Laman

Selasa, 24 April 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah: Novel yang Membuatku Melanggar Prinsipku

Gambar pinjam di sini
Sejenak aku lupa pada ‘prinsip’ku selama ini: pantang membeli novel yang bertema cinta. Setelah ngubek-ubek dua toko buku dan hanya mendapatkan “Negeri van Oranje”, aku pun masuk ke toko buku ketiga. Aku kembali ngubek-ubek mencari buku yang menarik. Kemudian pandangan mataku bertemu dengan sebuah buku yang sampulnya seperti pernah kulihat. Buku tebal yang sampulnya bergambar wanita berpayung. Buku yang pernah diceritakan oleh seseorang (dan aku lupa siapa dia). Nama penulisnya, Tere Liye, membuatku tertarik membelinya. Terlebih kawanku tadi (yang aku lupa siapa) mengatakan bahwa novel tersebut bukan kisah cinta yang mendayu-dayu. Buku tersebut berjudul: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Beberapa kali aku salah menyebutnya di Facebook dan menuliskannya Aku, Kau, dan Sepucuk Angpau Merah. Tertukar antara aku dan kau.

Setelah membacanya, aku tak menyesal sudah ‘melanggar’ prinsipku untuk tak membeli novel bertema cinta. Ternyata novel ini memang tak melulu tentang cinta. Ada banyak nasihat tentang kehidupan, tentang pekerjaan, tentang hidup bermasyarakat. Ada banyak petuah bijak yang disampaikan Pak Tua, salah satu tokoh dalam novel ini kepada Borno, sang tokoh utama.

Novel ini dibuka dengan kisah Borno kecil yang bertanya tentang panjang Sungai Kapuas karena dia ingin tahu apabila dia buang air di hulu Kapuas, butuh berapa hari ‘residu padat’ itu sampai di depan rumahnya. Yah, begitulah anak-anak, kerap memikirkan sesuatu yang jarang terpikirkan oleh orang dewasa. Dia bertanya mengenai panjang sungai Kapuas kepada ayahnya, ibunya, Koh Acong, dan Cik Tulani. Semuanya tidak memberi jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya ia bertanya pada Pak Tua berapa panjang Kapuas dan butuh berapa lama untuk mencapai hulunya. Menanggapi pertanyaan Borno, Pak Tua justru memberikan jawaban yang bagi sebagian besar orang dianggap sebagai jawaban yang berbelit-belit. Katanya, waktu yang diperlukan untuk mencapai hulu tergantung perahu yang digunakan, siapa yang mengemudikan perahu, di musim apa pergi ke hulu. Pokoknya ribet. Tapi, bila dipikir-pikir, yang dikatakan Pak Tua memang benar. Dalam merencanakan  untuk meraih sesuatu, kita harus memperhatikan banyak faktor. Kita harus mengukur ‘kekuatan’ diri, menentukan ‘alat’ yang akan digunakan, cara yang akan ditempuh, dan masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan.


Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah Borno yang berganti-ganti pekerjaan, mulai dari pekerja di pabrik pengolahan karet, petugas pemeriksa karcis di pelabuhan, hingga pertentangan hati ketika dia harus menjadi pengemudi sepit. Awalnya dia tidak mau menjadi pengemudi sepit karena wasiat ayahnya yang melarang dia Borno menjadi pengemudi sepit. Namun, setelah mendengar nasihat ibunya dan Pak Tua, Borno pun memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit. Saat menjadi pengemudi sepit inilah Borno bertemu dengan Mei, gadis Tionghoa yang menjatuhkan sebuah amplop merah (yang di kemudian hari ‘disadari’ Borno bahwa itu hanya angpau, meski sebenarnya bukan). Gadis Tionghoa itu yang membuat Borno bertingkah ‘dudul’ dengan ngotot untuk berada di antrian sepit nomor tiga belas dan membuat Borno menunggu-nunggu kedatangannya pada pukul tujuh lewat lima belas. Pokoknya lucu.

