Laman

Senin, 30 April 2012

Lampuki, Novel yang Membuatku Berpikir Negatif

Apakah kehadiranku di Aceh ini tidak disukai? Pertanyaan itu yang muncul ketika aku membaca novel Lampuki karya Arafat Nur. Kenapa tiba-tiba aku bertanya begitu? Karena dalam novel tersebut digambarkan bagaimana tokoh-tokohnya tidak menyukai pendatang dari Jawa. Dan aku orang Jawa, meskipun dalam sekilas pandang banyak orang yang terkecoh dan menduga aku bukan orang Jawa. Otomatis, aku berpikir bahwa kalau orang Aceh tahu aku orang Jawa, mereka tidak akan menyukai keberadaanku di antara mereka.

Jujur, ketika membaca novel ini, aku merasa terusik, tersinggung, marah, dan entah apa lagi rasa yang mucul. Ada sedikit rasa sesal sudah membeli dan membacanya. Aku tergoda membeli novel ini karena temanku Karzel pernah memuji novel ini. Tapi ternyata aku justru kecewa membacanya dan, maaf, tidak bisa memberikan pujian.


Novel ini menceritakan kisah yang sensitif: konflik di Aceh. Novel ini menceritakan bagaimana menderitanya rakyat di tengah 'perang' antara pejuang/pemberontak (GAM) dengan tentara (TNI). Untuk bagian ini aku tidak terlalu ambil pusing karena aku sendiri tidak tahu peristiwa 'perang' tersebut sama sekali. Aku tidak tahu ada DOM. Aku tidak tahu GAM. Aku baru tahu setelah kuliah, setelah tsunami. Itu pun tidak terlalu rinci. Aku juga tidak terlalu paham sejarah ketika Sukarno meminta bantuan kepada Daud Beureuh dan kemudian 'mengkhianati'nya. Sejarah adalah suatu yang buram, sulit diketahui kebenarannya kecuali kita bertanya kepada saksi hidup yang jujur.

Hanya saja ketika Teungku Muhammad, sang tokoh utama dalam novel ini, bercerita bahwa penduduk Lampuki menganggap penduduk (suku) di pulau seberang sana (Jawa) adalah bangsa lamit (budak), bangsa yang lemah yang dijajah bertahun-tahun. Sungguh, aku benar-benar tidak suka ketika sudah membawa-bawa suku. Dan pastinya aku sangat tidak nyaman ketika sukuku dikatakan bangsa lamit. Belum lagi ketika ada tokoh TNI suku Jawa yang muncul dalam cerita. Teungku Muhammad menyebutnya 'si pesek'. Asli, bukan sebuah lelucon yang lucu menurutku ketika membawa-bawa fisik. Aku tak suka lelucon itu bukan karena hidungku pesek. Memang hidungku pesek, tapi tidak semua orang Jawa pesek. Buktinya mbakku mancung.

Yang lebih membuatku tidak nyaman ketika membaca novel ini adalah bagian di mana Teungku Muhammad menceritakan bahwa penduduk Lampuki meyakini bahwa penduduk di seberang pulau sana (Jawa) sebenarnya adalah jelmaan kaum Nabi Musa yang dulu dikutuk menjadi kera. Biarpun cuma lelucon, ini sangatlah menusuk. Sangat tidak menyenangkan dikatakan sebagai Yahudi sedangkan aku adalah penentang Yahudi.

Dalam novel ini memang bukan hanya orang Jawa yang dijadikan lelucon melainkan juga orang Aceh yang kerap dikatakan pesong. Tapi, tetap saja aku merasa tidak nyaman. Aku masih belum bisa menghilangkan 'kecurigaan' bahwa orang Aceh tidak menyukai keberadaan orang Jawa di tanah mereka. Meskipun banyak temanku yang orang Aceh dan mereka sangat baik padaku, tetap saja tulisan dalam buku ini membuatku berpikir bahwa selain teman-temanku, orang Aceh tidak menyukai kehadiranku.

Aku jadi berpikir, apa karena mereka benci kepada tindakan TNI di masa DOM, mereka pun jadi sebegitu bencinya kepada orang Jawa? Apa benar SEMUA anggota TNI yang bertugas di tanah ini pada masa DOM dulu adalah orang Jawa? Kenapa hanya orang Jawa yang dibenci? Apakah mereka menggeneralisasi bahwa semua orang Jawa 'serakah' karena sebagian orang Jawa yang 'mengeruk' sumber daya alam di sini? Apakah mereka menggeneralisasi bahwa semua orang Jawa itu 'jahat' karena melihat sikap buruk para anggota TNI yang bersuku Jawa? Entah. Aku bingung.

Aku sendiri tidak ingin menggeneralisasi bahwa semua orang Aceh berpikir seperti para tokoh dalam novel Lampuki ini. Yah, semoga saja tidak semua orang Aceh membenci orang Jawa. Kalau mereka tidak menyukaiku (bukan orang Jawa secara keseluruhan) karena tingkahku yang kadang 'keras', itu masih bisa diperbaiki. Tapi, kalau mereka membenciku karena aku orang Jawa, maka aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak mungkin mengubah identitas sukuku. Aku sudah terlanjur cinta menjadi orang Jawa. Ah, sudahlah. Pusing memikirkannya. Aku cuma bisa berharap bisa tetap berteman dengan kawan-kawanku yang orang Aceh yang selama ini sudah akrab denganku.

35 komentar:

  1. hemmm....
    speechless #aku doain aja deh :p

    BalasHapus
  2. Masa novel rasis kayak gitu bisa terbit ndah? mungkin ada tema yang inplisit kali heheheh...

