuanggap itu rumah bosku).
Istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe. Asli, aku sama
sekali tidak tahu di mana itu Lhokseumawe dan berapa jarak dari Banda Aceh ke
sana. Pokoknya judulnya cuma nunut. Dan ternyata efek mabuk masih tersisa
sehingga aku mabuk untuk kedua kalinya di hari itu dan untuk pertama kalinya di
mobil dinas (dan sampai hari ini sudah dua kali aku ‘memuntahi’ mobil tersebut,
hehehe). Sampai Lhokseumawe sudah tengah malam. Ternyata Lhokseumawe itu tempat
tinggal bos sebelum pindah ke Aceh Barat Daya. Dua hari kemudian, 5 Mei 2009, aku
baru diajak ke Aceh Barat Daya. Dan dimulailah petualangan penuh tawa dan air
mata.
thats really awesome.. :D
BalasHapusSapa ne? Kayaknya kenal :p
Hapusmelow... hiks hiks, @.@
BalasHapusjijik.. weeee***k :<( ada yang suka mabok disini O.o
mengharukan juga perjuangan ente y mbak haha :D
#sedikit takut bila terjadi padaku nanti -_-"
Wew, ga selalu mabok, kok. Kalo perjalanan darat ga sering mabok kecuali lagi kurang sehat :p
Hapushehe..
BalasHapusuntuk kali ini kayaknya mbak benar2 ga menikmati perjalanan kayak yang mbak bilang di judul blog ini :)
Sayangnya waktu itu saya sudah terlalu 'sakit' untuk menikmati perjalanan. Lha, wong muntah masa dinikmati :p
Hapushehe...
BalasHapusada kemiripan kita mbak, tapi saya susah mengingat nama...
pengalaman yang tidak menyenangkan tapi menjadi kenangan yg tak terlupakan...
Saya, sih, susah mengingat wajah sekaligus nama :D :D :D
HapusSebenarnya kenangan itu bukan tak terlupakan, toh, ada saja bagian yang terlupakan (misal muntahnya di mana :D).
semoga kenangan itu menjadi sebuah pembelajaran hidup kita
BalasHapusPembelajaran agar kali lain makan dulu sebelum naik pesawat :p
Hapussulit untuk melupakan suatu kenangan yg berkaitan dgn jln hidup...........
BalasHapusMungkin begitu...
Hapushihihi, ini kok ingetannya payah banget, wew, lupa muntah dimana, sampe lupa boss nya yg mana, aduuuhh, mba mba, ahahaha "piss ah" :D
BalasHapusTapi, masih untung, lah, saya inget penempatan di mana. Kalo gak inget, bakalan gak ketemu juga sama bos.
HapusGa da foto2 selama perjalanan nya ya mbak ?
BalasHapuspengenn liatt ... heheee
Belum punya hape yang ada kameranya waktu itu. Masih jadi kaum dhu'afa.
HapusEh, Millati. Aku malah gak inget tiga tahun lalu itu aku gimana ya?
BalasHapusAlhamdulillaaah, ada yang lebih 'lupa' dari aku :D :D :D
HapusNurin ingetnya Fadlan doang, yak?
bawa kantong plastik kalau mau berpergian :D
BalasHapusSekarang kalo pergi jauh emang sering 'sangu' kantong plastik :p
Hapus