Ada beberapa nasihat yang bagus yang disampaikan tokoh Pak Tua dalam novel ini.
Yang pertama: Orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya. Nasihat ini cocok untuk orang-orang yang sering mengeluhkan makanan (terutama aku!) sedangkan dia tahu di luar sana ada banyak orang yang bahkan tidak punya apapun untuk dimakan. Masih untung bisa makan. Harusnya bersyukur. Bukan hanya tentang makanan, tapi juga tentang segala yang didapatkan dan dimiliki.
Nasihat kedua adalah nasihat tentang cinta: Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri. Nasihat ini membuatku sedikit santai memikirkan kisah cintaku yang selalu berakhir buruk (meski sebenarnya aku yakin itu baik untukku). Yah, lebih baik biarkan cinta menemukan jalannya sendiri.
Nasihat ketiga masih tentang cinta: Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai NORAK lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan.
Nasihat keempat, lagi-lagi masih tentang cinta: Cinta adalah perbuatan. Kau selalu bisa memberi tanpa sedikitpun rasa cinta. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi. Well, kalimat ini sudah sering kudengar, tapi jarang kupikirkan. Kalau selama ini aku ‘merasa’ mencintai seseorang dan banyak ‘memberi’ padanya dengan mengharapkan balasan, jadi itu bukan cinta? Entah. Tak usah dipikirkan.
Nah, ada lagi kalimat yang bukan nasihat tapi aku suka. Montir yang baik selalu bisa menggunakan apa pun yang tersedia. Kalimat ini mengajarkan untuk kreatif, menggunakan ‘alat’ dan cara apa saja, tidak bergantung pada satu alat dan cara (tentunya selama alat dan caranya baik). Ini juga nasihat yang makjleb bagi para programmer karena bisa diartikan sebagai berikut: programmer yang baik selalu bisa menggunakan bahasa pemrograman apapun. Nah, lho! Hehehe, pokoknya apapun alatnya, yang lebih penting adalah the man behind the gun, right?

Novel ini ditutup dengan ending yang lumayan mengejutkan. Ketika diceritakan bahwa Mei sakit, aku menduga bahwa cerita ini setipe dengan cerita-cerita chicklit atau teenlit di mana sebenarnya tokoh utama wanita mengidap penyakit parah sehingga dia tidak ingin menjalin hubungan dengan tokoh utama pria. Tuduhanku ini diperkuat oleh sikap ayah Mei yang mengatakan bahwa mereka hanya akan saling menyakiti. Ternyata tuduhanku salah. Kisah yang terjadi bukanlah demikian. Mei sebenarnya adalah anak anak dari dokter yang mengoperasi ayah Borno. Lalu, apa hubungannya? Baca saja sendiri. Pokoknya jangan khawatir akan membaca kisah mendayu-dayu. Kisah Borno, bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas ini, tidak se-mellow itu, tapi tetap menarik.

12 komentar:

  1. Pertamax, mbak! Borno bisa diambil dari kata Borneo, atau anggepan ane salah! Yg pasti ane ngerti mbak mil lagi curcol ttg kisah cinta mbak sendiri!

    Besok ane mau ngukur panjang kali bodri, ah! Atau panjang bengawan solo,a.a.a. Bhahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eksaaak! Ini bukan curhat kisah cintaku tau :p Kalo ceritaku kan belum ketahuan ending-nya :p

      Hapus
  2. wow.. endingnya diterusin lah =.=" haha..
    makanya mbak, syukuri terus karena sudah dapat makan dari yang maha kuasa :p, masak yang gak sesuai mood pean kok makanannya diumpankan ke aku >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha, dirimu kan pemakan segala, jadi bisa menampung makanan yang tidak layak bagiku :D

      Hapus
    2. aw aw aw, tegaaaaaaa >.<
      sudahlah mbak jangan mengelak... karena cinta pada **sensor** kau pun menjadikanku sansak #eh

      Hapus
    3. Memang sudah kodratmu jadi sansak, Nak :p
      Btw, yang disensor tu nama Lee Min Ho, ya? Ga usah disensor kaleee :p

      Hapus
  3. akh, ini udah dibeli tapi belum sempet kubaca.

    BalasHapus
  4. Buku ini ingin kubeli jika kembali ke Indonesia nanti :)

    BalasHapus
  5. mbak, boleh tahu ending novel ini nggak? pensaran banget tapi gag punya duit buat beli bukunya hehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. baca di fanpage Tere Liye aja, biar lengkap ceritanya.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!