    Coba deh kapan2 aku tak beli novelnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak tahu. Malah menang lomba, lho... Kayaknya kalimat-kalimat di atas tidak dianggap rasis mungkin.

      Hapus
  3. wah..., jadi kepengen saya membaca novel bercover warna merah menyala ini....

    BalasHapus
  4. wah novel sakit hati alias iri hati, kebanyakan orang jawa yang meranatu kan pada sukses kan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin bukan karena iri tapi lebih karena 'sejarah' yang kurang baik antara Jawa dan Aceh.

      Hapus
  5. hmmmm baru tau kalo orang aceh benci orang jawa.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga kurang tahu kenyataannya mereka benci atau tidak. Tapi di novel ini diceritakan seperti itu.

      Hapus
  6. Jadi penasaran sobat, ingin membaca Novel ini. Nice info.

    BalasHapus
  7. wah, tulisan atau pemikiran kayak gitu gak bagus ya ..
    kita semua satu gak ada yang boleh saling membenci .. apalagi atas nama suku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idealnya, sih, gitu. Tapi kenyataannya susah.

      Hapus
  8. beda agama, beda warna kulit, beda suku, beda prinsip harus disikapi dengan bijak. Gak malu/minder/cuek lagi sekarang sekedar menyapa atau membantu chinesse sekalipun, karena aq tahu mereka juga orang Indonesia.. so?

    BalasHapus
  9. santai ajaa. saya pernah ngalami dateng di suatu komunitas tertentu dicibir dan dijauhi. lama-lama dengan eksistensi kita yang bisa untuk menempatkan diri, Insya Allah, mereka malah merindui kita koq.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo saya sih nggak yakin bakal dirindukan :p

      Hapus
  10. asslamu'alaikum..

    saya sangat terkejut dan malu membaca postingnya sobat, saya selaku orang ACEH asli berpendapat, mungkin penulis novel tersebut adalah korban dari kekejaman masa DOM.. karena memang fakta dan nyata para korban konflik tersebut sampai sekarang tidak bisa membuka hatinya untuk (maaf) orang jawa.

    tapi jika sobat milati bisa berjiwa besar, janganlah berasumsi bahwa gara² SEORANG PENULIS dengan judul novel yang jika artikan dalam bahasa indonesia sangatlah tidak pantas untuk diucapkan, bahwa orang ACEH itu sama pemikirannya dengan SI PENULIS, tidak sobat..

    maaf kalau komennya kepanjangan,,, hehehehehehe

    salam blogger,, like this :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumussalam.
      Yah, akhirnya ada juga orang Aceh yang berkomentar untuk 'menjawab' pertanyaan saya. Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa semua orang Aceh berpendapat seperti yang tertulis dalam novel tersebut (meskipun ada kekhawatiran semacam itu). Alhamdulillah kalau ternyata memang masih banyak yang welcome terhadap orang Jawa.
      Btw, memangnya arti Lampuki apa, ya?

      Hapus
  11. wew, saya jadi penasaran nih sama novelnya, hmmm, ada apa d balik kisah yg terlihat rasis itu, pinjem mba ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ckckck.. Stumon ini andalannya minjem mulu :p

      Hapus
  12. aku ngebayangin Mbak baanya sambil remes2 halamannya saking gemesnya.... hahaha... sotoy yah aku ini. Hahhaha

    tetep tenang mbak,... jangan mudah terkonfrontasi... ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak sampe diremes-remes, kok, Nuel. Sayang bukunya udah dibeli mahal-mahal :D :D :D

      Hapus
  13. kalau tinggal di luar daerah harus mawas diri..toh bangsa jawa juga punya persepsi suku bangsa ini begini, suku bangsa itu begitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi setahuku orang Jawa gak segitu 'benci'nya sama suku lain.

      Hapus
  14. SARA itu senjata nuklir paling ampuh buat orang Indonesia menurut saya. ngebandingin satu suku sama suku yang lainnya ga akan pernah beres, malah menimbulkan masalah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup. Gak perlu membanding-bandingkan dan menjelek-jelekkan.

      Hapus
  15. Waw, sensi amat tho mbak...

    BalasHapus
  16. mungkin ada beberapa perjanjian" dulu yang dilanggar pemerintah, tapi skrg uda damai kok, banyak orang jawa yang tinggal diaceh, ayah saya org jawa dan ibu org aceh, semuanya aman" saja. dan sebenarnya arti lampuki itu agak kasar, tapi saya nggak tahu apa maksud pengarang dgn judul "lampuki" dinovel tsb.

    BalasHapus
  17. Tak sengaja browsing-browsing dan membaca sebuah postingan bagus ini. Saya orang Aceh dan saya lelaki yang lahir ditengah konflik Aceh tempo hari. Sang Penulis menulis kebenciannya terhadap orang Jawa saya rasa hanya untuk kekuatan cerita dan mencoba jujur dengan apa yang pernah terjadi antara GAM dan TNI dulu. Buktinya sekarang hubungan Aceh-Jawa baik-baik saja, bahkan banyak dari keluarga saya yang berjodoh dengan orang Jawa. Sudah Baca Novel terbaru dari Arafat Nur "Burung Terbang di Kelam Malam"?. Salam kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepertinya hubungan Aceh-Jawa memang sudah lumayan baik. tapi, ada beberapa pihak yang masih membawa-bawa Aceh vs Jawa dalam perdebatan.

      saya belum baca buku Arafat Nur yang berjudul itu.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!